drh. Ratri P. Wiryakusuma

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Bakwan Jagung dan Gerimis
Bakwan Jagung. Sumber: //www.rasalapar.com/2019/12/bakwan-jagung-udang.html

Bakwan Jagung dan Gerimis

Hujan mengguyur kota sedari sore. Tiba-tiba terdengar bunyi tang, tang, tang tujuh kali, menunjukkan sudah pukul tujuh malam. Hujan belum juga usai, masih menyisakan gerimis. Ibu bersama adik bungsu masih belum pulang dari rumah Eyang, orang tua ayah. Ibu sudah berangkat sejak pagi. Ibu pasti belum boleh pulang. Apalagi hari hujan seperti ini, pasti Ibu dan adik diajak minum teh dan menikmati kudapan sambil mendengarkan cerita Eyang. Ibu itu menantu kesayangannya Eyang.

“Sedang apa kamu Shinta, duduk termenung di depan jendela.” tanya Ayah mengejutkanku

“Iya Ayah, baru melihat gerimis, Ibu dan adik belum pulang ya, Ayah?” tanyaku balik

“Nanti juga pulang.” sahut Ayah

 

Kakak sulungku juga bergabung ngobrol di ruang tamu. Ayah bercerita kebiasaan Eyang dan keluarga jika hari hujan, 

“Wah ini enak ya kalau ada pisang goreng, bakwan jagung atau tahu anget-anget.” kataku 

“Ke dapur sana Shin, buat bakwan!” celetuk Kakakku

“Malas aah, tidak ada Ibu.” Jawabku

“Kok tidak ada pedagang lewat ya” kata Kakakku

“Hari hujan, Raka.  Jadi pedagangnya tidak keluar” Jawab Ayah

 

Tiba-tiba terdengan orang berteriak, “Bakwan jagung, bakwan jagung, gorengan, anget-anget” Oh, pucuk dicinta ulampun tiba, rupanya.

“Ah, itu dia!” kata Kakakku sambil berdiri dan membuka pintu seraya berteriak “ Sini Bang”

Abang pedagang gorengan segera merapat ke teras rumah. 

“Berapaan ini, Bang?” tanya Kakak.

“Lima ribu dapat 4, Mas?” jawab si Abang pedagang gorengan

“Kok mahal sih, Bang. Biasanya seribu dapat satu” Kata Kakakku menawar

“Huffff, duh kok nawar sih,” gerutuku dari dalam ruang tamu

“Maaf Mas, ndak dapat, bahannya sekarang naik semua harganya.” jawab Abang pedagang gorengan

“Ya udah deh Bang, gak jadi,” kata Kakakku.

Ayah mendadak berdiri dan keluar  “Bang, bungkuskan bakwan jagung dan pisang gorengnya dua puluh ribu saja.”

“Baik Pak,” jawab si Abang

“Shinta ambilkan uang Ayah, ada tiga puluh ribu di meja!” perintah Ayah kepadaku. Akupun bergegas mengambilkan uang tiga puluh ribu rupiah dimeja yang dimaksud.

“Ini Yah uangnya,” jawabku sambil menyerahkan uang.

“Ini Bang, dua puluh ribu untuk gorengan dan sepuluh ribu untuk Abang,” kata Ayah kepada Abang pedangan gorengan seraya tersenyum.

Pedagang gorenganpun mengucapkan terima kasih.

“Terma kasih banyak Bapak, semoga Bapak dan keluarga berlimpah rejeki. Sudah dari tadi saya keluar belum menerima uang. Sekarang bapak membeli dan memberi uang saya, sekali lagi terima kasih Pak.” Kata Abang pedangan gorengan. Ayahpun menjawab ucapan tersebut dengan lembut dan tersenyum.

 

Pedagangpun segera pergi meninggalkan kami. Dan kamipun segera masuk kembali ke ruang tamu sambil menunggu Ibu pulang. 

“Shinta, ayo kita makan gorengannya dan kamu Raka lihat baik-baik kami makan ya. Raka ndak boleh makan.” Kata Ayah pada kami.

“Tapi Ayah,” Kataku

“Tidak ada tapi Shin, tadi dia yang nawar dan ndak jadi beli. Kamu juga dengar tadi. Jadi biarkan saja dia melihat kita menikmati gorengan hangat ini.” lanjut Ayah. 

Kakakkupun hanya diam tidak berani mengambil, aku kasihan juga.

Tampak ayah segera membuka kemasan bakwan goreng yang tertutup rapat dan rapi. Ayahpun segera menikmatinya. Ayah mengambil pisang goreng sembari berkata “Enak ya Shin, hmmm gendut-gendut gorengannya wajar kalau harga segitu apalagi kemasannya rapi seperti ini."

“Duh, kasihan Kakak” ucapku dalam hati dan tak terdengar.

“Kamu pengen makan gorengan ini Raka, kamu belum boleh makan sampai Ibu pulang” Kata Ayah

Kakakku hanya menunduk. Ayahpun melanjutkan,

“Dengar baik-baik, Raka dan dan Shinta. Tahukah kalian, pedagang tadi punya keluarga, demi menghidupi diri dan keluarganya dia berjalan berkeliling menawarkan dagangannya meski gerimis, hujan ataupun panas terik. Lah Raka malah menawar, bilangin mahal dan ndak jadi beli. Kalian ingat kalau kalian belanja di Mall, apa kalian menawar? Tidakkan, kalian terima saja harga itu meski mahal.”

“Iya, Ayah,” Jawab kami serempak

“Kalau kalian mau membantu mereka setidaknya dengan membeli dagangan mereka dan tidak menawar, boleh kalian menambahkan uang kalau kalian ada. Membeli dagangan mereka itu artinya menghargai usaha dan menolong ekonomi mereka.”

“Iya Ayah, kami minta maaf” kata Kakakku.

 

Kembali aku menatap ke luar jendela. Jalan tampak lengang, langit masih menyiram bumi. "Kapan Ibu kembali?" aku bertanya dalam hati. Kupandang kakak, kupandang Ayah. Ya, aku mengerti Ayah. Tiba-tiba ada sinar lampu mobil dari ujung jalan. Semoga itu mobil Ibu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kalau kalian mau membantu mereka setidaknya dengan membeli dagangan mereka dan tidak menawar, boleh kalian menambahkan uang kalau kalian ada. Membeli dagangan mereka itu artinya menghargai usaha dan menolong ekonomi mereka. kereeeen

18 Mar
Balas

Terima kasih Bunda sudah berkunjung. Sukses dan sehat selalu. Salam literasi

18 Mar

Matap ..Bunda..dan nasehat Ayah memang betul ..bagus.Salam literasi

18 Mar
Balas

Terima kasih Bunda sudah berkunjung. Sukses selalu dan salam literasi

18 Mar

Bagus, bund.Jadi teringat pesan alm ayah: dulu malah kita Ndak boleh beli di pedagang keliling, Krn dagangannya terbuka, ga boleh juga jajan di pinggir jalan apalagi yg dagangannya terbuka pula. Banyak lalat yg hinggap.Salam literasi

18 Mar
Balas

Bagus, bund.Jadi teringat pesan alm ayah: dulu malah kita Ndak boleh beli di pedagang keliling, Krn dagangannya terbuka, ga boleh juga jajan di pinggir jalan apalagi yg dagangannya terbuka pula. Banyak lalat yg hinggap.Salam literasi

18 Mar
Balas

Terima kasih Bunda sudah berkunjung. Sukses selalu dan salam literasi

18 Mar

Cerpennya unik Dok. Izin follow Dokter.

18 Mar
Balas

Terima kasih atas kunjungan dan supportnya. Sukses dan sehat selalu Bapak. Salam literasi...

18 Mar

Makasih bu

19 Mar
Balas



search

New Post