Dwi Kartini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Setiaku Meremukan Jiwaku.

Setiaku Meremukan Jiwaku.

Setiaku Meremukan Jiwaku.

Aku tak pergi ke kampus, entah kenapa hari ini aku begitu lemah, sangat lemah. Pikiranku kacau. Aku tak bisa mengendalikannya. Ingatanku masih saja tertuju pada Mas Gandiku. Tetapi hari ini sangat berat. Rinduku semakin sakit dan perih. Aku enggan beranjak dari tempat tidur, pandanganku ke arah jendela. Di baliknya terdapat awan yang biru. Pepohonan dengan warna daun yang berbeda. Merah, hijau. Bagus dan sangat indah. Biasanya aku suka sekali melihat lukisan alam yang sempurna seperti ini. Anak – anak kecil bersepeda menuju Spielplatz. Kota yang modern dan ramah penduduk. Menyediakan ruang publik dengan semua fasiltasnya terutama anak – anak. Berbagai macam mainan tersedia di sana. Tempat yang edukatif. Semuanya bersih dan tertata baik. Tak ada orang yang berani membuang sampah sekecil apapun. Kalaupun ada sampah itu sampah daun yang berserakan terjatuh karena angin. Pada jam tertentu akan di sapu oleh petugas secara rutin. Betul - betul dijaga. Jalanan yang bersih. Mungkin itu juga salah satu kenapa asmaku di sini tak pernah kambuh. Udara yang bersih mengadung banyak oksigen. Di kota – kota banyak didirikan taman kota dengan pepohonan yang rimbun.

Rindu kali ini begitu sangat hampa. Aku terus saja menangis segukan, aku menjerit. Seluruh badanku bergetar. “kamu dimana?,” isak tangis semakin miris. Apa aku harus berhenti di sini, tak perlu memikirkanmu lagi, aku tak tahan dengan rindu aku ini. Tak sekalipun kamu datang atau hanya berucap salam. Kamu menghilang. Apa kamu telah membohongi aku, berjanji akan selalu bersamaku. Ratapanku semakin menjadi, diiringi hujan air mataku. Jiwaku betul - betul hilang, lemah tak berdaya. Aku hanya menangis dan menangis. “Tak adakah sedikitpun rindu yang terselip pada dirimu Mas?”, kataku terucap menangis lagi. Kali ini tangisannya semakin keras. Aku tak peduli lagi. Aku keluarkan semua kesal, kekecewaan. Semuanya tumpah. Kepalaku sakit dan seraya berputar – putar. Aku tumbang.

Entah berapa lama aku pingsan. Aku mendengar sayup – sayup pintu diketuk. Bel flat sudah lama tak berfungsi, aku sudah mengutakaran ke pemilik rumah, tapi belum diperbaiki. Aku beranjak dari tempat tidur dan membukakan pintu.

Made berdiri tepat di depan pintu, wajahnya diliputi penuh rasa khawatir ia memberondong dengan sejumlah pertanyaan, “Ada apa dengan kamu?”, katanya tak sabar, “Kenapa mata kamu bengkak?, Mas Gandi kamu lagi yang kau pikirkan?”, kata- katanya kesal. Aku tak menjawab dan ngeloyor ke tempat tidurku lagi. Aku membanting diriku ke tempat tidur berukuran 1,5 x2m. Aku menarik selimut berwarna putih bermotifkan bunga – bunga lembut, selimut pemberian Mas Gandiku. Ia sengaja memberikan itu untukku, agar aku selalu yakin bahwa dirinya akan menyelimuti hatiku. Walaupun suhu udara saat itu panas, namun aku suka mengenakannya. Karena hatiku selalu dingin.

Made mengikuti aku di belakang. Ia menempelkan tangannya di dahiku. “kamu demam”, katanya khawatir, ia berlari ke arah laci, Di balik kamarku. Mencari termometer. Ia menyuruhku memasangkan di ketiakku. Aku enggan melakukannya tetapi ia memaksaku.

Aku tak mau ribut dengannya kali ini. Aku melakukan apa yang ia minta. Ia pergi ke dapur yang menyatu dengan Wohnzimmer. Ia menyiapkan sup untukku. Ada beberapa makanan beku di lemari Es. Yang siap diolah. Mudah cara memasaknya. Hanya merebusnya dan dibubuhi merica dan garam, serta seledri yang sudah dikeringkan. Berbeda dengan di Indonesia yang semuanya bisa didapatkan dengan mudah, diulek. Walaupun prosesnya aga lama, namum masih fresh. Makanan rata – rata dibekukan di sini, kalaupun ingin yang segar harganya lebih tinggi, atau kita bisa pergi ke Asia – Shop. Tentunya harga lebih tinggi. Aku mengikuti kebiasaan orang – orang di sini. Menyimpan makanan dalam bentuk beku. Sesekali saja membeli makanan yang fresh. Di akhir minggu.

Made membawakan makanan itu ke tempat tidur, “Bangunlah, sekarang kamu makan?”, katanya sembari duduk di seblah tempat tidur.

“Aku tidak lapar”, kataku malas.

“Makanlah, badan kamu butuh energi”, katanya lembut. “Ayolah, Schatzi”, kata – katanya lagi. Memaksa. Tetapi aku tak bergeming. Malas dan tak berselera. Aku diam dalam selimutku. Made menarikku untuk segera duduk. Terpaksa aku duduk. Melawanpun tidak ada gunanya pasti dia akan sangat memaksa. Aku duduk bersandar.

“Sekarang buka mulutnya”, katanya sembari meyodorkan sup yang telah ia buat. Tetapi aku tak bergeming. “Makanlah, aku mohon”, katanya lagi, memaksa. Ia mulai mengarahkan sendok ke arah mulutku. Aku tak bisa menolaknya.

Ingatanku jauh ke belakang saat bersama Mas Gandiku. Bila sedang makan bersama, ia lah yang suka menyuapi aku. Aku tak tahan menahan butiran air di bola mataku, yang siap jatuh. Aku menangis segukan. “Aku tak bisa Made, maaf”, kataku. Sembari menangis lagi.

“Akan ku bunuh Mas Gandimu itu”, Suaranya sangat keras dan ia sangat marah, kepalannya meninju pintu.

Aku kaget, aku menangis sejadi – jadinya. Aku begitu ketakutan sekarang.

“Maafkan aku”, katanya penuh sesal , sembari menarik nafas. “Baiklah, sekarang minum susu hangatnya”, katanya sembari menyodorkan susu segar hangat yang dipanaskan dengan mikrowave.

Aku meraih gelas yang ia sodorkan, dan memulai meneguknya.

“Kamu begitu sangat kacau Yasmin”, suaranya parau. “Aku tak tahan melihat diri kamu seperti ini”, katanya lembut. “Kamu butuh psikiater, biarkan jiwa kamu hidup kembali”, katanya lagi sembari membenahi selimutku.

Aku hanya diam, aku merasakan kepedihan dan kehancuran. Kepalaku semakin sering sakit.

“Tidurlah”, aku akan menemani kamu di sini, sampai kamu betul – betul sehat. Minggu depan kita pergi ke Holland ya. Kita butuh rekreasi. Kita akan menikmati semua hal tentang Indonesia. Di Holland banyak sekali makanan khusus Indonesia, Ada sate, ada renginang, rendang dan banyak sekali. Kita akan nonton film di sana. Di Jerman lebih sering di dubbing dengan bahasa Jerman. Jarang menayangkan film original.

Aku masih saja menangis. Berharap keajaiban datang. Made duduk di meja belajarku. Duduk di depan komputernya, mengerjakan pemograman. Ia tak lagi bekerja di restoran siap saji. Ia diminta profesor membantu pekerjaanya dalam penelitian program yang sedang ditelitinya. Penghasilan dari situ jauh lebih banyak.

Di sela – sela ia bekerja, ia sesekali menegok ke arahku. “tidurlah, aku akan menjaga dirimu”, katanya pelan dan lembut. Tatapan yang hangat.

“Aaah, seandainya itu Mas Gandiku, aku tak akan sepilu ini”, kataku tak berucap. Aku masih terus memegang janjiku untuk setia dan mencintainya selama – lamanya. Cinta yang tak akan ada akhirnya. Aku akan terus menunggumu menjemputku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Oh cinta. Luar biasa efekny. Tulisannya asyik bener bu.

05 Jun
Balas

Nuhun Pak Yudha, butuh kritikan ciuss. Blum PD . kadang suka ragu sama tulisannya.

19 Jun
Balas



search

New Post