Dina Hanif Mufidah

Dina Hanif Mufidah, guru di lingkungan Majlis Dikdasmen PCM GKB Gresik, yang bertugas sebagai Kepala SD Muhammadiyah Giri Gresik. Lahir di Sidoarjo, Jawa Timur ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sweet Curse (Tantangan Gurusiana Hari ke 15)

Sweet Curse (Tantangan Gurusiana Hari ke 15)

Aku seperti terkena kutukan(curse), kutukan yang baik kurasa.

Semasa aku remaja dulu, tak suka mengerjakan rutinitas pekerjaan rumah tangga. Aku lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar selain waktu sekolah dan kursus Bahasa Inggris. Aku membaca berulang ulang buku sejarah hingga hafal nama tokoh dan tanggal penting. Aku berlatih soal tata bahasa dan menghafalkan kosakata bahasa Inggris . Selainnya,kuhabiskan waktu membaca majalah “Anita Cemerlang”, “Gadis” dan “Hai” serta sesekali novel kisah petualangan “Lima Sekawan” , “Trio Detektif” atau “Pippi Si Kaus Kaki Panjang” hasil meminjam teman.

Ibuku seringkali harus mengingatkanku tentang tugas rumah yang sepakat dibagi berdua dengan adik perempuanku. Aku dapat tugas menyapu halaman rumah pagi dan sore, adikku mengangkat jemuran kering dan menyetrikanya setiap dua hari sekali. Kalau Ibu minta bantuan mencuci piring, kuiyakan. Tapi diam diam kupanggil adikku untuk mengerjakan, aku bagian akhir menatanya di rak piring.

Sementara aku sering dikejar kejar Ibu. Adik perempuanku rajin sekali, dia tak banyak protes membantu pekerjaan Ibu tiap hari. Dia begitu berdedikasi. Hasil pekerjaannya tertumpuk rapi dan wangi. Aku kadang heran mengapa anak itu telaten dan tangguh sekali. Merapikan helai demi helai baju yang menggunung tinggi. Sementara aku bahkan sering tak sabar menyetrika seragam sekolahku sendiri.

Suatu sore Ibuku melotot sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar, sambil membawa sapu lidi untuk menyapu halaman. Diangkatnya sapu lidi itu dan bicara lantang, “Jam segini masih belum nyapu, sebentar lagi ashar!”

Aku sebal, mengapa kami punya halaman yang harus dibersihkan pagi dan petang. Ada halaman depan, halaman samping dan halaman belakang yang selalu kejatuhan daun daun sawo dan mangga yang tumbuh di pekarangan rumah.

“ Tadi pagi kan sudah. Kenapa harus disapu dua kali Bu, tiap pagi saja, “Aku mengeluh.

“Aduh, malasnya anak ini, terus tetangga akan bilang apa nanti, aku punya dua anak perempuan, sore sore ada orang lewat lihat halaman rumahku liar seperti hutan.” Ibuku mulai kesal.

“ Kalau nanti kamu berumah tangga, tak terbiasa menyapu halaman, mertuamu kesal, suamimu tertekan.” Ibu masih berusaha menekankan.

“Aku kalau sudah menikah gak tinggal di rumah mertua. Rumahku di kota, jadi gak perlu halaman luas, cukup teras dan taman kecil saja, nggak capek bersih bersihnya” balasku tak mau kalah.

Ibu tambah emosi, lalu keluarlah kutukan itu.

“ Oh begitu ya, dan semoga suamimu sayang, istrinya gak perlu nyapu dan nyuci, pembantunya tiga, semua pekerjaan rumah ada petugasnya. Ada yang ngurus halaman sendiri, ada yang masak sendiri, ada yang mandin anak sendiri.” Ucapnya sambil menatapku dalam dalam. Aku sempat khawatir juga beliau benar benar marah. Tapi aku tahu Ibuku punya sisi humor juga. Maka dengan maksud menggoda dan meredakan emosinya aku masih menyahut . “Aamiin,” sahutku sambil mengangkat kedua tangan seperti memohon sambil berlari menghindar, sebelum sapu lidi ditangan Ibu terbang melayang ke arahku.

Di tahun 80 an, reputasi keluarga di mata tetangga adalah hal yang harus dijaga. Para tetangga bukan sekedar saudara dekat tak sedarah yang rela membantu mendirikan rumah atau meminjami kekurangan bawang merah, garam dan gula kopi lewat pintu belakang. Mereka adalah juri yang menentukan arah dan kebijakan kehidupanmu. Terbukti, Ibu selalu menyebut mereka setiap menegurku. “ Apa kata tetangga nanti.....” Katanya, sering begitu.

Pernah aku insaf. Satu Minggu penuh rajin menyapu halaman, tertib dua kali sehari. Ternyata Ibu benar. Tetangga dekat yang melihat berhenti sesaat menyapa ramah sambil tersenyum “ Wah, Mbak Dina rajin nyapu sekarang, muga muga jodohnya nanti orang cukup dan ganteng.”

Semula aku terhenyak, apapun kok dihubungkan dengan jodoh. Akhirnya lama lama terbiasa dan membalas dengan jawaban secukupnya, “ Nggih, Aamiin.”

Saat ke masjid kampung untuk sholat jamaah maghrib dan Isya, saya dan teman teman sebaya terbiasa salim, cium tangan menghormati jamaah tetap kawan kawan Ibu dan nenek. Hari itu istimewa. Mereka jadi lebih ramah membalas dengan mengelus kepala dan berkata “ Tambah rajin ya Nduk, tambah pinter.” Begitu kata mereka. Ternyata sebagaimana berita buruk, setitik perubahan baik pun menyebar cepat ke seluruh penghuni kampung. Luar biasa.

Saat lulus kuliah, mulai bekerja dan setahun kemudian menikah, punya anak anak balita hingga detik ini ketika ketiga anakku mulai dewasa. Aku menyadari sesuatu. Kutukan baik Ibu, di suatu sore di depan pintu kamarku itu berlaku.

Aku tak pernah lepas dari tangan tangan yang membantu (helping hands) dalam kehidupanku di rumah sebagai seorang Istri dan Ibu. Suamiku memberi ijin bekerja, diniatkan memberi kesempatan diriku lebih bermanfaat untuk orang lain. Konsekuensinya tak semua pekerjaan rumah tangga mampu kulakukan sendiri.

Ada Mbak Meistin yang membantuku mencuci dan setrika baju, serta sesekali menyiapkan makanan yang kubutuhkan saat hamil muda yang pertama. Darinya aku belajar cara menyetrika kemeja yang cepat dan benar.

Ada Tatik, yang pintar dan setia. Membantuku mengasuh anak pertama dengan pembawaannya yang suka membaca dan bercerita, berdampak positif pada perkembangan putra sulungku saat belajar bicara.

Dan ketika aku harus pindah kota , punya bayi kedua yang berjarak usia 18 bulan saja dengan kakaknya, ada Mak Mi yang memasak dan bersih bersih rumah, ada perawat yang datang setiap pagi dan sore memandikan bayi dan ada Ratna yang menjaga dan menemani bermain anakku yang pertama. Aku benar benar punya 3 pembantu seperti ucapan Ibu. Padahal kami tidak punya uang berlebih untuk menggaji, hanya kondisi dan keberuntungan yang membuatnya terjadi.

Dan tentu ada sedertan panjang nama yang datang silih berganti . Mereka datang bergantian, mengulurkan tangan dan kakinya hingga membuatku mudah menjalani semua. Dari mereka yang berfikiran sederhana, aku belajar banyak hal untuk menghadapi rumitnya masalah kehidupan.

Dan siang tadi masuk chat WA dari Titik, Ibu muda dua anak yang 5 tahun terakhir setia datang setiap kali kubutuhkan. Beberapa kali kuminta datang ke rumah, dia tidak bisa. Harus pulang kampung katanya, Mertuanya sakit.

“Bu, aku ke rumah ta, bersih bersih hari ini?” Tanyanya.

Kujawab cepat, “ Ya, tak tunggu. Terima kasih ya”

Kupandangi dapur yang berantakan, freezer besar yang harus dibersihkan, dan tumpukan setrikaan. Dan kurasakan tubuh dan fikiranku yang lelah bekerja & berfikir tentang sekolah dan segala permasalahannya seharian. Seketika fikiranku tentram, sore nanti semua akan bersih dan tertata rapi. Ada Titik yang sigap mengerjakan semuanya. Maka dengan tenang aku membuat secangkir teh panas, kuberi 2 irisan besar lemon segar. Kuhirup dalam dalam sambil duduk di depan meja. Kuingat Ibu, dan kubacakan doa terbaik untuknya. Lalu tanganku membuka laptop untuk mulai menuliskan ini semua.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lho iya...Bu Wiwik juga

30 Jan
Balas

Ada Bu Wiwik, rumah beliau tempat penitipan anak2 kita hehehe

30 Jan
Balas



search

New Post