Dodi Saputra Berkarya

Dodi Saputra lahir Selasa Legi, 25 September 1990/ 5 Rabiul Awal 1411 Hijriah di Desa Mahakarya, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Indonesia. Penggiat li...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kedudukan Hadits Terhadap Alquran
Kedudukan Hadits Terhadap Alquran

Kedudukan Hadits Terhadap Alquran

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agama Islam sebagai agama yang sempurna yang mengatur disegala aspek kehidupan seorang anak manusia. Selain Al-Qur’an, umat Islam juga memiliki tuntunan lain sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu As-Sunnah (ucapan, perbuatan dan sikap) yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW. Berangkat dari penjelasan di atas, maka sangatlah penting bagi umat Islam untuk memahami dan mempelajari hadits (As-Sunnah) agar dapat menentukan mana hadits yang dapat menjadi landasan hukum dalam berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.

Allah Subhanahu Wa Ta`ala menciptakan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini sebagai pemelihara kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah membuat sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi perundang-undangan yang telah dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.

Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan, hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi untuk menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana kedudukan dan fungsinya amat sangatlah urgen sekali.

Di tengah dinamika kehidupan bermasyarakat, banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan dalih kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatulloh atau Al-Qur’an, lebih-lebih mengesampingkan peranan al Hadits, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain.

Beranjak dari pokok persoalan tersebut, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an dalam melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak mungkin umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Qur’an saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum Islam yang mayoritas ulama’ mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga, seluruh khalayak Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan mempunyai aqidah yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik peribadatannya kelak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis utarakan di atas, maka penulis merumuskan pada beberapa sunstansi berikut ini:

Apa definisi hadist?

Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Hukum Islam?

Bagaimana Fungsi Hadits terhadap Al-Quran?

Bagaimana kedudukan hadist terhadap hukum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an?

1.3 Tujuan Masalah

Setelah mengetahui rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari pembahasan makalah ini antara lain:

Untuk mengetahui definisi hadist.

Untuk mengetahui kedudukan Hadits terhadap Hukum Islam.

Untuk mengetahui fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an.

Untuk mengetahui kedudukan hadits terhadap hukum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Hadists

Dari asal katanya, kata hadits berasal dari kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan.Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama hadits selama ini. Dari segi bahasa kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama). Bisa diartikan pula sebagai al-khabar (berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat).

Kemudian, ilmu hadis. Ilmu ini diartikan sebagai ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang dihubungkan dangan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan beliau ucapkan, atau perbuatan yang beliau lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni berupa sesuatu yang dilakukan di depan nabi saw, perbuatan itu tidak dilarang olehnya) atau sifat-sifat nabi saw, termasuk tingkah laku beliau sebelum menjadi rasul atau sesudahnya, atau menukil/meriwayatkan apa saja yng dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in.

Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.

Pengertian hadits menurut istilah dari 3 sudut pandang Ulama :

Menurut para Muhadditsun (ahli hadits)

Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan , perbuatan , ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku, beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua Hiro’) maupun sesudahnya”. Karena para muhadditsun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad itu adalah sebagai uswatun hasanah , sehingga segala yang berasal dari beliau baik ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadits.

Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyyun)

Para ushuliyyun mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an , berupa perkataan ,perbuatan maupun ketetapan (taqrir) beliau , yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah karena bersangkut-paut dengan hukum islam. Ushuliyyun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad adalah sebagai pembuat undang-undang (selain yang sudah ada dalam Al-Qur’an) yang membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya dan menjelaskan kepada umat islam tentang aturan hidup. (ibid)

Menurut sebagian ulama (jumhur ulama)

Menurut sebagian ulama antara lain at-Thiby, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail, mengatakan bahwa hadits adalah segala perkataan , perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.(ibid)

Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmizi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, Imam Ibnu Majah.

Pemberitaan terhadap hal-hal yang didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW disebut brita yang marfu’, sedangkan yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada tabi’iy disebut maqthu’.

2.2 Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam

Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap, yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut.

Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib diikuti, baik dalam perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan paparan tantang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.

Dalil Al-Qur’an

Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam Keadaan kamu sekarang ini[254], sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya[255]. karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar. (Qs. Ali Imran:179)

Dalam ayat lain Allah SWT, juga berfirman:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Qs. An-Nisa’:136)

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang pada Qs. An-Nisa’, Allah menyeru kaum muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.

Dalil Al-Hadits

Dalam salah satu pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda: Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Riwayat Malik)

Dalam hadis lain Rasul bersabda:

Artinya: Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin(khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. Hadits tersebut menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.

Kesepakatan Ulama (Ijma’)

Umat islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal; karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum islam, sebagai berikut:

Ketika Abu Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.” Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.” Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.

Sesuai Dengan Petunjuk Akal

Kerasulan Nabi Muhammad saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah swt., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.

Siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasikan dalam Sunnah Nabawiyah, yakni ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.

Manhaj Komprehensif

Manhaj Islam tersebut mencangkup seluruh aspek kehidupan manusia, dalam dimensi “panjang”, “lebar”, dan “dalam”-nya.

Yang dimaksud dengan “panjang” di sini adalah rentang waktu secara vertical, yang meliputi kehidupan manusia, sejak saat kelahiran sampai kematiannya, bahwa sejak masa kehidupannya sebagai janin sampai setelah kematiannya.

Adapun yang dimaksud dengan “lebar” di sini adalah rentangan horizontal yang meliputi seluruh aspek kehidupan, sedemikian sehingga Petunjuk Nabi (hidayah nabawiyyah) senantiasa bersamanya; di rumah, di pasar, di masjid, di jalanan, dalam pekerjaannya, dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan keluarga, dan segenap manusia sekitarnya, yang Muslim maupun yang non-Muslim, bahkan dengan semua manusia, hewan dan benda mati. Sedangkan yang dimaksud dengan “dalam” disini adalah dimensi yang berkaitan dengan “kedalaman” kehidupan manusia, yaitu yang mencangkup tubuh, akal dan ruh, meliputi lahir dan batin, serta ucapan perbuatan dan naitnya.

Manhaj yang Seimbang

Ciri lain dari manhaj ini adalah “keseimbangan”. Yakni keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara perumpamaan dan kenyataan, antara teori dan praktik, antara alam yang gaib dan yang kasatmata, anatara kebebasan dan tanggung jawab, antara perorangan dan kelompok, antara ittiba (mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi saw.) dan ibtida’ (menciptakan sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya dalam sunnah beliau), dan seterusnya.

Dengan kata lain, ia merupakan manhaj yang bersifat “tengah-tengah” bagi umat yang berada di “tengah-tengah” (yakni umat Islam sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, Surah Al Baqarah, ayat 143). Karena itu, setiap kali Nabi saw. melihat para sahabatnya condong kea rah “berlebihan” atau “berkurang” (dalam berbagai aspek kehidupan mereka), maka beliau segera mengembalikan mereka dengan kuat kea rah tengah (moderasi), sambil memperingatkan mereka akan akibat buruk dari setiap ekstremitas (dalam melaksanakan sesuatu atau dalam mengembalikannya).

Itulah sebabnya beliau menyatakan ketidaksenangnya kepada ketiga orang yang menanyakan tentang ibadah beliau, lalu rupa-rupanya mereka menganggapnya terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan keinginan keras mereka untuk memperbanyak ibadah. Seorang dari mereka hendak berpuasa terus-menerus setiap hari (shiyam ad dahr). Seorang lagi hendak qiyam al lail atau begadang sepanjang malam untuk shalat. Dan yang ketiga hendak menjauhi perempuan dan tidak akan menikah. Maka ketika mendengar ucapan mereka itu, Nabi saw. bersabda yang artinya:

“Sungguh aku ini adalah yang paling takut, di antara kamu, kepada Allah, dan paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi aku adakalanya berpuasa dan tidak berpuasa, bershalat di malam hari dan tidur, dan mengawini perempuan. Maka barang siapa menjauh dari sunnah-ku, ia tidak termasuk golonganku.”

Dan tatkala melihat Abdullah bin ‘Amr berlebih-lebihan dalam berpuasa, ber-qiyamullail dan ber-tilawat Al Qur’an, Nabi saw. memerintahkannya agar melakukan semua itu dengan sedang-sedang saja, tidak berlebih-lebihan. Sabda beliau yang artinya:

“Sungguh badanmu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk beristirahat), matamu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk tidur), istrimu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk disenangkan hatinya dan dipergauli dengan baik), dan para tamumu mempunyai ha katas kamu (yakni untuk dihormati dan diajak berbincang), maka berikan hak-hak itu kepada masing-masing.”

Manhaj Memudahkan

Di antara ciri-ciri lainnya dari manhaj ini adalah keringanan, kemudahan, dan kelapangan. Seperti juga di antara sifat-sifat Rasul ini yang tercantum dalam kitab-kitab suci terdahulu – Taurat dan Injil –

“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. ”(QS : Al A’raf : 157).

Sifat seperti itulah yang menyebabkan tidak adanya sesuatu dalam sunnah Nabi ini yang menyulitkan manusia dalam agama mereka, atau memberati mereka dalam dunia mereka. Bahkan beliau pernah bersabda tentang dirinya sendiri, yang artinya :

“Sesungguhnya aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan (untuk seluruh manusia).” Ucapan ini merupakan penafsiran bagi firman Allah SWT: “… Tiadalah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (Al Anbiya: 107). Dan beliau telah bersabda pula, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusmu sebagai seorang yang mempersulit atau mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi akudiutus oleh-Nya sebagai pengajar dan pembawa kemudahan.”

Dan ketika mengutuh Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepada mareka berdua dengan sebuah pesan yang ringkas namun padat, yang artinya:

“permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan menyebabkan mereka menjauh, dan berusahalah kalian berdua untuk senantiasa bersepakat dan jangan bertengkar.”

Pernah pula beliau menujukan sabdanya kepada umatnya, yang artinya:

“Permudahlah oleh kalian dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang pergi menjauh!”

Dan tentang misi yang dibawanya, beliau berkata, yang artinya:

“Sesungguhnya aku ini diutus dengan al hanifiyyah as samhah (yakni jalan hidup yang lurus dan lapang).”

2.3 kedudukan Hadist terhadap Al-quran

Sumber ajaran islam kedua setelah al-quran

Ada beberapa ayat Al-quran yang perlu di perhatikan untuk melihat kedudukan Sunnah Rasul di sisi Al-Quran. Dalam surah al-Anfal: 20 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)

Dalam surah al-Hasyr: 7 :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”

Menurut Syyid Rasyid Ridha, Nabi menjelaskan kandungan Al-quran dengan perkataan dan perbuatan. Penjelasan itu berupa tafshil, takhshish, taqyid, tetapi tidak pernah membatalkan informasi dan hukum-hukum yang terkandung dalam A-quran. Maka al-sunnah tidak menasakh Al-quran.

kedudukan Hadist terhadap Al-quran harus diakui bahwa untuk memahami dan mengamalkan kandungan Al-quran diperlukan informasi historis tentang kronologi turunnya dan informasi tentang penjelasan/sunnah rasul yang bekaitan dengan ayat di maksud. Karena rasul yang membawa Al-uqran, maka ialah yang paling berhak mengulas dan memberi penjelasan.

Kedudukan Hadist dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran islam, menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah al-Quran. Hal tersebut terutama di tinjau dari segi wurud atau stubutnya Al-Quran adalah bersifat qath’i; oleh karenanya yang bersifat qath’i (pasti) didahulukan dari pada yang zhanni (relatif). Untuk lebih jelasnya, berikut akan di uraikan argumen yang di kemukakan para ulama tentang posisi hadist terhadap al-quran tersebut:

a. al-Quran dengan sifatnya yang qath’i al-wurud (keberadaannya yang pasti di yakini), baik secara perayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi dari pada hadist yang statusnya secara hadist per hadist, kecuali yang berstatus Mutawatir, adalah yang bersifat Zhanni Al-Wurud.

b. Sikap para sahabat yang merujuk kepada al-quran terlebih dahulu apabila mereka bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah, dan jika di dalam al-quran tidak di temui penjelasaannya, barulah mereka merujuk kepada al-sunnah yang mereka ketahui, atau menanyakan hadis kepada sahabat yang lain.

c. Hadis Mu’ad secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-quran dan al-sunnah (hadist) sebagai berikut:

“Bahwasanya tatkala rasulullah saw hendak mengutus mu’adz ibn jabal ke yaman, beliau bertanya kepada mua’dz, “bagaimana engkau memutuskan perkara jika di ajukan kepadamu?” maka muadz menjawab, “aku akan memutuskan berdasarkan kitab Allah (al-Quran).” Rasul bertanya lagi, “apabila engkau tidak menmukannya jawaban di kitab Allah?” mua’dz berkata, “aku akan memutuskannya dengan sunnah”. Rasul selanjutnya bertanya, “bagaimana kalau engkau juga tidak menemukannya didalam sunnah dan tidak dalam kitab Allah?” mu’adz menjawab, “aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku.” Rasul saw menepuk dada mua’dz seraya berkata “alhamdulillah atas taufik yang telah di anugrahkan allah kepada utusan rasul-Nya.”

Argumen diatas menjelaskan bahwa ke dudukan hadist nabi saw berada pada peringkat kedua setelah Al-quran. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi nilai hadist, karena keduanya, Al-quran dan hadist pada hakikatnya sama-sama berasal dari wahyu Allah. Karenanya keduanya seiring dan sejalan.

Sebagai musyar’i (pembuat syari’at)

Sunnah tidak di ragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam al-quran, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, di sunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:

Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam al-quran

Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam al-quran, tetapi hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam al-quran

Sunah sebagai ta’kid (penguat) al-Quran

Hukum islam di dasarkan pada dua sumber, yaitu al-quran dan sunnah. Tidak heran kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat,zakat,puasa,larangan musyrik,dan lainlain.

Sesungguhnya kedudukan hadist sebagai wahyu yang sakral bagi kaum muslimin, bukan karena peranan imam Syafii’, tetapi alquran sendiri telah menegaskan hal ini dalam beberapa ayat cotoh al-hasyr: 7 dan al-taghaabun: 12. Kedua ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya secara tegas memerintahkan untuk melaksanakan apa saja yang telah di perintahkan oleh rasulullah, baik berupa ucapan, tindakan maupun persetujuan beliau. Sebab dalam hal ini, pengertian hadis adalah mencakup semua yang di sandarkan kepada rasulullah. Maka kedudukan hadis yang sakral telah di tegaskan dalam al-quran.

Kita tahu kedudukan sunnah dalam syariat islam. Sesudah Al-quran, sunnah menduduki tempat kedua dalam segala hal yang menyangkut syariat islam. Dan untuk mengenal sunnah, orng hanya dapat dengan jelas mengetahuinya melalui hadist. Karena itu hadist merupakan tempat kembali yang tidak di ragukan lagi.

2.3 Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

a. Bayan at-Taqrir

Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang artinya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suat contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” Hadis di atas datang men-taqrir ayat al-qur’an di bawah ini: “...Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...(Qs. Al-Baqarah:185)

Bayan al-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang contoh ayat-ayat yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhisas, hudud, dsb. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebanya, syarat-syaratnya, atau halangan-halangannya. Oleh karena itulah Rasulullah saw, melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Contoh fungsi hadis sebagai bayan al-tafsir yaitu: Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Bukhori).

Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci, salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:

Artinya: dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang

Sedangkan contoh hadis yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah saw: “Rasulullah saw, didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”. Hadis ini men-taqyid Qs. Al-Maidah:38 yang berbunyi “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Qs. Al-Maidah:38)

3. Bayan at-Tasyri’

Yang dimaksud dengan bayan al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Hadis Rasul saw, dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suat kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Hadis-hadis Rasul saw, yang termasuk ke dalam kelompok ini diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:

Artinya: Bahwasannya Rasul saw, telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim. (HR. Muslim). Hadis Rasul saw, yang termasuk bayan at-Tasyri’ ini wajib diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadis-hadis lain.

4. Bayan al-Nasakh

Kata nasikh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama’ mengartikan bayan al-Nasikh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Jadi intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang akhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hukum harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, terutama syarat ketentuan adanya nasikh dan mansukh. Pada akhirnya, hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada Al-Qur’an dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Qur’an. Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama’ ialah: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Hadis ini menurut mereka menasikhk isi firman Allah swt: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau dengan sifat.

Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”. Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat.

Fungsi Hadits terhadap Al Qur’an adalah berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan al-Qur’an, untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.

Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab kedudukannya sebagai penguat dan penjelas, namun Hadits juga dalam menetapkan hukum berdiri sendiri, sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebutkan Al-

Qur’an, seperti memberikan warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana Nabi SAW, memberikan seperenam dari harta tinggalan orang yang meninggal (cucunya)

3.2 Saran

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah pengertian tentang Ilmu hadist. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata Kuliah Ulumul Hadits. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Kami pun dari Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu mohon maaf, sekaligus kami berharap saran dan kritik yang membangu dari para pembaca semua. Semoga makalah ini nantinya bermanfaat untuk kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

IAIN Sunan Ampel. 1993.Ilmu Tafsir dan Hadits. CV. Aneka Bahagia: Surabaya

Khumaidi, irham. 2008.Ilmu Hadits Untuk Pemula. CV. Artha Rivera: Jakarta

Qardhawi, yusuf. 1993.Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. Karisma: Bandung

Rahman, fatchur. 1987.Ikhtishar Mushthalahu’l-hadits. PT Al-Ma’arif: Bandung

Suryadilaga, alfatih. 2010.Ulumul Hadits. Teras Jogja: Yogyakarta

Zuhri. 2003.Hadis Nabi. PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow... makalah ya pa

03 Feb
Balas

Mohon maaf pak saya tidak bisa membacanya sampe selesai karena tulisan terlalu panjang .

03 Feb
Balas

Luar biasa, mari berpegang teguh pada Alquran dan hadis sebagai pedoman hidup kita, agar hidup tenang dan selamat dunia akhirat.

03 Feb
Balas

mantap ko pak dodi

03 Feb
Balas



search

New Post