Dwi Kartini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
ROSSENMONTAG : Aku Tidak Memilih Surga Ini

ROSSENMONTAG : Aku Tidak Memilih Surga Ini

Rossenmontag : Aku Tidak Menginginkan Surga ini

Musim semi selalu membawa aura yang berbeda. Bunga – bunga yang sembunyi selama musim dingin- tidak berani menampakan keindahannya, malu - malu mulai bermekaran. Pohon - pohon yang melepaskan daunnya pada awal musim gugur- dan tertidur selama musim dingin, tampak gundul. Namun tetap saja indah. Batang pohon dengan warna coklat kegelapan, dengan tekstur kulit yang kasar berbelah, tetap saja memperlihatkan kegagahannya. Suhu dipenghujung bulan Maret tidak sedingin musim di Bulan – Bulan Desember hingga Januari. Matahari malu – malu mau berbagi kehangatan.Ini musim yang paling ditunggu – tunggu. Di bulan Maret - Mei akan banyak orang menikah. Seperti pertanda awal percintaan. Orang – orang tak lagi harus menggunakan mantel yang tebal, menyulitkan untuk bergerak.

Aku matikan kran di bathtub, dan mulai menengelamkan diri dalam buihan busa – busa. Terasa hangat. Aku memejamkan mata, menikmati setiap aliran air yang mengenai kulit hingga ke pori – pori. 30 Menit waktu yang kuhabiskan untuk memanjakan diri, setelah itu aku harus segera bergegas ke Ď‹bach – Palenberg. Di sana ada perayaan Rossenmontag. Aku berjanji dengan Agung – Dermawan bertemu di sana.

Nama Agung merupakan nama gelar. Dermawan, lelaki keturunan Bali dan beragama Hindu. Ia telah lama tinggal di Jerman. Namun keluarganya sangat menjujung adat istiadat. Ia tidak diperbolehkan menikah dengan perempuan di luar kastanya. Itu sebabnya ia masih melajang.

Nama Agung adalah gelar kasta dari ksatria. Kasta ini dari golongan para raja, adipati, menteri, atau pejabat negara (pada jaman dulu). Kasta ini merupakan kasta Bangsawan. Lelaki yang berumur 32 Tahun- dengan perawakan jangkung, atletis dan berkulit putih sangat memesona. Pekerjaan Dermawan juga sangat mapan di Jerman. Sebagai pengacara handal. Hari itu, sebenarnya ada pertemuan dengan kliennya di Aachen. Ia sengaja terbang dari Swiss. Menyempatkan waktu untuk bertemu denganku. Sudah lama kami tak lagi bertemu. Terakhir saat aku berlibur di Bali pada Tahun 2003. Pertemuan yang sangat dinantikan. Kami dipisahkan oleh jarak, ruang dan waktu, namun kami terasa dekat. Kemajuan di bidang teknologi, khususnya komunikasi yang membuat hubungan tak berjarak. Kami saling mengabari lewat HP, internet atau apa saja untuk sekedar memberikan informasi satu sama lain, atau melepaskan kerinduan. Tak jarang kami bertemu di vidio call atau webcam.

Dermawan sangat sibuk.

Rossenmontag – parade atau karnaval besar – besaran. Warga turun ke jalan dengan menggunakan kostum beraneka macam. Ada yang menggunakan kostum film – karakter, menggunakan kostum kerajaan lengkap dengan topi - topinya yang terselip bulu – bulu.Kostum prajurit perang, kostum pemain sepak bola. Ada pula yang mengenakan kostum yang menakutkan seperti tokoh – tokoh jahat. Menyeramkan. Mereka berparade menggunakan mobil – mobil besar, yang dihiasi bunga - bunga dan assesories yang unik. Mereka membagikan ratusan kilogram coklat, permen, bunga dan juga mainan. ke semua orang yang berdiri dipinggir jalan. Mereka berarak – arakan menggunakan kendaraan, atau ada juga yang berjalan sambil menari – nari.

Sekitar 20 Menit, aku sampai di Kota Erkelenz. Aku menyusuri perumahan – perumahan - dan juga taman kota yang sangat luas. Pepohonan yang tak berdaun, hanya pohon pinus yang masih gagah memperlihatkan wujudnya. Tinggal 5 Tahun di negara maju ini mengubah gaya hidupku. Langkahku yang lamban, berubah menjadi lebih cepat dan gesit.

Orang – orang sudah siap berjejer di sepanjang jalan. Berteriak – teriak, bernyanyi dan berdansa. Perayaan ini pada hari Senin menjelang hari Rabu. Sebelum perayaan Rossenmontag. Karnaval Fasching atau Weiberfastnacht diselengarakan. Perayaan menjelang paskah. Perayaan ini biasanya dirayakan pada hari Kamis menjelang Rabu abu. Pada akhir tradisi orang – orang pergi ke Bar. Minum – minum Bir untuk merayakannya. Mereka mengenakan kostum yang beragam. Kaum perempuan bisa mencium setiap pria yang dijumpainya, bila mereka dapat memutuskan dasinya. Mereka terlihat bergembira. Pada perayaan karnaval ini orang – orang yang mengenakan kostum, bebas mengumpat atau mengejek orang - orang. Biasanya ditujukan kepada public figure. Mereka mengejek para politikus. Pada Selasa malamnya diadakan pembakaran.

Pada Selasa malam dilakukan penguburan dan pembakaran Nubbel. Nubbel merupakan boneka berukuran seperti manusia yang terbuat dari jerami. Simbol dari dosa selama perayaan Fasching . Setelah dibakar, mereka akan melanjutkan pesta hingga Rabu tiba. Selama itu mereka memilih pangera dan ratu fasching. Tradisi di rabu akhir disebut Fastnachtdiesntag. Saat perayaan fasching berlangsung kita dapat mencicipi krapfen dan Berliner pfannkuchen secara gratis. Makanan tersebut merupakan ciri khas pada perayaan tersebut. Krapfen seperti roti dengan bentuk yang beraneka ragam. Sementara pfannkucken sperti pancake.

Pandanganku terperangkap pada laki – laki yang berambut hitam, lurus. Di balut sweater biru dongker dengan kerah tinggi. Bola matanya yang sipit teruju padaku.

“Melati”, katanya berteriak. Membuat banyak pasang mata mengarah pada sumber suara. Aku mengahampiri setengah berlari. Perasaan yang luar biasa bahagia. Mata coklatku berbinar – binar. Hatiku begitu berbunga. Perasaan sangat lega. Kami berpelukan mengurai rindu.

Ia memandangku lama dalam pelukannya. Meneliti setiap organ tubuh di wajahku. “kamu sangat cantik”, katanya kagum. Aku tersipu.

Aku mengamati juga wajahnya, seakan tak percaya. Saat itu betul- betul nyata. Aku menepuk - nepuk pipiku. Mencek apa aku sedang bermimpi atau tidak. Dermawan saat itu hanya tertawa kecil. Seyuman yang sangat manis. Aku memandanginya lagi dan memeluknya lebih erat. Sangat bahagia.

Kami meninggalkan keramaian - dan mencari cafe untuk berbincang – bincang. Kami duduk di teras cafe, karena cuaca sangat bagus menjelang malam. Lalu lalang orang di depan cafe sangat cepat. kebanyakan mereka mengarah ke alun – alun kota. Di Cafe ada beberapa orang. Tak semua ingin merayakan Rosenmontag.

“Was bestellen Sie?”, kata pelayan yang saat itu mengenakan seragam dan dasi kupu –kupu.

“Was haben Sie?”, kataku Jelas. Meminta penjelasan lebih lanjut. Makanan apa yang disediakan di restoran tersebut.

Pelayan itu menyodorkan menu makanan. Setelah aku dan Dermawan memilih menu. Kami melanjutkan berbincang.

Kami duduk bersebelahan.Bersitatap, saling melemparkan seyum dan sesekali berpegangan tangan. Membesarkan cinta. Tak lama pesanan datang. Aku meneguk kopi di cangkir pelan – pelan. Tubuhku bertambah hangat. Tidak banyak yang dibicarakan, Dermawan tidak henti – hentinya bercanda. Sampai aku tertawa terpingkal – pingkal. Kami menjadi pusat perhatian. Tetapi kami tidak hiraukan. Kami menikmti setiap kebersamaan yang sangat singkat.

“Menikahlah denganku”, ia menyodorkan cincin berlian. Desain berkelas dan sangat indah. Aku tak bisa berkata apa – apa. Mataku sepertinya tak kuasa menahan air mata yang sulit dibendung. Aku memegang tangan Dermawan penuh.

“Cin, Kamu tahu, kita sulit untuk menikah”, kataku meyakinkan. Hatiku begitu sakit. Menolak orang yang sangat berarti dalam hidupku . Padahal aku sangat ingin hidup bersamanya.

“Karena orang tua kita?”, katanya menahan marah. Kami tidak direstui oleh kedua orang tua kami. Dermawan tak diijinkan untuk menikah dengan perempuan di luar kastanya. Kalaupun boleh. Perempuan itu harus berpindah agama mengikuti Dermawan. Sementara orang tuaku tidak mengijinkan, karena perbedaan agama.

“Keadaan yang membuat kita tidak bisa menikah”. Kataku sembari menarik nafas.

“Kita tidak perlu tinggal di Indonesia, kita tinggal di sini saja”, katanya sembari menatapku dalam. “Disini tidak ada yang peduli perbedaan kita”, katanya lagi mantap. “Kita tidak perlu pulang ke Indonesia”. Kata – katanya menahan kekecewaan karena perbedaan adat dan agama. “Di sini kita bisa bahagia. Kita hidup berdua saja”. Suaranya lebih tingg, tetapi setengah memohon.

Aku menarik nafas mencoba menenangkan diri. “Tidak bisa seperti itu”, kataku. Kita terikat oleh keluarga, teman dan saudara. Kita tidak hidup sendiri”, kataku penuh penyesalan karena hubungan yang dijalani tidaklah mudah.

Dermawan menahan kekecewaannya.Ia menatapku nanar. Ia melihat waktu di jam tangannya. “Aku harus segera pergi”, ia menahan kegelisahan dan kemarahannya karena situasi. Kami saling berpandangan, menahan rasa sakit karena keadaan. Wajahnya begitu layu, tubuhnya tak bersemangat berbeda saat di awal bertemu.

Aku terdiam, menarik nafas dan mulai menangis. Aku memburunya, memeluknya erat. Tiba – tiba ada perasaan sangat sakit dan pilu. Dermawan menyambutku hangat. Tapi aku bisa merasakan kesedihan yang dalam.

Hai Rosenmontag, Ini hari perayaan suci, dan aku katakan aku tidak akan menikah, bila tidak dengan kekasihku ini”, teriakannya membuat orang – orang di sekeliling terbelalak heran. Ia berteriak dengan putus asa. Aku mendekapnya erat, mencoba menenangkannya. Kami menangis bersama.

Pertemuan yang singkat, hanya sekitar 45 Menit. Dermawan harus segera ke Paris untuk menyelesaikan kasus berikutnya. Pekerjaan sebagai pengacara membawa dia bisa keliling dunia. Pekerjaan yang bagus. Aku menatap kepergiannya dengan tatapan kosong.

“Ibu”, suara dari ruang TV membuyarkan lamunanku. Aku segera mencari arah suara. Kulihat anakku meminta bantuan untuk menserut pencil warnanya. Aku mengampirinya dan membantunya.

“Gambarnya bagus Nak”, kataku sembari menahan air mata. Mengingat Dermawan. Mengingat masa laluku. Ana hanya terseyum – seyum bangga. Ana adalah anak dari suamiku sekarang. Ia ditingalkan ibunya saat melahirkan anaknya. Saat usianya 1 tahun ia terkena demam tinggi. Saat ia berusia dua tahun, ia tak bisa mengucapkan satu patah katapun. Untuk membantunya berkomunikasi, aku mebawanya ke dokter. Setiap dua minggu sekali ia melakukan terapi laser. Menstimulasi titik akupuntur yang berhubungan dengan kemapuan anak bicara. Terapi ini dapat membantu konsentrasi, perhatian dan juga daya tahan tubuhnya. Intinya untuk memaksimalkan organ tubuhnya untuk bicara.

Setelah selesai belajar aku mengantarkannya ke tempat tidurnya. Mengajarinya gosok gigi, berwudhu dan juga sholat. Ia sangat suka dibacakan buku olehku. Aku menyelimuti dan mencium keningnya. Sebelum beranjak ke luar kamar aku mematikan lampu kamar yang berukuran 3x3m. Bernuansa pink dan unggu. Setengah dingdingnya terbalut wallpaper bermotif karakter princes.

Suara deru mobil terdengar sayup. Suara mesin yang aku kenal baik. Setiap kali suamiku datang. Ada perasaan malas dan takut menyelimutiku. Tetapi aku paksakan untuk bersikap tenang.

“Assalamualaikum”, kataku menyambut sosok tubuh berbadan tegap dan berlemak. Umur 45 Tahun. 10 tua dari aku.

“Waallaikum salam”, suaranya tak ramah. Seperti biasa, aku menyalaminya sembari mensun tangangannya. Namun Ia begitu sombong dan angkuh. Ia tak melihat sedikitpun wajahku. Ia tidak memburu meja makan, namun menghambur ke kamar. Menutup kamar rapat.

Beliau bersikap seperti itu bukan pertamakalinya. Sudah sangat sering. Aku hanya bisa mengelus dada. Ada perasaan sesak dan sakit. Air mataku tak tahan lagi. Tumpah hingga ke lantai.

Semenjak pulang dari Jerman. Ibu memaksaku untuk menikah. Saat itu ibu sakit parah. Di tahun pertama Mas Adam sangat baik dan terlihat sangat soleh. Ia mengajari aku berhijab dan menjadi istri yang baik. Awalnya sangat menyayangi dan memanjakanku. Aku diperlakukan seperti ratu.

Sikapnya berubah, saat ia meminta aku untuk bersedia dipoligami. Sontak aku menolaknya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai kehidupanku. Rumah yang tadinya hangat, penuh canda tawa. Penuh kasih sayang berubah seperti neraka.

Mas Adam pria sukses, keuntungan di beberapa perusahaan tidak akan habis untuk tujuh turunan. Dulu di awal pernikahan saat punya waktu luang. ia sering menyempatkan ke dapur membantuku. Ia memijat kakiku saat menjelang tidur. Menciumi keningku. Menyelimutiku. Aku sangat beruntung. Banyak yang iri akan kebahagianku.

Bila kamar sudah ditutup rapat dan ia mengunci dirinya.Itu artinya aku tidak boleh tidur di kamar. Dengan isakan tertahan aku membaca al-Qur’an. Di heningnya malam aku beranjak sholat malam. Bersujud, berdoa dan mengutarakan semua beban hidupku. Sudah sangat sering, aku tidur di ruang TV.

Aku tidak berani melawan kata – katanya. Bila itu dilakukan maka aku akan kena pukulannya. Banyak sekali memar – memar di tubuhku. Memar – memar di tangan, paha tidak terlihat karena tertutup oleh gamisku. Bila tangannya mendarat di wajahku. Ia melarang aku keluar rumah - atau menyuruhku menutupinya dengan make – up yang tebal. Sehingga bisa tersamarkan. Pernah suatu malam, saat aku membujuk tidak pergi untuk menemui kekasihnya itu. Ia sangat marah. Aku sudah bersujud memohon – mohon, aku pegangi kakinya, namun tidak ia hiraukan. Aku ditendang, hingga tubuhku terpental. Saat itu aku tidak lagi berani melarang. Apa yang menjadi kehendaknya.

Begitulah aku menghabiskan hari – hariku. Penuh dengan air mata. Tangisan yang tak pernah terlewatkan. Mencari Dermawan pun, hal yang akan membuat keadaan semakin keruh. Aku menahannya sendiri, tanpa berucap kepada siapapun. Aku menggenggamnya erat dalam sepi.

Butik yang aku kelola, sekolah yang kudirikan, semua harus kulepaskan. Mas Adam melarang aku bekerja. Hal itu bisa aku terima. Tetapi menikah lagi, aku tidak akan mau. Aku tidak akan sanggup. Isakku tak tertahan. Badanku gemetar menahan duka.

“Berpoligami itu, akan memudahkan kamu masuk surga”, Saat itu kami sedang makan malam berdua di luar.

“Aku tidak ingin dan tidak akan sanggup”, kataku kesal.

“Banyak kebaikan dalam poligami. Bersikap sabar, iklas dan membantu suami tidak berbuat menyimpang. Berpoligami akan memudahkan kamu mendapatkan surga Allah”, Mas Adam meyakinkanku terus. Tetapi jawaban yang sama aku lontarkan.

“Aku memilih surga dengan cara lain Mas”, kataku tegas dan tidak ingin berdiskusi lagi. Angin malam di cafe itu sepertinya mengerti akan kegundahanku.

Sudah hampir tiga tahun, kemelut dalam rumah tanggaku tidak kunjung reda. Hari – hari yang aku jalani membuat aku lebih kuat dan tahan. Aku mengisi hari - hariku dengan pergi ke mesjid. Mengaji bersama ibu – ibu. Mengurus dan mengajari Ana. Hingga Ana bisa mengeluarkan kata lebih banyak. Aku sangat bahagia melihatnya. Ia tumbuh menjadi perempuan yang baik dan soleh. Ia sering menghabiskan waktu denganku. Bercanda. Mengajarinya banyak hal. Membuat aku sangat bahagia.

Suara telepon berdering kencang. Aku menghambur mengangkatnya. “Ibu, ini Asti. Bapak masuk rumah sakit”, suara sekertaris Mas Adam dibalik telepon berbicara tidak tenang.

“Kenapa”, kataku cepat. Namun suara di sebrang tidak bisa bicara banyak.

“Mbak Asti, coba tarik nafas pelan – pelan. Ceritakan dengan tenang”, suaraku gelisah.

“Bapak terkena serangan jantung Bu”, suara Asti lebih jelas.

“Baik, sekarang Bapak dibawa kemana?”, tanyaku lebih cepat dari sebelumnya.

“Rumah sakit Santosa Bu”.

“Baik, ibu menuju ke sana”, aku menghidupkan mobil dan melaju kencang ke rumah sakit. Di daerah Kebon Jati Bandung.

Setelah bertanya ke bagian resepsionis, aku bisa menemukan ruang perawatan suamiku. Ia terkulai lemas, dengan alat bantu pernafasan membungkus mulut dan hidungnya. Tabung oksigen di sebelah tempat tidurnya. Sementara mesin detak jantung terus bekerja. Grafiknya masih turun naik, dan kadang kadang grafiknya tidak stabil.

Aku mendekatinya, seraya terseyum. Mas Adam sudah siuman. Ia menatapku sendu, seolah olah matanya mengisyaratkan penyesalan. Aku terseyum penuh kasih. Aku pegangi tangannya.

“Semuanya akan baik – baik saja, Mas”, kataku pelan menghibur.

Ia tidak menjawab, hanya meneteskan air matanya. Ia berusaha berbicara dengan sangat terbata – bata, “Maafkan Mas”, katanya hampir tidak terdengar.

Aku mengangguk pelan. Menghambur memeluk tubuhnya erat. Aku tidak kuasa meneteskan air mata. Tuhan, aku mencintai laki – laki ini karena Mu. Maka sabarkan aku dalam segala langkahku. Aku yakin setiap kesal, sedih, kecewa, duka akan tersapu angin, diganti dengan rasa yang lain.

“Kamu perempuan hebat Melati”, suara itu terdengar diujung pintu. Aku sangat kaget. Suara yang sangat ku kenal baik. Pandanganku mencari sumber suara.

“Dermawan”, kataku reflek. Lelaki itu masih sama. Tidak ada yang berbeda. Ia masih tampan, berkarisma dan sangat baik. Ia hanya melemparkan seyum.

Ada yang berbeda, aku tidak lagi bisa memeluknya. Aku hanya bisa mengganguk dan mengucapkan salam. Rasa sayang yang tidak pernah hilang, namun berbeda. Rasa sayang karena Allah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

MANTAP, Bu!

19 Jun
Balas

hatunuhun Bu Komandan Jabarrr. lopehhh so muchh

19 Jun

Ujung2 nya poligami ach tidakkkk....keren banget ceritanya,..

19 Jun
Balas

wkwkwkkw. ada ga yang mau poligami... jalan menuju Surga, dengan cepatttt. hihihihi

19 Jun

Keprok. Sungguh keren ini mah..

19 Jun
Balas

Nuhun...

19 Jun

kesabaran berbuah manis, Melati.

19 Jun
Balas

Iyaa Bu...

19 Jun

Alurnya mesti seperti apa. Saya suka yg maju mundur. (Cantikkkk).klo yang maju suka monoton... Harus tanya ahlinya yaaa. Saha atuchhh. Pak Kumandanna suka ga mau nongolll. Wartoskeun atuch Bu Nining... Hihihi. Pzisssss aahh

19 Jun
Balas

Keren pizaaan. Tinggal mengelola alur

19 Jun
Balas

Ceritanya bagus banget

19 Jun
Balas

makasihh Bu..Itu tadi nulisny amenjelang saur, ga dibaca lagi . Banyak kata - kata yang salah. aku juga merasa kurang bisa melukiskan karakternya. keburu buru. bikin saur. hehehhe

19 Jun

Bagus banget bu .....menggantung pembaca, ingin tahu kelanjutannya

19 Jun
Balas

Ooo menggantung yaa. Siap lanjutt

19 Jun

Ah,,, rupanya tentang poligami. ... dalam cerita ini ada pria non muslim yang membuatnya bahagia dan ada pria muslim sudah duda dan tua juga suka menyakitinya... yaa... jika di dunia ini hanya ada dua pria, memang lebih baik memilih yang muslim. Tetapi kalau masih ada pria baik, lebih baik cari yang lain hehhehe... Saya kurang suka karakter wanita dalam tokoh. Menurut saya itu bukan sabar, tapi menyerah pada nasib (pendapat saya begitu). ... baca juga kisah sahabat nabi "Menolak Ditawari Menikah lagi oleh Istrinya" http://www.ladangcerita.com/2017/06/menolak-menikah-lagi-walau-istri.html

20 Jun
Balas

Terima kasih analisisnya. Good...klo saya jadi perempuan itu . Saya juga memilih tidak menikah. Nunggu aja hingga ada yang kerennn datang Hihihi. Tapi toch pada kenyataannya, tidak mudah.

20 Jun



search

New Post