Dodi Indra Bernas

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

KETIKA MARNI PULANG KAMPUNG

KETIKA MARNI PULANG KAMPUNG

Marni, gadis kampung yang sudah tiga tahun mengadu nasip di ibu kota melangkahkan kakinya menuju warung pak Joko. Di dalam dilihatnya beberapa pemuda sedang ngopi dan makan gorengan khas pak Joko. Goreng pisang raja. Terdengar samar – samar suara pemuda – pemuda itu. Dengan anggunya Marni memasuki warung sederhana itu.

“Assalamualaikum. Selamat siang pak Joko” sapa Marni lembut dan ramah.

“Waalaikum salam. O... nak Marni. Kapan pulangnya? Jawab pak Joko tak kalah ramah.

“Kemarin malam Pak”

“Marni. Wah...wah....” salah satu pemuda itu menyapa Marni.

Spontan Marni menengok ke asal suara. Dilihatnya seorang lelaki muda melambaikan tangan kearahnya.

“Mas Karyo. Apa kabar?”

“Baik.. kamu baik juga kan?

“Ya mas”

“Wow.. tambah cantik saja kau marni” Pemuda di sebelah Karyo ikut bergabung.

“Ah.. biasa aja pun” jawab Marni tersipu malu.

“Iya.. jadi wanita sukses kamu di Jakarta” sambungnya.

“Tidak juga mas Rul”

“Emangnya kamu kerja apa di jakarta, nak Marni? Pak Joko ikut bertanya.

“Hanya karyawan biasa saja”

“Iya.. tambah semakin saja. Jadi pangling aku” Pemuda yang satunya lagi ikut nimbrung.

“Pangling? Pangling apanya mas Yogi?”

“Ya. Penampilanmu wah. Kalung emas, anting emas, gelang emas, cincin emas, tas mahal... keren Marni? Pemuda yang bernama Yogi itu melanjutkan kata – katanya.

“Ah... Sudahlah mas. Malu saya” ucap Marni tbersemu merah.

“Iya. Lihat tuh, HPnya saja dua” Pak Joko menambahkan.

“Ah sudah la pak. Saya mau beli pisang goreng. Masih adakan pak” Marni berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Masih ada. Tu ambil sendiri diatas meja” pak Joko menunjuk gorengan yang ada diatas meja tak jauh dari Marni berdiri.

“Danang. Ambilkan donk gorengan buat Marni” Karyo berkata sambil tersenyum simpul ke arah pemuda yang dipanggilnya Danang tersebut.

“Ngak usah mas. Biar saya saja”

“Uhui..... cie ... cie...” Khairul mengejek.

“Dah pak. Gorengannya 10 ya. Ni uangnya” kata Marni lalu menyodorkan uang lembaran sepuluh ribu kearah pak Joko.

“Ya...”

“Makasih pak. Saya pulang dulu”

Marni dengan gaya ngenesnya sengaja melenggok di depan Danang. Dikibaskannya rambut indah hasil rebonding dan smoothing di salon Mince kearah pemuda itu. Danang yang sedari tadi hanya diam dan menjadi pendengar terkejut. Bau harum shampo menusuk hidungnya.

“Dah... mas Danang. Marni pulang ya” ejek Yogi menirukan suara Marni.

“Iya mas. Marni pulang dulu” Marni akhirnya menyapa Danang.

“I..iya... ya.. silakan” jawab Danang gelagapan.

“Danang... kamu antar tu si Marni pulang” Karyo menyela lagi.

“Iya.. masak kamu tega membiarkan Marni pulang jalan kaki” Khairul ikut menimpali.

“Mana panas lagi Nang.. masak gadis secantik Marni jalan di terik begini” Pak Joko tak mau ketinggalan ikut – ikutan menimpali.

“Kamu saja yang antar sana, pake nyuruh nyuruh orang pula” Danang menjawab ketus.

“Lho.. kamu ni bagaimana toh. Dikasih kesempatan malah nolak” Karyo menyemangati Danang yang tampak mulai ragu.

“Marni. Marni. Tunggu...!”

“Iya mas Karyo!”

“Ni. Danang mau nganterin kamu. Tunggu bentar”

“Ah.. ngak usah mas. Dekat pun kok”

“Tak usah basa basi. Danang. Cepaaat...”

“Haah.. kalian...”

Akhirnya Danang berdiri dan beranjak dari tempat duduknya. Diambilnya helm yang terletak di jok sepeda motor hitam kesayangannya. Setelah memasang helm itu diapun menstaer motor.

“Ayo.. naik!”

“Ya mas... makasih” Marni segera duduk dibelakang Danang.

“Hati..hati.. antar kerumah Marni ya. Jangan nyasar kemana – mana!”

Danang hanya diam mendengar ledekan teman – temannya. Dipacunya motor dengan kecepatan sedang. Sementara itu Marni duduk di boncengan belakang. Dia tak tahu harus bicara apa. Hatinya yang dari tadi dag dig dug begitu melihat Danang makin berdetak kencang.

Danang tidak berubah. Gaya dan penampilannnya masih tetap seperti dulu. Bicaranya pun masih satu – satu seperti dulu. tatapan matanya yang tajam juga tidak berubah. Marni makin salah tingkah. Danang pria keren dan cool itu dulu merupakan cowok idamannya. Marni diam diam mencintai pemuda itu. Dan dia yakin Danang juga ada hati padanya. Namun, entah alasan apa Danang tak pernah mau mengakui bahwa dia menyuki Marni. Bahkan ketika Marni pamit untuk merantau ke Jakarta, Danang masih menutupi perasaannya.

“Kamu mau langsung pulang? tanya Danang. Marni terkejut dan sedikit gugup dia menjawab

“Iya... tapi kalau mas Danang mau ngajak Marni jalan – jalan dulu juga tak apa?

“Hm... kamu mau?”

“Mau. Asal mas Danang yang ngajaknya”

“Baiklah. Tapi enggak bisa sekarang”

“Kapan saja mas. Marni tunggu kapan saja”

“Emangnya kamu lama dikampung”

“Enggak juga sih. Dua hari lagi Marni balik ke Jakarta”

“Cepat kali”

“Maklum la mas. Aku dijakatra kan kerja. Ini saja dapat libur cuman lima hari. Dijalan saja sudah dua hari mas”

“O... gitu ya?”

“Ya.. gitu. Mas Danang tak percaya?”

“Percaya.... kalau begitu nanti jam 5 aku jemput ya”

“Mau jalan kemana mas?”

“Adalah pokoknya. Kamu ngikut aja”

“Jam lima ya mas?”

“Iya. Gimana. Mau ngak?”

“Apasih yang ngak mau kalau mas Danang yang ngajak?”

“Ah kamu bisa saja”

“Serius!”

“Ok deh. Nanti jam lima aku jemput ya”

“Lho... kok berhenti mas?”

“Kan janji nya nanti jam lima?”

“Iya.. tapi...”

“Tapi apa? Kamu mau balik lagi ke warung pak Joko?”

“Ngapain kesana lagi mas?”

“Ya kalau gitu dah turun!”

“Turun?”

“Iya. Ni kita kan sudah di depan rumah mu!”

Tersentak Marni mendengar kata – kata Danang. Rasanya baru beberapa saat dia duduk di boncengan motor pemuda ganteng yang berhasil mencuri hatinya dari dulu.

“Di depan rumah? maaf mas..” kontan saja wajah Marni memerah. Tubuhnya makin gemetar. Gemetar menahan perasaannya dan juga gemetar karena malu. Karena keasyikan bicara dan menikmati kebersamaan bersama pemuda idamannya, Marni lupa dan tak sadar kalau dia sudah sampai.

“Mas ngak mampir dulu?”

“Ngak usah. Nanti saja”

“Ya udah. Makasih ya mas”

Marni menatap kepergian Danang. Dipandangnya terus sosok itu hingga menghilang di tikungan jalan. Getar - getar cinta yang dulu ada dan sempat terpendam cukup lama karena aktivitasnya dijakarta kembali bersemi. Marni tak menduga akan kembali bertemu Danang. Dia juga tak menyangka getar – getar itu kembali bersemi. Salah satu alasan dia merantau ke ibu kota adalah untuk melupakan sosok Danang dihatinya. Membuka lembaran baru dan membuka hatinya untuk pemuda lain.

Tiga tahun di Jakarta ternyata tak bisa menghapus cinta nya ke Danang. Padahal di jakarta dia sudah punya Rion yang sudah dipacarinya sejak setahun yang lalu. Tapi kehadiran Danang seolah menghapus keberadaan Rion. Danang dengan serta merta menggeser posisi Rion dihatinya.

“Mas Danang” bisik Marni lalu melangkah pelan ke halaman rumahnya. Rumah orang tuanya di kampung. Rumah yang asri dan rindang. Pohon mangga dan sukun tumbuh subur dipekarangan rumahnya. Pohon pohon itu lah yang membuat rumahnya begitu sejuk dan berudara segar.

****

Tepat pukul 5 sore, Marni sudah siap menunggu jemputan sang idaman hati, Danang. Sengaja dia berdandan secantik mungkin. Cewek itu mengenakan pakaian terbagus yang dimilikinya. Semua aksesoris dipakainya. Kalung, gelang, anting dan cincin berkilauan ditubuhnya. Dua buah smart phone di genggamannya. Tak lupa tas merek Hermes kebanggaannya sudah ada di pangkuan.

Wanita muda itu memainkan salah satu smart phonenya. Sesekali melemparkan pandangan ke arah jalan. Tampak rasa tak sabar dari setiap gerakan tubuhnya.

“Mana sih mas Danang? Janjinya jam 5.” Gerutu Marni tak sabar.

Marni kembali memainkan smartphonenya. Tiba – tiba dia dikejutkan dengan bunyi klakson motor. Dipandangnya kearah jalan. Disana sang pujaan, Danang suduh menunggu dengan gagahnya diatas motor. Dilihatnya Danang melambaikan tangan.

“Mbok. Marni berangkat” teriaknya.

Tak ada jawaban. Marni bergegas menuju Danang.

“Nih. Pakai helmnya” kata Danang sambil memberikan sebuah helm.

“ I..Iya mas” Marni menerima help hitam tersebut dan segera memasangnya di kepala.

“Ayo naik”

“Iya..iya mas”

Marni naik diboncengan. Tak berapa lama motor itu pun sudah melaju di atas jalanan kampung.

“Mau kemana kita mas?”

“Sudah.. kamu ngikut aja”

“Hm... pake rahasia segala?” Jawab Marni

Motor itu terus menelusuri jalan kampung. Jalan berliku liku itu makin lama makin sepi. Sementara mentari sore sudah hampir tenggelam.

“Mas.. ini kan jalan menuju bukit.. ngapain kita kesana?”

“Kamu diam aja. Ntar lagi kita sampai”

“Iya mas. Tapi ini sepi sekali. Tidak ada orang lagi mas disini”

“Iya.. mas mau kita berdua saja”

“Berdua saja?

“Iya. Kamu pasti suka kan?”

“Hm...”

“Mas tau. Kamu suka ama mas Danang kan?

Pertanaan itu menohok hati Marni. Tak disangkanya Danang akan berkata seperti itu. Kata – kata yang sebenarnya dia harapkan dari dulu.

“Mas...?”

“Iya. Mas tau Marni ada hati sama mas. Mas dah lama tau itu. Bahkan jauh hari sebelum Marni berangkat ke Jakarta.

“Masak iya?”

“Jujur. Mas juga suka sama Marni” laksana petir kata – kata itu menghantam hati marni. Danang ternyata suka padanya.

“Sekedar suka saja?

Tiba – tiba Danang menperlambat laju motornya. Pemuda itu menepi dan menghentikan motor di bawah pohon ketapang yang tak jauh dari jalan.

“Kok berhenti mas?”

“Kita disini saja”

“Disini?”

“Iya. Disini saja”

Marni turun dari boncengan lalu membuka helmnya. Danang pun turun. Pemuda itu mendekati Marni. Diraihnya tangan wanita cantik itu. Tangan yang lembut tersebut diangkatnya dan digenggamnya di depan dada.

“Marni. Mas Cinta kamu. I love you”

Petir kedua ini lebih dasyat menghantam hatinya. Memporak porandakan hati Marni. Tak disangkanya Danang akan menembaknya di pinggiran desa yang sunyi dan remang. Tak ada seorang pun yang terlihat. Jalanan kampung sepi. Tak ada lagi penduduk desa yang hendak pulang dari ladang disekitar bukit menuju rumah mereka.

Marni tak sanggup menatap Danang. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Danang mengangkat wajah itu. Ditatapnya wajah ayu Marni dalam - dalam. Didekatkannya mukanya ke arah Marni. Marni tahu, Danang mau menciumnya. Ditutupnya pelan mata cantiknya. Namun tiba tiba, beberapa pasang tangan memegang dan mengikat dirinya. Marni terkejut. Belum sempat marni menyadari apa yang terjadi dan melihat siapa yang memegangi dirinya. Matanya sudah ditutup dengan sehelai kain. Marni meronta.

“Mas Danang.. Tolong. Ada apa ini?” teriaknya keras sambil meronta – ronta. Namun kekuatannya tak seberapa dibanding kuatnya tangan – tangan kekar tersebut. Tak ada yang menjawab. Tangan - tangan itu lalu mengikat tangannya. Marni tak kuasa melawan.

“Tolong....!” teriak Marni sekuat tenaga. Namun tiba- tiba mulutnya disumpal. Marni gelagapan. Tangan – tangan itu kembali menjalankan aksinya. Tangan itu melucuti kalungnya. Tangan itu menanggalkan anting kesayangannya. Tangan itu membuka gelangnya. Terakhir mengambil tas kebanggaanya. Marni tak bisa berbuat apa – apa.

“Mas Danang. Kemana dia? Kok tak terdengar suaranya” Marni mulai memikirkan Danang.

“Mengapa laki – laki itu seolah- olah lenyap? Mengapa dia tak membantu ku” Berbagai macam asumsi berkecamuk dipikiran marni.

“Ayo pergi” terdengar suara.

“Lalu cewek ini”

“Sudah tinggalin aja!”

Suara langkah – langkah kaki terdengar menjauh. Makin lama makin tak dengar. Marni tinggal sendirian. Dia yakin orang - orang itu adalah perampok. Mereka tak menyakitinya sama sekali. Mereka hanya menjarah perhiasan dan tasnya. Marni berusaha meronta namun kedua tangnyya diikat, matanya ditutup dan mulutnya disumpal. Mau menjerit dia tak bisa. Mau meronta juga percuma. Marni hanya diam. Hanya doa – doa yang bisa dibacanya dalam hati. Semoga saja ada orang yang lewat dan melihatnya.

Tiba – tiba sebuah suara mengagetkanya

“Marni”

Itu Suara yang tak asing lagi baginya. suara Danang. Marni merasa ada orang mendekat.

Marni. Kamu tak apa – apa? Kamu baik – baik sajakan?

Tangan pemilik suara itu berusaha membuka tutup mata Marni. Tangan itu membuang sumpal dimulutnya dan dengan sigap membuka ikatan tangannya.

“Mas... mas Danang... “ Marni memeluk pemuda yang menyelamatkannya. Dia menagis terisak – isak.

“Sudah.. jangan menangis. Kamu tak apa – apakan? Ada aku disini. Kamu jangan takut?” bujuk Danang sambil membelai lembut kepala Marni.

“Mas Danang tak apa – apa?” Marni balik bertanya.

“Tidak. Mas tak apa – apa”

“Mas juga diikat tadi? Selidik Marni lagi.

“Hm... i..iya.. tapi mas bisa buka. Untung saja ikatannya tak terlalu kuat”

“syukurla. Tapi mas...”

“Tapi apa? ”

“Ah sudah la. Tak apa. Yang penting kita selamat”

“Ya.. ada apa emangnya?”

“Perampok itu membawa kabur tas dan dua buah smart phone ku”

“Hanya itu?

“Tidak. Mereka juga mengambil kalung, cincin, gelang dan antingku mas”

“Lalu gimana tu?”

“Biar saja lah. Nanti bisa dibeli lagi kok”

“Gitu ya?”

“Lalu gimana mas. Kita pulang pake apa? Mana sepi dan gelap lagi”

“Kita jalan kaki saja yuk!”

Akhirnya kedua muda - mudi itu berjalan pulang. Tak ada percakapan yang berarti. Marni sibuk dengan pikirannya. Dia tak habis pikir. Tubuhnya diikat kuat, disumpal dan ditutup matanya sehingga dia tak bisa berbuat apa - apa. Sementara itu Danang seolah – olah tidak mengalami apa pun. Tadi juga tidak terdengar suaranya. Tidak terdengar grasak - grusuk seperti yang dia lakukan. Beribu tanya muncul de kepala Marni.

*****

Ni.. ambil”

“Kenapa tak langsung kau jual?”

“Jual?”

“Ia. Jual ketempat biasa?”

“Kau saja yang jual sendiri”

“Selama ini kan kamu yang jual. kok sekarang aku pula?”

“Ha..ha......”

“Kok malah tertawa?”

“Ni. Lihat ni perhiasan. Periksa baik – baik!”

“Kenapa pula diperiksa. Bawa saja ke toko biasa. Bereskan. Kalian saja yang malas”

“Malas... ?”

“Iya. Kalian yang mulai banyak tingkah sekarang”

“Bapak Danang yang terhormat. Ini lihat pak. Periksa barang – barang yang kita dapat ini baik – baik!”

Danang meraih tas yang disodorkan Karyo. Tangannya mengeluarkan perhiasan yang ada dalam tas. Kalung, gelang, anting, dan cincin.

“Kenapa?”

“Itu perhiasan imitasi Pak Danang”

“Imitasi...?” Danang bertanya dengan nada tak percaya.

“Iya. Emas palsu” Karyo menjawab kesal

“Toko mana yang mau beli. Kamu buat malu kami saja. Kira in perhiasan yang sebesar ibu jari ini mas asli. Mahal harganya. Rupanya imitasi. Imitasi...” Khairul ikut menjelaskan.

Danang terkulai lesu mendengar penjelasn teman - temannya. Perhiasan yang dipakai Marni ternyata imitasi.

“Lalu smart phone yang dua tu?” tanya Danang begitu dia ingat ada dua buah smart phone Marni yang juga ikut dirampok.

“Hi..Hi.. sama. Smartphone KW 4”

“KW 4?”

“Iya. Nih uangnya. Si salim cuman bisa kasih 300 ribu untuk kedua smartphone KW 4 itu. Karyo kembali menjelaskan.

“Tiga ratus ribu?” Danang kembali berucap tak percaya.

“Iya. Ni uangnya” Yogi menyodorkan uang tiga ratus ribu kearah Danang.

“Marni. Kita tertipu dengan penampilan Marni. Pantesan tadi malam dia santai saja pas kalian ambil perhiasannya.

“Santai?”

“Iya. Malah dia bilang bisa di beli lagi. Enteng kali dia bicara”

“Ha..ha.. ya iya lah. Gelang imitasi, kalung imitasi, anting imitasi, cincin imitasi” Yogi tertawa dalam kesalnya.

“Kekasih imitasi” Khairul menyambung.

“Gila kalian”

“Hm... gimana?. Mau lanjut sama si cantik Marni yang imitasi tu?”

“Diam.. jangan becanda!” bentak Danang betul – betul kesal.

Danang berdiri dan meninggalkan kawan – kawannya dengan lesu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

hi..hi.. Marni atau Danang Kak?

13 Sep
Balas

Marni... Marni... Teganya dirimu???

12 Sep
Balas



search

New Post