BE-RAMADHAN TEMPO DOELOE DI KAMPUNG KU
Kini usia saya sudah mendekati 50 tahun. Seingat saya, saya mulai diawasi orang tua berpuasa sejak kelas 1 SD. Sebelumnya baru sebatas diajak dan dimotivasi agar puasa saya penuh sehari, 2 hari, dan seterusnya mendekati 29/30 hari sebulan Ramadhan. Mungkin sejak usia 5 tahun saya sudah dididik orangtua untuk mulai berpuasa, meskipun belum bersekolah.
Saya masuk SD agak terlambat, usia 8 tahun. Sebab waktu itu, cara penentuan usia masuk sekolah di kampung saya adalah dengan membentangkan tangan ke telinga yang berseberangan dengan tangan, dengan kepala tetap tegak dan tangan membentang di puncak kepala. Jika ujung tangan/jari bisa menyentuh daun telinga berarti sudah bisa masuk sebagai calon siswa SD. Waktu usia 7 tahun, tangan saya tidak bisa menyentuh daun telinga sehingga sekolah ditunda 1 tahun lagi. Simple dan jujur kan ? Jadi di usia 8-9 puasa saya sudah nyaris harus sebanyak hari Ramadhan waktu itu.
Pelaksanaan ibadah Puasa dan Ibadah lainnya di Bulan Ramadhan di kampung, sewaktu saya kecil sangat lah mengesankan bagi saya. Karenanya, tekad dan pengalaman berpuasa yang dibentuk oleh alm/mah Amai dan Ayah kami terasa sangat berharga bagi saya. Beberapa pengalaman be-Ramadhan hingga ke persiapan Idul Fitri yang berkesan bagi saya adalah;
Pertama, makan kukuak ayam atau makan parak siang. Ini adalah nama untuk makan Sahur waktu itu. Makan kukuak ayam artinya adalah makan sebelum ayam berkokok tanda hari sudah siang. Waktu itu, ayamnya masih jujur dan disiplin. Ayam baru akan berkokok jika fajar sudah muncul. Rentang waktu sahur itu disebut masyarakat di kampung saya sebagai Makan parak siang juga. Mungkin makan parak siang artinya yaitu makan yang dilakukan menjelang hari siang. Kalau hari sudah siang ayam akan berkokok, dan itu berarti sahur sudah harus imsaak. Saya ngak tau apakah metode hisab rukyat fajar dan mendengar kokok ayam itu akurat atau tidak. Yang jelas, radion pun masih langka, dan itulah baru metode yang ada. Jika ayam.sudah berkokok satu dua kali, kami segera menghentikan makan minum. Ngak tau, apa ada ayam iseng yang ngerjain kami....Hehe...
Kedua, mojok di belakang rumah atau pinggir persawahan yang bisa didengar di sana suara beduk berbuka dengan jelas. Saat itu mungkin belum ada microfon pengeras suara di tiap masjid. Karena itu, isyarat waktu tanda berbuka puasa ditandai dengan menebuh beduk. Cuma di kampung saya tidak semua masjid pula yang memiliki dan atau yang menebuh beduk begitu. Ya, namanya anak-anak yang sering tidak atau kurang sabar menunggu waktu berbuka, maka saya setelah mandi sore harus jalan dan mojok ke suatu tempat sekitar rumah, yang di sana suara beduk bisa terdengar sayup-sayup sampai. Setelah terdengar suara beduk berbuka, biasanya anak-anak sekitar juga ikut berteriak bahwa beduk sudah berbunyi. Itu artinya waktu berbuka telah tiba. Santaap.
Ketiga, pergi ke Masjid bersama keluarga untuk sholat Isya dan Tarawih. Kegiatan ini juga termasuk saya tunggu-tunggu. Saya suka karena mau bermain dengan teman-teman sebelum sholat. Juga bisa jajan di pinggir jalan atau kedai. Sebab di siang hari hal itu tidak bisa. Waktu itu listrik belum ada, suasana jalan ya gelap ketika belum ada sinar rembulan. Paling ada 1 atau 2 orang yang membawa penerang, semisal senter battery dan atau suluh alias obor tradisional yang terbuat dari bambu atau botol bekas. Bagi kami anak-anak, hal itu asyik, karena bisa berlarian pulang, dengan bermain ninja-ninjaan dengan kain sarung, atau menjadi hantua-hantuan untuk menakuti anak-anak yang penakut, semisal anak-anak perempuan. Hehe...
Keempat, bermain meriam bambu. Ya anak-anak tertentu di kampung saya ada yang pintar membuat semacam meriam yang terbuat dari betung alias bambu. Semakin besar bunyi ledakannya berarti pihak yang punya hebat. Ia dan teman-teman lain sekitar akan bangga dan puas. Gunanya, ya sekedar senang-senang saja. Itu dilakukan agak jauh dari rumah, menjelang berbuka, dan atau terkadang sebelum.sahur, menambah cara membangunkan masyarakat untuk sahur.
Itulah diantara tradisi lama dunia anak-anak sewaktu saya masih kecil. Seiring perjalanan waktu dan teknologi, semua itu sudah mulai berubah. Bahkan sudah ada yang tidak ada lagi.
Ternyata, pengalaman pendidikan beribadah bersama keluarga:: orang tua, adik kakak, dan teman-teman di kampung tempo doeloe memberi kesan tersendri. Semoga berpuasa dan beribadah Ramadhan kali ini, di masa Pandemi Covid19 inj juga akan memberikan pengalaman dan hikmah serta kesan tersendiri bagi semua keluarga muslim, ya tentu mereka yang sabar, tegar, segar, dan pintar. Aamiin ya Rabb.
Paninjauan, Batusangkar, 27 April 2020.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar