Dinni Ariani

A grateful wife (Insya ALLAH), A Mother of 3 kids, An English Teacher in SMPN 15 Sukabumi, a Learner. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kisah Leon Aku Bukan Singa

Kisah Leon Aku Bukan Singa

Kata orang Mamaku adalah pahlawan, yang gagah berani menempuh jarak ribuan kilometer dari kota kecil kami demi lembaran-lembaran riyal nan berharga untuk kehidupanku, kakak dan adik-adikku. Tiap hari kami berjumpa lewat obrolan via whatsapp, melalui mimpi-mimpi peluruh rindu, do’a-do’a yang melangit, berharap dua tahun akan segera berlalu. Nyatanya saat dua tahun yang lalu Mama kembali, selang beberapa bulan ia malah pergi lagi dan berjanji akan pulang, dua tahun berikutnya. Aku kembali menyulam waktu. Setiap detik adalah wajah Mama, setiap sepi adalah rindu Mama, setiap nafas adalah bayangan peluk hangat Mama.

 

5 tahun silam, saat aku duduk di Kelas 5 SD, Papaku berpulang, dijemput malaikat maut yang tak bisa ditolak kedatangannya. Papa sakit selama beberapa tahun dan semakin parah hingga menghembuskan nafas terakhirnya. Kehidupan keluargaku jungkir balik seketika. Papa memiliki usaha kecil yang cukup untuk menghidupi keluarga kami. Bacang dan beberapa jenis jajanan pasar lainnya menjadi andalan dan cukup diminati. Makanan tersebut dititipkan di toko kue, ataupun pesanan langsung kepada Papa dan Mama. Kedua orang tuaku adalah keturunan Tionghoa yang telah menetap di kota kecil ini selama beberapa generasi. Satu hal yang berbeda, kedua orang tuaku menjadi muslim saat aku balita. 

 

Pak Levy, begitu orang-orang menyapa Papaku dengan hormat, dan Mamaku adalah perempuan teramat manis bernama Lauren. Usia Papa dan Mama terpaut jauh, sehingga kadang Mama disangka adik bungsu atau bahkan putri Papaku. Ah, Mamaku memang sempat menjadi putri tiri Papaku. Membingungkan? Iya, aku juga bingung. Papa punya istri pertama yang aku panggil Tante, beliau perempuan Tionghoa yang sudah sepuh dan sangat penyayang. Beliau tak keberatan saat Papa menikahi Nenekku, alias Ibu kandung Mamaku. Saat itu Nenek sudah memiliki 3 putri dari pernikahan pertamanya yang membawa sengsara. Mama adalah putri tertua Nenek, dan tahu persis betapa Kakekku dulu kerap melakukan tindak kekerasan kepada Nenekku. Pernikahan mereka lalu berakhir dan beberapa waktu kemudian jalan nasib membawa Nenek menjadi istri kedua Papaku. Penderitaan Nenek berganti ketenangan dan kebahagiaan karena Papa sangat menyayangi Nenek dan ketiga putri tirinya. Namun tak lama, nenekku sakit dan terus bertambah parah hingga akhirnya meninggal dunia. Tak lama, Papa sempat menikah lagi dengan seorang perempuan sunda yang menjadi jalan baginya berpindah keyakinan. Tak lama pernikahan ini berakhir, karena perceraian. 

 

Bagaimana awal ceritanya aku pun tak tahu pasti, ketika akhirnya Mamaku menikah dengan Papaku. Ya, Mama menikahi mantan suami dari mendiang Ibu kandungnya, dengan alasan demi jaminan keberlangsungan hidup dan pendidikan Mama serta kedua adiknya. Cerita ini mungkin mengejutkan bahkan tak sepantasnya terjadi, namun sungguh kisah ini tak pernah kupesan dari Tuhan.  

 

Aku, Leon, satu-satunya anak lelaki di keluarga ini. Kakakku, Ghea, terpaut usia 4 tahun dariku, dan adikku Misyka, 4 tahun lebih muda dariku. Kami utuh, bahagia, disiplin dalam berbagai aturan yang diterapkan Papa dengan tegas. Kami harus rajin belajar dan belajar, tak terlambat bangun pagi, dan mengerjakan PR. Selalu makan tiga kali sehari, dan baik gizinya. Kami juga bersekolah di salah satu sekolah swasta ternama di kota ini, dan berprestasi cukup baik disana. Aku disayang, dan seringkali merasa lebih dimanja. Mungkin karena aku anak lelaki satu-satunya. Ada beberapa pegawai Papa di rumahku, dan mereka pun sayang sekali padaku. Jika Mama Papa sedang sangat sibuk, tak jarang aku dibawa pulang oleh salah satu pekerja Papaku ke rumahnya di sebuah gang sempit nan padat. Namanya Bu Sri, namun aku memanggilnya Wowo, kata lain dari Wawa atau Uwak, yang jamak dipakai oleh orang Sukabumi. Usaha Papa tak terlalu banyak hasilnya, namun kami tetap bisa hidup cukup. Sungguh, saat itu kupikir ketenangan ini akan selamanya ada dalam genggaman.

 

Papa mulai sakit-sakitan saat aku Kelas 3 SD. Usahanya mulai menurun karena pengobatan Papa memerlukan biaya tak sedikit. SPP di sekolah swasta ternama tak sanggup lagi dibayar. Usia yang telah lanjut membuat Papa makin tak berdaya. Kehidupan kami tak senyaman dulu, dan saat Papa meninggal dunia, dunia tak lagi sama. Mama membawa aku dan kakakku pindah rumah ke daerah pemukiman padat dekat rumah Wowo, sedangkan adik bungsuku dirawat oleh salah satu putra Tante di Jakarta.   

 

Setahun kemudian, Mama menikah lagi. Dua anak Mama lahir dari pernikahan ini. Ah, yang kemudian terjadi sungguh tak pernah bisa aku pahami. Yang jelas Mama menyampaikan bahwa ada hutang-hutang yang harus dibayar sehingga Mama perlu bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga alias TKW ke Saudi. Aku tak mau jauh-jauh dari Mama. Lagipula, anak mana yang rela ditinggal jauh ibunya. Mama meyakinkanku bahwa ini hanya sementara dan walaupun aku tak rela, beliau tetap pergi. Aku tinggal bersama Ayah tiri, kakak kandungku yang masih  bersekolah di SMK dan dua adik tiri yang masih sangat kecil. Kami tinggal di rumah orang tua Ayah tiriku. Mulailah saat-saat kering itu, kemarau panjang kasih sayang. 

 

Saat itu aku baru masuk Kelas 7 di SMP negeri dekat rumah. Awalnya, aku masih punya semangat tinggi bersekolah, bahkan sempat terpilih mewakili sekolahku di ajang Olimpiade Matematika tingkat Kota. Namun, menjelang kenaikan kelas, mulailah aku terseok-seok babak belur melawan rasa tak jelas yang lebih sering mengalahkanku. Aku merasa jenuh dan hampa berada di rumah tanpa Mama. Om, begitu aku biasa memanggil Ayah tiriku merupakan sosok yang dingin dan bicara seperlunya. Aku juga tak begitu akrab dengan nenek dan kakek tiriku. Selalu ada rasa segan yang mencegahku. Perasaanku mengatakan, mereka tidak menyukaiku. Kakak sangat sibuk dengan kegiatannya sebagai siswa SMK, ia berencana segera bekerja dan keluar dari rumah itu setelah lulus. Aku mungkin anak laki-laki yang lemah, aku butuh Mama, butuh bersandar di bahu Mama, butuh pelukan Mama, butuh dekat Mama. Aku tak berdaya melawan kejenuhan, tak bisa pula mengisi ruang kosong di hatiku. 

 

Di Kelas 8, aku benar-benar tersesat dan mengabaikan sekolah hingga angka bolosku berderet-deret. Berkali-kali rumah keluarga tiriku didatangi pihak sekolah yang melakukan home visit. Seringkali aku dinasihati wali kelas dan langganan dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling. Hingga akhirnya menjelang akhir semester ganjil, Mama pulang dan hatiku  terbang riang menyambutnya. Aku hidup lagi, menemukan kedamaianku lagi, dan energi yang bisa mengembalikan aku ke sekolah. Hatiku penuh, setiap hari menemukan wajah Mama di rumah, memeluknya, mencium wanginya, tidur di pangkuannya, bercerita apa saja. Kakakku bilang aku ini anak lelaki yang manja, aku tak keberatan disebut begitu. Aku sayang Mama dan ingin selalu berdekatan dengannya.  Namun, lagi-lagi kebahagianku hanya sesaat. Dua bulan kemudian, Mama pamit kembali bekerja di Saudi dengan alasan sama, mengumpulkan uang untuk membayar hutang yang belum terbayar. Mama, tega sekali padaku. Aku, Leon. Aku bukan singa. Aku menangis. Hatiku menjerit. Di depan Mama, aku tak sanggup lagi berkata.

 

Mama pergi, dan beberapa bulan kemudian kakak kandungku yang telah lulus SMK juga pergi, bekerja di kota lain. Aku, di rumah asing ini tinggal bersama Om dan Kakek Nenek tiri yang juga seperti orang asing. Dua adikku yang masih bocah saja yang terkadang menghibur hati sepiku. Tahun itu, aku dinyatakan naik ke kelas 9 entah dengan alasan apa. Pihak sekolah memaklumi absenku yang banyak, mungkin karena kasihan atau entah alasan apa. Dan di Kelas 9, aku kembali terjun bebas. Pergi dari rumah asing Ayah tiri memakai seragam sekolah, namun kakiku melangkah ke warnet. Kuhabiskan waktu dengan bermain game, atau berselancar di internet. Suatu pagi saat aku asyik dengan game-ku, ada yang datang ke warnet. Ternyata Wali Kelasku di Kelas 9 serta dua temanku. Aku diajak ke sekolah sambil tak lupa diomeli. Aku hanya pasrah dan ikut ke sekolah. Bertemu teman-teman di sekolah sebenarnya sangat menyenangkan, entah kenapa saat saat pagi melangkah sulit sekali aku sampai ke tempat ini. Penyakit malas parah mendekam di kepalaku. Beberapa hari dalam sepekan aku sekolah, dan saat hari lain aku bolos maka sederet pesan di WA membanjiri, dari wali kelas, juga dari Mama yang diberi kabar oleh wali kelasku.  

 

Lain waktu aku pernah pergi dari rumah dengan badan terasa menggigil, dan kepala berdenyut-denyut. Aku berbelok ke rumah Wowo, mantan karyawan Ayahku. Aku tertidur disana, dengan perut kosong. Lagi-lagi ada yang datang. Wali Kelas dan dua kawanku. Melihatku tertidur di kamar sempit, pengap dengan badan demam, dan belum sarapan mereka segera membawaku ke sekolah. tepatnya ke ruang UKS. AKu diberi makan, minum, dan tidur di ranjang bersih dengan selimut hangat. Kenapa mereka peduli padaku? Di rumah, nenek tiri tak pernah menawariku makan. Aku pun tak berani mengambil lauk yang ada di meja makan. Kadang aku membeli sambal instan di warung, dan mengambil nasi secukupnya saja di rumah. Ayah tiri bekerja di luar kota, bekerja sebagai sales atau entah apa, dan ia kembali ke rumah tiap akhir pekan saja. Memberiku uang sekedarnya. 

 

Aku dan Om alias Ayah tiriku sebenarnya jarang bertegur sapa. Entah bagaimana mulanya, suatu ketika kami bertengkar. Aku tak tahu dari mana kemarahanku berasal, aku kesal, sangat kesal. Ditambah lagi dengan perkataan Nenek tiri bahwa Ibuku tidak tahu diri, menitipkan anak dan dua balita tanpa pernah mengirimi uang. Padahal Mama selalu mengirim biaya tiap bulan melalui Ayah tiri.  Mama bilang begitu, dan aku sangat percaya Mamaku. Aku pun diminta Mama segera keluar dari rumah itu. Mama menangis saat menelepon, ia kasihan padaku yang sebatang kara di tengah keluarga asing yang tak menyayangiku. 

 

Mama mengirimku tinggal di rumah Tante. Ya, Tante alias istri pertama Papaku. Tante tinggal bersama seorang pembantunya. Ia sudah tua dan sakit-sakitan. Namun, Tante ini sangat disiplin tentang sekolah.  Rumah tante cukup jauh dari sekolahku, sekitar 5 kilometer. Setiap pagi Tante membekaliku bekal nasi dan lauknya untuk dimakan di sekolah. Sarapan pagi pun tak pernah aku lewatkan. Makanan enak dan rumah yang nyaman aku nikmati. Mama mengirimkan sedikit uang melalui Tante, karenanya aku harus berhemat. Aku pergi dan pulang sekolah berjalan kaki, memotong melalui gang-gang sempit alias jalan tikus. Aku lebih rajin bersekolah, guruku bilang pipiku sekarang lebih berisi dan nampak lebih segar. Mungkin karena perbaikan gizi dan hati yang lebih lapang. 

 

Aku Leon, aku bukan singa. Aku tetap merindukan Mama, walau sekarang lebih jarang menangis. Hatiku masih gerimis saat teringat Mama. SMK jurusan Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) menjadi impianku selepas lulus SMP. Mama, semoga engkau aman disana dan segera pulang. Do’akan aku ya Ma....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Masya Allah, cerita yang sangat luar biasa. Sukses selalu dan barakallahu fiiik

11 Jan
Balas

Luar biasa,keren sekali ceritanya.. Kata kata mengalir bagaikan air. Rindu mama adalah sebuah rasa yang tak dapat hilang tanpa kehadirannya. Sukses dengan leonnya ya bunda. Salam kenal

11 Jan
Balas

Alhamdulillah, terima kasih Bunda Betul Bun, sepi Ibu itu sembuhnya kalo ketemu

11 Jan

Sukses selalu bu...serasa ga mau berhenti ketika udah baca ceritanya.

12 Jan
Balas

Aamiin, Alhamdulillah terima kasih supportnya Bu

12 Jan



search

New Post