Dwi Septiyana

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak yang Tak Dirindukan

Anak yang Tak Dirindukan

Mama, aku lapar. Aku minta makan. Lapar, aku lapar, rengekannya terdengar memekakkan telinga. Sudah hampir satu jam bocah itu teriak-teriak meminta makan. Tak ada yang mengerti. Perempuan muda itu hanya menimang-nimang dan menyenandungkan sebait lagu nina bobo. Oh, kenapa orang-orang itu tidak paham ucapanku.

Rengekan itu terdengar semakin kencang. Bahkan gegara teriakannya, seorang pria yang sedang mengutaki-atik mesin motor di samping rumah terpaksa menghentikan pekerjaannya. Wajahnya tampak kesal. Ketus.

"Duh, berisik amat. Bisa diam enggak sih." Kunci pas masih dipegang pria itu.

"Iya Bang, ini juga lagi dibujuk biar diam." Tangan perempuan itu terus menepuk-nepuk pantat si bocah.

"Dasar anak tidak mau diatur," kesan sebal dari ucapannya begitu kentara, "apa aku bilang. Anak ini memang tidak membawa hoki bagi keluarga kita. Percaya sama aku sekali-kali."

Tak ada seucap pun dari perempuan berwajah pias itu. Kantung matanya kehitaman, tulang pipi menonjol, dan bentuk muka lonjongnya menambah kesan derita yang dibebannya begitu berat. "Aku kan suamimu, Linda. Harusnya apa yang kukatakan, kau taat lah."

"Bang Wira, aku tahu kau suamiku. Tapi tolong hargai juga. Ini bukan keinginanku. Tapi, hati nuraniku yang menyuruh berbuat seperti ini." Tak ada bulir air mata di pelupuknya. Dia begitu tegar dengan apa yang dideritanya.

Mama, aku mohon. Aku tidak ingin menyusahkanmu, Ma. Aku hanya lapar. Bukan makanan itu yang bisa membuatku kenyang. Bukan. Tapi air susu yang keluar dari payudaramu, Ma.

-ooOoo-

Suasana rumah ini semakin hari rasanya semakin tidak nyaman. Selalu saja ada pertengkaran hebat kedua orang tuaku. Entah itu karena Mama yang tidak bisa mengurus diriku, entah karena tetangga yang menyetel lagu sangat keras, atau karena Papa yang akhir-akhir ini hampir tiap hari pulang sangat larut. Jika sudah bertengkar, biasanya Papa akan menunjuk-nunjuk diriku dengan sengit.

Sekarang Mama pun bukan perempuan hebat lagi. Dia sering --dan hampir setiap malam, ketika semuanya menyepi-- meneteskan air mata. Lalu suara isak tangisnya membuat diriku kejang-kejang. Entah kenapa.

Papa bukan lagi sosok menyenangkan, seperti ketika pertama kali aku menatapnya. Dulu, sudah sangat lama. Mereka, Papa dan Mama, menyambut kehadiranku dengan suka cita dan tawa bahagia. Aku masih ingat, minggu pertama kehadiranku di rumah ini, Papa selalu menggendong dan mengangkatku tinggi-tinggi. Dia memanggil kakakku --anak sulung dan laki-laki satu-satunya--, lalu mendudukkan diriku di atas tengkuknya.

"Mmha, a'uhh ap ar. Mmha aphaar." Tanganku menggapai-gapai Mama. Tapi dia hanya melirik, tanpa mengucap apa pun. Piring berisi nasi, sekerat tahu, dan kerupuk diletakkan begitu saja di meja. Aku segera merangkak, mendekati meja setinggi lima puluh senti itu.

"Mah 'aksih," aku berusaha tersenyum. Senyum tulus agar Mamaku bisa ikut tersenyum.

Tidak. Mamaku hampir tidak pernah paham senyum tulusku. Setiap kali aku tersenyum, dia hanya memandangku aneh. Raut mukanya selalu datar. Tak ada balasan senyuman dari wajahnya. Apalagi Papaku. Tampaknya rasa benci kepadaku sudah membuncah.

Aku mengerti kenapa mereka memperlakukan diriku seperti itu, tak pernah membalas senyum tulusku. Walaupun seumur hidup tidak pernah menjejakkan kaki di bangku sekolah, tapi aku paham. Perempuan lain seusia diriku sudah dibilang gadis oleh orang tuanya. Aku tahu, karena aku sering bercermin melihat senyuman itu. Senyuman yang mengerikan. Seringai bibir yang lebar dengan deretan gigi menonjol keluar. Ditambah setiap aku tersenyum, mulutku selalu saja terbuka lebar, membuat siapa pun yang melihatku merasa ngeri.

Batinku sering berteriak, apa salahku hingga mereka memperlakukan diriku begitu buruk. Apa salahku seakan hadirku di dunia ini tidak diinginkan dan mereka selalu membenciku. Siapa yang telah membuatku berada di alam yang penuh dengan kedengkian ini, apakah ini kemauanku sendiri? Tidak. Tidak! Bukan aku yang menginginkannya.

Lihat kakakku, dia begitu bahagia dengan kasih sayang dari Papaku. Lihat. Apakah ini adil? Apakah selalu pedih seperti ini jika terlahir sebagai anak yang tak bisa bicara?

-ooOoo-

"Lihat anak kamu, Lin. Lihat!" Pria itu menunjuk anak gadisnya sendiri dengan sinis, "sangat menjijikkan."

"Jaga omongan kau, Bang Wira. Setiap kali melihat Maria, kau selalu mengatakan anakku."

"Lho, memang iya. Aku berkata apa adanya."

"Giliran membicarakan Juan, anak sulung kita, kau pasti akan bilang dia anakmu."

"Maumu apa? Kau mau bilang bocah bisu itu anakku juga, iya?"

"Kau juga senang kan ketika Maria pertama kali hadir di rumah ini. Iya kan?"

"Bicara lah apa yang kau rasakan hari ini. Jangan ungkit-ungkit lagi masa lalu." Wira berdiri membusung dada, "kau tidak merasa jijik melihatnya? Jujur saja Linda. Jujur ...!"

"Tapi itu anak kita Bang. Kita yang harus ber ...,"

"Diam! Bocah itu bisa apa hah. Bisa apa? Ngomongnya saja tidak becus. Dia bisu, Lin."

"Aku tahu Bang. Aku tahu ...." perempuan itu mulai terisak.

"Harusnya dia sudah bersekolah seperti anak-anak lain. Dan bocah itu, berjalan saja dia tidak bisa."

Di sudut ruangan, bocah yang diomongkan hanya celingak-celinguk, tak mengerti apa yang suami istri itu perdebatkan. Sebantar-sebantar membanting barang yang ada di dekatnya. Lalu tiba-tiba tersenyum. Senyuman yang lebih seperti seringai lebar dengan mulut terbuka.

Pria itu berjalan mendekati bocah itu. Tangannya berkacak, menatap tajam penuh benci. Puih!

-ooOoo-

"Mhaa, mhamhaak ma'u kehman'ha?" aku berusaha berbicara sejelas mungkin. Apa daya, hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Diam. Sudah pergi sana, jauh-jauh dari Mama." Perempuan yang selama ini kupanggil Mama mengemasi pakainnya ke dalam sebuah ransel besar.

"Ak'huu khut Mm'ha," terus merangsek, memegang erat rok perempuan itu. Mamaku akan pergi. Bagaimana ini. Tidak mungkin aku berada di rumah ini seorang diri.

"Kau tetap di sini Maria. Di sini. Kau tdak boleh ikut." Matanya menatap wajahku sepintas.

"Ghaak, ghak mha'uu!" rengekan itu kembali keluar dari mulutku.

"Lihat baik-baik wajahku Maria. Lihat ke sini." Perempuan itu menarik daguku ke arahnya. Aku begitu takut sekarang. Tidak pernah Mama berbicara dengan nada tinggi seperti itu.

"Akh'uut Mmha, tahk'ut." Aku berusaha sekuat mungkin memalingkan wajah.

"Kau harus tahu. Kau bukan anak Mama. Kau dengar?!"

"Mama menikah dengan Papamu yang duda, sudah punya anak satu. Dia adalah kakakmu," nada bicaranya merendah, "sudah lima tahun Papa tidak punya anak dari Mamamu ini. Akhirnya kami memutuskan untuk mengadopsi anak."

Ah, apa yang Mama omongkan. Kepalaku sakit. Muncul suara-suara berdengung yang memekakkan telinga. Aaahh ...!

"Kau begitu lucu waktu itu, Maria. Papamu senang telah mengadopsi dirimu. Tapi jalan Tuhan tidak ada yang tahu. Ternyata kamu bisu. Dan tubuhmu mempunyai kelainan, sehingga alat gerakmu tidak sempurna."

"Nah, selesai." Mamaku memasukkan pakaian terakhir, dan menarik resleting ransel, "selamat tinggal bocah lumpuh. Berteriaklah sekeras-kerasnya. Menangislah! Biar Tuhan yang mendengar semua rengekanmu itu."

"Mhaa, mhaa ...!" Aku melolong panjang.

-ooOoo-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post