Dodi Saputra Berkarya

Dodi Saputra lahir Selasa Legi, 25 September 1990/ 5 Rabiul Awal 1411 Hijriah di Desa Mahakarya, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Indonesia. Penggiat li...

Selengkapnya
Navigasi Web
Lukisan Garuda dan Serdadu Tikus
Cerpen Lukisan Garuda dan Serdadu Tikus

Lukisan Garuda dan Serdadu Tikus

Lukisan Garuda dan Serdadu Tikus

Cerpen Dodi Saputra

“Woi..., dasar tikus! Apa-apa dimakan,” teriak Malin di tengah malam buta. Mendengar suara itu, ternyata Siti terperanjat seketika. Ia bergegas mendekati asal suara itu. Dialah lelaki lima puluhan tahun. Duduk di kursi rotan sebelah jendela. Langkah Siti separuh gontai, setengah kakinya menggesek lantai. Matanya dihadapkan pada lelaki bertelanjang dada dengan puntung keretek di tangannya. Asap kian meliuk-liuk mengitari lampu pijar dan langit-langit. Sarung hijau kesayangannya pun masih mengalung setia di pundak. Tetapi, aneh betul malam ini, lelaki itu mengibas-ngibaskan jemarinya.

“Ada apa sih, Abak?” tanya Siti dengan suara paraunya.

“Ah, cuma sakit sedikit kok. Abak baru saja kena setrum.”

“Maaf, Abak. Kami lupa memberitahu Abak. Sejak Abak berdagang ke luar kota, kami tidak menghidupkan televisi. Sebab Amak pun pernah begitu.”

Siti menceritakan Amak yang ketakutan saat terpegang kabel itu. Mulanya tak ada yang mengetahui mengapa kabel itu bisa menyetrum. Mereka mulai tahu, ketika seekor tikus-sebesar anak kucing-melintas, saat lampu ruang tamu dinyalakan. Demikian juga saat lampu dapur dihidupkan. Kawanan tikus berlarian pontang-panting mencari perlindungan. Ada yang ke tumpukan kayu-kayu, di bawah lemari piring, dan sebagian memanjat tiang ke loteng. Sejak itu pula, Amak benar-benar geram pada tikus.

Sebenarnya Siti pernah memasang perangkap lem. Sederhana, supaya tikus-tikus itu lengket di kubangan lem yang sudah dipasang pada sebilah papan. Hampir setiap malam Siti dan Amak memasang perangkap tikus itu. Alhasil, setiap paginya, mereka mendapati tiga sampai lima ekor tikus terkapar di papan itu dengan mata terbelalak seraya mencoba berontak. Tapi apalah daya, mereka tak berkutik. Tikus-tikus itu pun menerima pukulan kayu dan akhirnya menjadi santapan kawanan kucing.

Entah, musibah apa ini? Tak berhenti sampai di sana, malam-malam lain kawanan tikus itu semakin banyak saja. Ya, persis seperti serdadu tikus yang kelaparan membabi buta. Saat lampu dipadamkan-tepat di tengah malam-mereka asyik bergerilya ke sana ke mari memanjat lemari, membuka penutup kuali, menggigit buah, sayuran, dan menjatuhkan peralatan dapur. Sesekali, akibat ulah suara gaduh serdadu tikus itu, berhasil membangunkan mimpi Siti dan Amak.

“Amak pernah kena setrum, Nak?” Tanya Malin dengan mata terangnya.

“Ya, Abak. Kabel terkelupas itu ulah tikus. Mereka juga melahap bumbu masak, ubi, pisang, dan kentang di dapur. Bahkan kabel mesin cuci, dan selang kompor gas pun sudah mulai digerogotinya.”

“Bangsat! Baiklah, Abak akan memperbaiki kabel yang rusak itu. Kembalilah ke kamar, Nak! Besok kamu sekolah kan?”

Siti hanya mengangguk, sebab matanya masih terlihat memerah. Tatapannya sayu. Mungkin saja ia kelelahan setelah mengerjakan pekerjaan rumah tadi siang. Ya, Siti sepulang sekolah membantu Amak membatik. Sejak malam itu, Malin tak lagi menghidupkan televisi, sampai ia sempat menutup kabel itu. Kini, ambisinya membuncah untuk bertarung melawan serdadu tikus.

***

Siti menyiapkan makanan dan minuman di atas meja. Tak lupa Siti juga memberikan uang hasil jualan gorengan kemarin. Siti baru bisa memberikan uang itu, sebab Amak semalam sudah tertidur terlebih dahulu. Amak pun begitu, ia tak mau meminta uang hasil penjualan gorengan, sebelum Siti memberikannya.

“Amak, ini uang hasil penjualan kemarin. Semuanya pas, lima puluh ribu.” ujar Siti seraya memberikan kantong berisi uang kertas dan beberapa uang receh.

“Alhamdulillah. Terima kasih ya, Nak. Nah, ini untuk belanjamu hari ini ya.” Amak mengambil kantong itu dan mengambil beberapa lembar uang seribu untuk uang jajan anaknya. Malin menganggguk pelan melihat mereka demikian.

“Terima kasih, Amak,” jawab Siti dengan senyum simpul bibirnya.

Amak tidak pernah menghitung uang dalam kantong itu seketika. Amak selalu menyediakan waktu sebelum tidur untuk membuka dan menghitungnya. Ia ingin membuktikan sekaligus menanamkan kejujuran pada anaknya. Begitulah Siti dengan ketundukan di dadanya. Seperti sayap keteladanan yang mengepak wajah ayunya. Seperti akar kepatuhan yang mencengkeram kuat di kalbu. Seperti batang kejujuran yang kokoh dalam setiap detak jantung. Seperti bunga ketulusan dalam setiap ucapan. Seperti buah kejujuran yang merekah dalam setiap senyuman. Di manakah dicari anak-anak berhati lembut lagi santun seperti Siti? Oh, Tuhan. Kabulkan setiap penghambaan.

“Amak, kenapa kau tak bilang kalau pernah kena setrum? Jujur sajalah...”

“Ambo bukan tak jujur, Abak. Justru saat ini aku mau jujur padamu. Ambo tak mau mengganggumu saat kau berdagang di rantau. Biarlah kusimpan sementara, sampai dirimu kembali. Aku yakin kau tak akan marah padaku, karena selama ini kau selalu jujur padaku.” Usai mendengar penjelasan itu, mereka berpelukan mesra, seperti surga dunia di taman bunga. Ya, Siti berada di antara dua cintanya. Pagi itu amat syahdu. Puncak rindu penghuni rumah. Oh, sakinah.

***

Di kapal perjalanan ke seberang. Malin terbesit satu pikiran tentang hewan yang kerap mengusik di rumahnya tatkala tengah malam. Dulu, ketika masih bekerja di sebuah perusahaan besar. Malin diajak rekan kerjanya untuk memborong sebuah proyek raksasa. Malin tahu persis berapa keuntungan yang akan didapatkan. Tetapi, setelah ditelusurinya, uang itu adalah uang negara yang dipermainkan. Pikirannya berlari pada jalanan yang sebentar saja dibangun, sudah berlubang. Jembatan baru saja dibuat, sudah ambruk. Gedung perkantoran didirikan, gempa sedkit, sudah runtuh. Bahan bangunan dimakan, sembako di selundupkan, sampai buku-buku pun dimakan. Sungguh keterlaluan! Oh, Tuhan.

Dalam perjalanan kapal pulang pun, ia melukiskan kegelisahan yang teramat dalam. Ia memainkan kuas dengan kelihaian jemarinya pada kanvas. Tak berapa lama, selesailah lukisan tubuh garuda yang tak utuh, dengan serdadu tikus menggerogoti kaki, sayap, bahkan kepalanya. “Negeri kita ini sudah seperti garuda ini, Nak,” batinnya. Lalu, berucap pula bibir hitamnya lirih sembari aliran bening menetes di kedua kerut pipinya. Begitulah Malin-meskipun sudah berkaca mata tebal-tetap saja gemar melukis sepanjang perjalanan pulang. Remuk redam.

“Amak..., Siti..., kemarilah! Abak ada sesuatu.” Sudah menjadi kebiasaan Malin ketika pulang berdagang, memberikan sekantong uang dan tak lupa makanan kesukaan Upik dan Siti. Ya, sengkulun manis. Tapi kali ini ada satu bawaan Malin yang berbeda. Ia membawa bungkusan hitam sebesar bingkai foto pajangan. Upik dan Siti yakin, semua itu dibeli dari hasil penjualan lukisan.

***

Seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun memakai seragam dinas dengan lambang di kanan dan kiri lengan bajunya. Tak lupa pin merah separuh putih yang setia terpasang di atas saku dadanya,“saya anti sogok.” Ia menjadi guru favorit bagi Siti. Setiap masuk, ia selalu menyediakan hadiah istimewa dari rumahnya.

“Kalau ananda diminta membeli sesuatu ke warung, lalu ada uang kembaliannya. Apa yang harus ananda lakukan? Ayo, siapa yang bisa menjawab? Bapak kasih hadiah.” Tanya Pak Ujang. Siti selalu tercepat mengacungkan tangan menjawab soal semacam itu, demikianlah hikmah kebiasan jujurnya pada Amak.

***

Hari makin kelam, begitu pula pada paru-paru Malin. Mulai sakit-sakitan dan keluar-masuk ruangan perawatan di rumah sakit.

“Abak cobalah jujur pada diri Abak. Abak mau sehat atau sakit? Kalau Abak mau sehat. Upik tak mau lagi melihat Abak merokok,” pinta Upik sembari mengelus-elus tangan Malin yang diinfus. Malin perlahan menoleh lemah ke arah Upik dan Siti seraya mengangguk perlahan. Sejak saat itu, semilir angin pagi terasa sejuk. Namun, saat pulih, Malin semakin geram tatkala melihat berita korupsi di televisi. Ia memukul meja sekuat-kuatnya. Sampai-sampai sebagian kopi di cangkirnya melonjak dan tumpah-ruah di meja. Siti maklum pada kegeraman Malin setiap menyaksikan berita serupa. Ia tetap berlapang dada. Ah!

Ya, seiring musim berganti. Siti mengabdi pada negeri. Ia tak mau korupsi waktu. Ia juga tak mau mengambil milik negara. Ia menyadari betapa Abak dahulu benar-benar menggeraham, saat membuat lukisan garuda yang meneteskan air mata darah. Ia juga mafhum pada sayap kaki garuda tinggal sebelah. Sang garuda akan habis masanya, tamat riwayatnya. Malam itu, ia bermimpi, garudanya memekik sejadi-jadinya. Siti menyibak tirai pintu, alangkah terkejutnya ia saat serdadu tikus sudah menggerayangi tubuh garuda berlumuran darah. Sungguh!

“Oh, garuda. Riwayatmu kini sungguh menyayat hati negeri ini.” Dalam kelam, serdadu tikus tak pandang bulu. Perlahan mereka merongrong lukisan, secarik-demi secarik. Semua disantap. Lahap. Sampai tinggal bingkai. Dalam sunyi dan semburat pelita. Tak disangka, berdiri tegap lukisan garuda muda. Serdadu tikus kabur terbirit-birit menyaksikan kegagahan sayap dan pekikannya. Allah Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Ah! *(Pasaman, Desember 2019)

Biodata Penulis

Dodi Saputra lahir di Desa Mahakarya, 25 September 1990, Kabupaten Pasaman Barat. Saat ini mengajar IPA di MTSN 2 Pasaman dan mengontrak rumah di Perumahan Manise, Kecamatan Rao, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat. Penulis senang menulis cerpen, puisi, opini, feature, esai, berita, resensi, dan novel. Penulis berhasil menulis 11 buku tunggal; novel berjudul Bumi Mahakarya dan buku cerpen Musim Bunga di penerbit AG Litera, Yogyakarta (2014). Seterusnya, buku puisi Api Ziarah penerbit FAM Publishing, Kediri (2014). Buku 100 Strategi Mahasiswa dan Sarjana Sejati di penerbit Kekata Publisher, Surakarta (2018), Surau & Manusia Akhir Zaman di penerbit Guepedia (2019), Serial Kiasah Akhlak Anak Muslim, (Guepedia, 2019). Kemudian 5 seri buku mantagi berjudul Mantagi Pertama sampai Mantagi Kelima: Solusi untuk Indonesia (Guepedia). Segera terbit buku terbaru berjudul Menjadi Guru Hebat Bermartabat, di penerbit GMBI, 2019.

Ragam tulisannya berupa karya fiksi dan nonfiksi dimuat di berbagai media; Singgalang, Rakyat Sumbar, Haluan Padang, Padang Ekspres, Harian Analisa (Medan), Riau Pos, Lampung Pos, Banjarmasin Post, Radar Bromo (Surabaya), Metro Riau Pos,Minggu Pagi (Jogja), Majalah Walida (Jawa Timur),Inilah Bogor, Tabloid Suara Kampus dan Tabloid Medika Kampus. Tulisannya juga terbit di media online; Suara Redaksi Okezone, Wawasanews, Indonesianpride.com, Media Mahasiswa, dan Sastra Indonesia.com. Penulis sempat diundang dalam program KEMENKES RI, KEMDIKBUD RI, KPPPA RI dan agenda literasi dari berbagai instansi lainnya.

Nomor HP/ WA: 0852-6599-1790 (Dodi Saputra)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post