DWI ISTI MUALIMAH

Lahir di Gunungkidul, 23 Desember 1981, Dwi Isti Mu'alimah biasa dipanggil Isti oleh orang tua dan orang-orang yg mengenalnya. Menamatkan S1 Pendidikan Bahasa I...

Selengkapnya
Navigasi Web
The Story of Covid 19 Survivor I
Picture: Suami sakit Day 1

The Story of Covid 19 Survivor I

Banyak yang menanyakan keadaan kami saat Covid-19 tak dinyana melanda keluarga Wijaya sebulan lalu. Tapi aku yang biasanya berperan sebagai Ratu sekaligus jubir kenegaraan lebih memilih tidak menjawab. Semacam diet medsos, atau jaga jarak, biar fans tambah penasaran. (Glk..glk..glk..)

Setelah sekali melakukan konferensi pers satu pihak tanggal 15 Januari 2021 di wall Fbku melalui pengumuman tentang keadaan kami sekeluarga yang tak menerima pertanyaan, aku menghilang. Suami dan bungsu yang juga dinyatakan positif pun tak kuijinkan bermain handphone.

"Seperlunya saja! Istirahat dan berdoa. Kita semua harus hidup. Karena utang-utang kita banyak yang belum lunas." (Ekkekek..curhat)

Maksudnya, kita sekeluarga masih jauh dari level orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Masih ingin memperbaiki diri dan memohon ampunanNya.

Kuabaikan banyak sekali WA yang masuk. Kami sekeluarga benar-benar hanya fokus pemulihan dan penyembuhan. Bukan aku sombong tentu. Nggak. Aku sangat tersanjung dengan begitu banyaknya perhatian dan doa-doa yang dipanjatkan. Tapi aku memang harus banyak beristirahat, supaya tubuh kami punya cukup kekuatan untuk melawan virus yang sungguh digdaya ini.

Well..

Aku pernah berjanji akan bercerita jika kami telah sembuh dari sakit ini. Dan inilah kami sekarang. Dinyatakan negatif, melalui swab PCR setelah terisolasi kurang lebih 1 bulan. Jadi aku harus bercerita dong. Karena janji adalah hutang. Dan aku nggak ingin berhutang lagi. Nggak kredhitan panci, nggak kredhitan selop, nggak juga utang janji. Bunganya ngeri meen... hihihi.. Bikin megap-megap macam kredhitan B** kami yang hampir lunas setelah mengangsur 7 tahun. (Eeelah..curhat maneh)

This is the story..

Malam itu suamiku pulang awal dari bermain Badminton. Malam Selasa tanggal 12 Januari 2021. Nggak seperti biasanya yang selalu hampir atau lewat tengah malam baru nongol kembali dan menyusulku tidur. Dia mengeluh pusing dan mual. Juga sempat muntah beberapa kali sebelumnya.

Ah, kupikir hanya efek makan rambutan kebanyakan tadi sore. Tak begitu kuperhatikan hingga esoknya kuraba badannya summer summer slenget. Anget anget telek pitik. Seperti angetnya telek pitik yang baru dibrojolin. Wkwkwk..

Aku masih sibuk hari Rabunya dengan berbagai aktivitas kedinasan, juga persiapan Launching buku akbar yang akan diselenggarakan IGMPL Jember yang kukomandani. Kutinggalkan suami di rumah. Berulangkali dia menelpon, memintaku cepat pulang. Tapi nggak kutanggapi. Biasa. Bayi besar kalau sakit maunya manja.

Sorenya aku ajak dia ke dokter. Menurut dokter sih gak ada indikasi mengarah ke Covid 19. Tapi dokter yang imut unyu-unyu itu juga bilang, nggak ada salahnya mulai membatasi interaksi dengan keluarga. Okelah. Deal. Suami sepakat pisah ranjang. Sejenak pindah ke kamar bawah, hingga nanti benar-benar sembuh.

Tapi kok perasaanku ini nggak enak ya. Semacam ada ganjelan padahal nggak kelilipan. Gak enak gitu karena suamiku ini termasuk yang resiko tinggi andai benar terserang Covid. Jantungnya bermasalah. Degupnya selalu jauh di atas normal, meski aku nggak sedang nodong Shoppingan. Ada juga gejala Hipertensi, dan ditambah ginjalnya dihuni kista yang berduet dengan batu sebesar 0,001 mili (klo nggak salah).

"Huft...Kayaknya Swab ajalah daripada telat penanganan." Begitu pikirku.

Ga menunda lagi habis Magrib malam Kamis kami berangkat Swab di Lab Shima Jember. Layanannya exclusive dan sangat cepat. Setara dengan biaya yang dibayarkan. Cukup untuk membeli bakso 35 mangkok sekaligus. Hiks.

Eh tapi belum lama kami tiba di rumah, hasil swab Antigen sudah dikirim. Pelayanan sungguh memuaskan dengan hasil sangat mengecewakan. Suami dinyatakan positif.

Memang Swab Antigen ini nggak selalu berarti positif Covid 19 yaa... Tapi dugaan kami mulai mengarah ke sana setelah membaca banyak reverensi, bahwa gejala terkini Covid 19 adalah sakit perut, muntah dan diare yang dibarengi dengan demam. Passs... banget dengan gejala yang dirasakan suami saat itu.

Dan tahu nggak? Nggak tahu kan..makanya aku kasih tahu. Suami pembantuku juga lagi sakit. Sama persis. Menguatkan dugaan bahwa kami mungkin saling tertular satu sama lain melaluinya. Aihhh...

Meski ga bisa dipungkiri ada paranoia mengusik setelah hasil Swab suami keluar, kuyakinkan diri ga perlu cemas. Toh keadaan suami juga baik. Tapi karena tak bisa meyakinkan diri untuk tenang, akhirnya aku memaksanya pergi ke rumah sakit. RS Paru-Paru Jember yang menjadi rujukan pertama penanganan Covid 19.

Kakak kandungku tenaga medis. Rasanya aku cukup tumek mendengar cerita tentang pasien Covid 19 meninggal adalah mereka yang memiliki Komorbid (penyakit penyerta). Juga yang overweight. Lah rasanya semua kriteria itu dimiliki suamiku deh.... hiks..Bisa dimaklumin dong ya kenapa aku panik.

Di RS Paru- Paru kami disambut sangat baik. Pemeriksaan dilakukan dokter jaga IGD dan kami masih diberikan kebebasan untuk memilih. Dibawa pulang boleh, minta rawat inap juga diterima. Tentu jika rawat inap maka dilakukan prosedur standard penanganan Covid 19. Kenapa boleh memilih? Karena semua kondisi suami masih sangat baik saat itu. Saturasi normal, dan hasil foto paru-paru juga bersih.

Kubilang pada suami, " Kamu resiko tinggi, Yah. Di sini saja sampai sembuh."

Tapi suami menolak setelah agak lama berfikir. Dia ingin pulang saja dan melakukan isolasi mandiri. Dokter mengijinkan. Kami pulang dengan sekresek penuh obat-obatan yang harus mulai dikonsumsinya.

Eh, jadi kalau ada yang menuduh rumah sakit suka mengkovid-kovidkan kupikir nggak lah yaa. Mereka justru memberi kebebasan pasien untuk memilih karena takut dengan tuduhan itu. Pilihan tidak akan diberikan kepada pasien jika 80% gejala mengarah ke sana dan tidak mungkin lagi dilakukan isolasi mandiri semacam saturasi oksigen rendah atau sesak nafas.

Hampir jam 12 malam kami tiba kembali di rumah. Anak-anak sudah tidur. Suami masih menyetir mobil sendiri karena katanya ga tega aku lelah. Padahal aku ya biasa aja. Nggak cape. Orang biasanya juga tidur larut sejak WFH. Dia emang begitu. Suka ga tegaan sama istri untuk hal-hal sepele. Padahal aku sendiri super tegaan. Terutama saat ngambil saldo di Mandiri mobile nya, lalu baru bilang belakangan. Hahaha..

Lha tapi kok akhirnya kalian berdua di rujuk ke RS itu gimana ceritanya??? Trus anak-anak gimana?

Ceritanya besok lagi ya... Lagipula ntar kalian capek bacanya kalo kebanyakan..hehe

Terimakasih sudah mampir..

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga sehat selalu

12 Feb
Balas

Gitu ya awalnya bu, duh...sehat-sehat...

15 Feb
Balas

Gubrakkk. Selak penisirin

12 Feb
Balas

Siiip berarti CORONAnya G jadi dipelihara wkwkwkSEHAT SELALU BERSAMA KELUARGA...Amiiin

14 Feb
Balas



search

New Post