“CANDUANG MENDUNIA”(Bag.14)

Alam Takambang Manjadi Guru (lanjutan)

Alam takambang jadi guru, filosofi utama yang selalu dipakai oleh masyarakat Minang, baik di kampung atau di perantauan. Filosofi ini dikenal sebagai ikhwal cara masyarakat Minang dalam memandang dan memaknai alam yang terbentang. Alam sebagai ruang yang sangat luas harus dipelajari sebaik mungkin. Sebagaimana alam merupakan refleksi dari proses kehidupan manusia.

Semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya itu saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan, saling mengelompok tapi tidak saling meleburkan.

Unsur-unsur itu, masing-masing hidup dengan eksistensinya dalam suatu harmoni. Dinamis sesuai dengan hukum alam yang dinamakan ‘bakarano bakajadian’ atau sebab akibat. Tidak berlebihan rasanya, jika orang sering menyebut bahwa setiap hembusan nafas orang Minang banyak makna simbolik di dalamnya.

Tak di kedai, surau, sawah atau ladang. Setiap ucapan baik berupa petatah, petitih, atau sekedar olok-olokan, segalanya diungkap berdasarkan alam. Hampir semuanya mengandung makna simbolik.

Ambil saja satu contoh yang merujuk pada sumpah pengangkatan penghulu atau datuk:

ka ateh indak bapucuk, (ke atas tidak berpucuk)

ka bawah indak baurek, (ke bawah tidak berurat)

di tangah-tangah digiriak kumbang.(di tengah-tengah dilubangi kumbang)

Tak ada sumpah yang lebih sakral dari itu. Ucapan sumpah yang disimbolkan pada sebatang pohon. Jika sumpah itu dilanggar, akan seperti pohon yang tidak berpucuk, tidak berurat, di bagian tengah dilubangi kumbang pula. Artinya. pohon itu sudah tak bisa digunakan lagi atau mati.

Makna simbolik dari petitih itu adalah, bahwa penghulu yang diangkat dengan sumpah tersebut jika melakukan kesalahan atau pelanggaran dari apa yang seharusnya dilakukan. Maka dia termakan sumpah, sehingga hidupnya sengsara turun temurun tidak bahagia.

Alam barangkali bukan cuma yang berada di sekitar, tapi sejauh mata memandang, sejauh apa yang terlihat dan dirasakan.

Beranjak dari filosofi ‘alam takambang jadi guru’ tersebut. Mulailah orang Minang hidup dengan kieh (bahasa kiasan). Ibaratnya bukanlah orang Minang namanya jika seseorang tak tau bahasa kieh.

Orang Minang harus bisa meletakkan sesuatu kato (kata) pada tempatnya. Barangkali dari sini bisa dimaklumi, bagaimana tindak tutur masyarakat Minang dalam ‘babahaso’ (berbahasa) dan berungkap, dimulai dengan membaca situasi alam melalui raso jo pareso (rasa dan periksa).