Senyum mengembang terlihat jelas di wajah Pak Zaenal ketika mendapati di mejanya sudah tergeletak nasi dus.

"Siapa ini yang syukuran?" Suara Pak Zaenal memecah keheningan ruang guru. Hanya ada Bu Nur dan Pak Warto di ruangan tersebut. Guru yang lain sedang mengajar di kelas masing-masing.

"Bu Kus yang syukuran Pak Zaen," ucap Bu Nur, tangannya sibuk mengoreksi hasil ulangan siswa.

"Ooh, Bu Nur ada plastik besar? Nasinya saya bawa pulang aja buat istri di rumah."

"Duh yang sudah punya istri." Bu Nur menyerahkan kantong plastik berwarna hitam pada Pak Zaen.

"Iya dong Bu," Pak Zaen tersenyum sembari tangannya sibuk memasukan nasi ke dalam kantung berukuran lumayan jumbo tersebut. Dia sudah membayangkan betapa senangnya Murni, istrinya, menerima oleh-oleh darinya. Meskipun itu hanya pemberian orang lain.

Dua tahun menikah, Pak Zaen merasa belum bisa membahagiakan istrinya. Penghasilan sebagai guru honorer hanya cukup untuk makan sehari-hari. Belum lagi harus membayar cicilan motor setiap bulannya. Pekerjaan sambilan pun dilakukan pria berumur 28 tahun itu demi untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga kecilnya.

Beternak bebek sudah pernah dilakukan pria berkacamata itu. Kekurangan modal untuk pakan ternaknya membuat dia akhirnya berhenti melanjutkan usaha yang hanya bertahan tidak lebih dari 4 bulan. Menjual 3 bebek hanya mendapatkan uang 75 ribu rupiah. Sempat protes kepada si pembeli. Tapi jawaban pembeli membuat dia sadar bahwa bebeknya memang kurus-kurus.

Tidak berputus asa. Dia kemudian mencoba berjualan online. Tapi itu pun tidak bertahan lama. Putus asa menghinggapinya, membuat fisik melemah dan berujung sakit. Tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai guru. Kepala sekolah sering menegur Pak Zaenal gara-gara ketidakseriusannya dalam menunaikan tugas.

menghemat pengeluaran Pak Zaen menyuruh istrinya untuk tidak usah memasak.