Dwi Riyanto

Seorang ayah dari tiga putra putri. Suami dari seorang istri. Tinggal di kota bandeng. Sidoarjo. Menulis itu kegiatan yang mengasyikan. Menjadi candu bagi pe...

Selengkapnya
Navigasi Web

Mencari Takdir Lain

" Pak. Aku berhenti sekolah!" ucapku.

Aku dekati bapak. Duduk merapat di sampingnya. Paha kami bersentuhan. Di atas amben bambu usang.

Bapak masih diam. Tangannya asyik menyulam. Menambal jala ikan yang robek.

Sesekali tangan kirinya mengambil rokok di depan kakinya.

Sebatang rokok 'tingwe' terselip di antara jari tengah dan telunjuk. Kepulan asap putih keluar dari mulut dan lubang hidung bersamaan. Aku ikut diam. Gak ada nyali untuk melanjutkan permintaanku tadi.

Musim kemarau kali ini lumayan panjang. Sawah kering. Tanah mulai retak - retak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bapak beralih profesi. Menangkap ikan di sungai.

Berangkat pagi. Pulang tengah hari. Ada rasa iba yang mencakar hatiku sebagai anak tertua. Dari tiga bersaudara. Dua adik yang masih kecil - kecil.

Bapak memang lelaki tangguh. Pekerja keras. Bertanggung jawab memenuhi kebutuhan kami. Saat musim hujan tiba. Bapak bekerja di sawah. Sebagai buruh tani. Kami tidak memiliki sawah sendiri.

Di musim kemarau seperti ini. Jala ikan lah senjata utamanya.

" Ada apa nak?"Jawabnya dengan lembut.

Dia letakan rokok dan alat sulam di depan kakinya. Tangan kasar 'berkapal' bapak membelai rambutku.

" Aku mau berhenti sekolah," ucapku sekali lagi.

" Terus?"

" Aku mau bekerja membantu bapak," jelasku. Kepalaku tertunduk. Memandang kaki sendiri. Telanjang tanpa alas kaki.

" Baguslah kalau begitu," sahutnya datar, " Mulai besok ikut ayah bekerja," lanjutnya.

Aku beranikan diri menatap netra bapak. Andrenalinku mengalir deras. Rasa takut pun sirna. Takut menerima amarah bapak. Sebab permintaanku tadi.

" Bapak memberi izin?" Tanyaku penasaran.

Ingin mendapatkan jawaban pasti darinya.

Kepalanya mengangguk. Menyetujui. Wajah keras bapak tanpa ekspresi. Hanya tulang rahang yang kelihatan lebih menonjol. Lalu melanjutkan sulamanya.

Jala ikan dari benang nilon. Di anyam sedemikian rupa menyerupai selambu nyamuk. Lubang jebakan ikanya seukuran jari kelingkingku. Jika di bentang menyerupai kerucut. Mirip 'kukusan' penanak nasi.

Sedang bagian bawah ada pemberat dari rantai. Potongan kawat 4mm berbentuk bulat diameter 1cm saling berkait. Hand Made semua pokok e 😁😁.

" Besok pagi kita berangkat." Ajaknya.

******

Kukuruyuk...kukuruyuk

Terdengar suara ayamku berkokok. Si gopar. Ayam jago pemberian nenek dari kampung sebelah.

Mataku masih mengantuk. Semalam tidur cukup larut. Membantu bapak mempersiapkan peralatan yang di perlukan.

Di susul kumandang azan dari mushola.

"Man..bangun.. sholat subuh dulu," Suara ibu berbisik di telingaku. Takut membangun anaknya yang lain. Adik - adikku.

" Iya Bu,"

Perlahan - lahan aku bangkit dari 'dipan'. Mengalungkan sarung ke leher. Menuju mushola menyusul bapak.

*****

"Sudah siap man?"

"Sudah pak"

Jala dipundak bapak. Siap menuju medan laga. Aku kebagian membawa 'kepis'. Wadah ikan dari anyaman bambu. Menyerupai vase bunga.

Sebotol air minum. Dua bungkus nasi dalam kresek. Menempel di pinggang.

" Bu aku berangkat dulu," pamit bapak, " assalamualaikum."

" Iya pak,"balas ibu, waalaikumsalam. Hati hati man," pesan ibu kepadaku.

"Iya Bu," sergapku.

Hari masih gelap. Nyala sorot senter yang aku bawa sebagi penerang jalan. Jarak sungai yang kami tuju lumayan jauh. Dua kilometer. Berharap sampai di sana masih pagi. Belum ramai orang.

Kami berjalan beriringan. Melalui jalan setapak di sawah. Sedikit melewati hutan. Bapak di depan. Aku 'menginthil' dari belakang. Bapak sudah hafal jalan yang dia lalui. Tanpa senterpun pasti nyampai.

Sesekali aku mainkan lampu senter di tangan. Menyorot ke samping dan keatas. Di atas rumput dan perdu. Berkilau embun memantulkan cahaya senterku. Sandal dan kaki kecilku mulai basah. Terkena embun yang menempel di rerumputan.

*****

Tak ada jam tangan. Bapak hanya berpatokan pada matahari.

Setelah cukup lama berjalan. Sampai juga di tempat yang di tuju.

Sebuah kubangan sungai yang lumayan besar. 'Kedung'.

Matahari terlihat setinggi tombak. Cahayanya terhalang kabut pagi. Sejuk segar udara pagi ini.

" Kamu tunggu di atas batu itu," saran bapak.

Telunjuknya mengarah pada sebuah batu besar di pinggir sungai. 'Kepis' dan bekal dari rumah aku jinjing ke arah batu itu.

Dari atas batu. Aku lihat bapak mulai menebar jala. Didiamkan sesaat. Lalu ditarik pelan - pelan. Semua yang dilakukan bapak terekam jelas dalam benakku.

Jala ditarik. Dilipat. Diangkat kepinggir sungai. Tiga meter dari tepi sungai.

" Man sini!"

Aku mendekat ke tempat bapak. Jala yang tadi di lipat mulai di urai. Beberapa ekor ikan tawar jatuh. Menggelepar gelepar.

Tangan kecilku lincah memungut setiap ikan jatuh dari jala. Memasukan dalam kepis. Yang di lapisi rumput kering.

Beberapa kali bapak menebarkan jala di 'kedung' ini. Sampai tidak ada ikan yang nyangkut lagi di jala.

Hari mulai beranjak siang. Panas Matahari berasa menyengat di kulit dan mukaku. Bapak masih semangat menebar jala di tengah sungai. Aku pun turut pindah. Mengikuti langkah bapak.

Tak berasa kami telah menelusuri sungai sejauh lima ratus meter. Kepis mulai berat. Untuk anak seumuranku. Bekal nasi sudah habis kita makan. Menyisakan setengah botol air.

Matahari mulai terik. Topi yang aku pakai. Sudah tak mampu menahan panasnya.

Bapak menoleh ke arahku. Memberi kode. Mengajak pulang.

*****

Tepat tengah hari. Bayangan kecilku hampir rata. Sayup terdengar suara alunan ayat suci dari masjid desa sebelah.

Ayah bergegas naik ke pinggir sungai. Melangkah. Menghampiri ke arahku.

Merapikan jala seperti semula. Di pundak kirinya jala di letakkan. Meraih kepis yang tadi aku jinjing. Diikatkan pada pinggangnya. Bersiap pulang.

Tangan kecilku menjinjing botol air minum dan senter. Kami berjalan pulang. Menelusuri rute jalan lain. Kata bapak jalan pintas.

******

Sampai rumah menjelang Azar. Bapak meletakkan jala di gawang bambu. Samping rumah. Aku setengah berlari menuju dapur. Mengambil segelas air minum. Panas mentari mengeringkan kerongkonganku.

Sesaat aku hampiri ibu.

" Bu. Makan."

" Iya. Ini ibu sekalian mengambilkan nasi buat bapak. Tunggu di depan. Sama bapak," perintah ibu.

Aku tinggalkan ibu di dapur. Menuju ruang depan. Bapak masih mengurus ikan hasil menjala tadi.

Memisahkan jenis dan ukuranya. Memilih yang akan di jual dan di makan sendiri.

" Gimana man?" Seloroh bapak.

Tangan hitam kasarnya lincah memasukan ikan ke dalam baskom di depannya.

" Aku mau sekolah aja pak," jawabku.

Sebuah senyuman bapak tersungging. Melambaikan tangannya. Menyuruh aku duduk di dekat bapak.

" Kenapa berubah pikiran?"

Aku diam sesaat. Merasakan pengalaman bekerja. Setengah hari bersama ayah. Berangkat petang. Di kawal dingin embun pagi. Pulang siang di temani terik matahari.

" Arman mau mencari takdir lain pak. Melanjutkan sekolah. Belajar tekun. Meraih cita cita. Seperti nasehat bapak. Aku mau jadi tentara pak,"

Senyum bapak semakin lebar. Membuat aku bangga kepadanya. Dingin embun pagi telah membekukan keinginanku berhenti sekolah. Panas mentari menjadi bahan bakar semangat belajarku.

Mencari takdir lain. Bukan meniru bapakku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantul ....

01 Apr
Balas



search

New Post