Drs. Zainuddin, M.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

UPAYA ACEH MENDONGKRAK NILAI UJIAN NASIOMAL (UN)

Ujian Nasional (UN) akan segera datang lagi. Memang masalah UN belum ramai dibahas oleh media maupun pengamat UN negeri ini, karena UN akan berlangsung masih beberapa bulan lagi.

Aceh, masih menganggap bahwa nilai ujian nasional (UN) adalah sebuah pretise. Aceh, masih menganggap rangking hasil ujian nasional merupakan rebutan "kasta" dan gengsi dikancah dunia pendidikan di negeri ini.

Hal ini tak dapat dipungkiri, bahwa pemerintah Indonesia masih menganggap nilai UN merupakan tolok ukur kesuksesan suatu daerah dalam mengelola pendidikan. Maka dari itu, Aceh mau tak mau, suka tidak suka harus mengikuti selera perintah, karena Aceh masih bahagian dari negara Republik Indonesia. Dari itulah, Aceh terus mencari format yang jitu agar Aceh bisa memperbaiki peringkat pendidikannya dari tahun ke tahun.

Sebagaimana diketahui bahwa, hasil UN Aceh masih setia berada diposisi bawah dan berkutat diperingkat 34 dari 34 propinsi (hasil UN 2018) di Indonesia. Maka Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan, terus berupaya dan ber-ilah daya agar UN tahun 2019 dapat mendongkrak nilai dan peringkat dijajaran pendidikan nasioanal.

Soal dana, bagi Pemerintah Aceh tidak menjadi masalah. Aceh kaya, Aceh banyak duit. Tapi, kenapa peringkat pendidikan Aceh selalu berada diurutan bawah dan sangat sulit untuk bangkit. Hal inilah yang terus dianalisis, dikaji dan didiskusikan dengan berbagai pihak terkait untuk mendapatkan solusi . Sehingga Aceh dapat menaikkan perolehan nilai UN siswa, sekaligus dapat menaikkan "gengsi" Aceh di urutan peringkat pendidikan Indonesia.

Menurut penulis, banyak hal yang harus diperbaiki oleh pemerintah Aceh.

1. Dinas Pendidikan Aceh/dinas Kab/kota tidak memiliki data tentang penguasaan siswa terhadapa materi, sesuai mapel yang di UN kan. Maka, Disdik harus melakukan pendataan terhadap siswa, tentang penguasaan materi pembelajaran yang mengacu ke UN. Berdasarkan data tersebut, pihak sekolah atau guru harus melakukan tindak lanjut.

2. Belum ada data yang lengkap dan valid, tentang penguasaan guru terhadap materi pelajaran yang diasuhnya. Maka pihak Disdik perlu melakukan uji kompetensi penguasaan materi sesuai mapel yang di UN kan. Atau Disdik harus melatih guru untuk meningkatkan penguasaan terhadap materi yang belum dikuasai.

3. Rendahnya kemauan/motivasi siswa untuk mendapatkan nilai tinggi pada ujian nasional. Pihak dinas perlu melakukan kajian kenapa siswa tidak bermotivasi untuk mendapat nilai tinggi. Masih banyak siswa memiliki pemikiran asal lulus ujian tanpa memikirkan nilai. Berarti pihak sekolah perlu menghadirkan motivator untuk siswa kelas XII.

4. Masih banyak kepala sekolah/madrasah yang komitmennya rendah terhadap capaian hasil UN yang tinggi. Hal ini dibuktikan bahwa kepala sekolah/madrasah tak pernah melakukan desiminasi tingkat sekolah terhadap hasil UN disekolahnya.

5. Sekolah tidak memiliki program terobosan berjangka, minimal 2 tahun kedepan, yang disusun bersama oleh steakholder sekolah berkenaan dengan peningkatan nilai UN.

6. Sarana dan pra sarana pendukung UN kurang memadai di sekolah/madrasah. Masih ada sekolah belum memiliki perangkat komputer yang memadai, serta disekolah belum memiliki jaringan internet. Sehingga, jangankan siswa harus menjawab soal ujian dengan benar, ternyata banyak siswa masih grogi memegang mouse komputer.

7. Belum terjalin hubungan baik dan koordinasi baik antara Kepala sekolah/madrasah, guru, pengawas sekolah, wali siswa dengan pemerintah daerah/propinsi ,dalam hal pentingnya capaian maksimal terhadap hasil UN. Terasa sekali bahwa pihak terkait, terkesan jalan sendiri - sendiri.

Dengan persoalan diatas, maka pihak dinas selaku penyelenggara UN dan kepala sekolah/madrasah sebagi ujung tombak dilapangan, harus terus menerus melakukan inovasi dalam upaya memotivasi siswa/muridnya untuk meraih nilai terbaik. Kepala sekolah/madrasah tidak terperangkap dengan pola2 lama dlm memaksimalkan pembelajaran di sekolah. Pola2 lama itu seperti...

1. Menambah jam pelajaran pada sore hari, pada mata pelajaran yang di UN kan. Biasanya kegiatan ini, tingkat kehadiran siswa tidak maksimal. Hanya diawal - awal kegiatan siswa ramai yang datang, tapi lama kelamaan kehadiran mereka seperti ekor tikus. Hal ini bisa disebabkan siswa bosan, pagi hari berjumpa dengan guru tersebut, di sore hari dengan guru itu lagi, apalagi gaya mengajarnya tidak menarik. Bahkan ada sekolah, kegiatan belajar sore ini hanya bertahan sebulan, selebihnya siswa sdh tidak ada yang datang lagi.

2. Memfokuskan siswa kelas 3 hanya membahas soal2 UN tahun sebelumnya, lalu mengabaikan topik/pokok bahasan yang belum dibahas dikelas 3. Metode pembahasan soal oleh gurupun harus dipantau dan diperbaiki, klo hanya sekedar siswa diberi jawaban benar tanpa penjelasan dan pembahasan, itu juga tak efektif.

3. Melaksanakan try out menjelang UN dianggap baik, namun kalau hanya sekedar melihat hasil tanpa melihat soal yang mana saja yang dianggap lemah oleh siswa, itu akan percuma. Kalau demikian adanya, maka saat ujian sungguhan siswa akan kembali tidak kenal dan paham soal yang sudah dibalik - balik.

Model2 pengayaan dan tambahan jam pelajaran yang penulis tulis diatas, adalah model2 yang telah dilakukan berulang - ulang setiap tahun tanpa ada inovasi dan modifikasi. Terbukti, model2 itu tidak mampu mendongkrak nilai UN siswa dan tidak mampu menaikkan peringkat UN Aceh dikancah nasional. Bahkan, Aceh tidak mampu bergerak dari peringkat juru kunci. Padahal pihak dinas pendidikan, sudah juga membuat "kontrak" nilai antara guru dengan kepala sekolah, kontrak antara kepala sekolah dengan pihak dinas.

Untuk UN tahun 2019 ini, penulis mempridiksikan, Aceh akan mengalami kepayahan untuk bisa bergeser dari peringkat bawah. Bahkan, akan juga kepayahan, walau hanya untuk naik satu peringkat saja. Karena, disekolah saat ini, belum melaksanakan upaya - upaya kearah peningkatan hasil UN.

1. Sekolah masih menggunakan metode lama, seperti penulis sebut diatas. Padahal, UN tahun 2019 tinggal 4 atau 5 bulan lagi.

2. Belum ada koordinasi yang inten antara guru dengan guru, antara guru dan kepala sekolah, antara sekolah dengan pengawas, dengan wali siswa dan antara sekolah dengan pemerintah daerah/dinas pendidikan.

3. Kepala sekolah tidak bergerak maksimal, disamping tidak memiliki program UN yang baik, banyak diantara mereka tidak memiliki inisiatif. Kebanyakan mereka, menunggu titah dahulu atasan baru bergerak. Dan, mereka banyak yang mengeluh dengan fasilitas yang kurang, sehingga mereka tidak ambil pusing dengan hasil UN. Bahkan, mereka akan ikut tertawa bila Aceh nanti masih bertahan di peringkat bawah.

4. Kebanyakan guru kita tidak mampu mengajarkan trik2 menjawab soal UN, sebagaimana yang dimiliki oleh guru2 yang mengajar di lembaga kursus/les.

Hambatan yang paling kentara, dimana penulis sangat nyakin Aceh akan sulit bisa naik peringkat adalah.

1. Ujian nasional (UN) tahun 2019, menggunakan soal model HOTS. Sementara proses pembelajaran di Aceh belum berorientasi pada metode Hots. Ini akan terjadi "shock", baik bagi siswa maupun gurunya.

2. Siswa kita lemah dalam literasi, kebanyakan siswa kita malas membaca. Siswa kita tidak punya daya tahan membaca soal2 yang panjang2 dan berbelit, juga siswa kita tidak punya skill membaca cepat. Dan, jangan heran, bila siswa kita membaca 5 soal saja yg model hots itu, maka soal ke 6 akan down mentalnya, lalu mereka membiarkan hasil UN nya pada nasib.

Jadi apa yang harus dilakukan, dalam menghadapi UN tahun ini..??. Tidak banyak yang bisa dilakukan, pihak dinas terus memantau dan mendorong sekolah untuk berkerja keras, walau dengan metode "ala kadarnya". Tapi, dinas pendidikan harus terus memperbaiki sistem UN yang lebih baik, menimal untuk 2 tahun kedepan.

1. Kepala dinas propinsi/kab/kota, memerintahkan semua kepala sekolah untuk membuat desiminasi pasca UN tahun 2019 tingakat sekolah. Hasil UN lalu dibahas tingkat Kabupaten sebelum dibawa ketingkat propinsi.

2. Pemerintah Aceh/Pemerintah Kab/kota untuk membuat "commited agreement" dengan kepala dinas, bila dalam 2 tahun peringakat UN tidak meningkat, maka kepala dinas harus mundur dari jabatannya.

3. Kepala dinas propinsi/kab/kota juga membuat "kontrak" kerja dengan kepala sekolah/madrasah, bila gagal menaikkan nilai UN disekolahnya, maka kepala sekolah harus berani mengundurkan diri dari jabatannya.

4. Hal diatas perlu dilakukan oleh pemerintah Aceh/pemerintah Kab/Kota, dalam rangka menumbuhkan budaya malu bila gagal dalam bertugas. Jangan hanya kita pintar bicara karakter malu dihadapan anak didik di sekolah, tapi rasa malu itu tidak berlaku pada pengambil kebijakan. Belajarlah pada negara Jepang, dalam hal ini..

Mari kita tunggu hasil UN Aceh tahun 2019 ini. Semoga ada keajaiban, menghampiri dunia pendidikan Aceh, sehingga Aceh bisa naik peringkat UN nya, walau hanya satu digit.... Amiiin..

Bireuen, 30/10/2018.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post