Edi Juharna

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Pilih Jadi Guru Honorer atau Sopir Grab?

Kisah Guru Honorer yang Menjadi Sopir Grab

Oleh Eddi Koben

Namanya Akbar. Ia seorang sopir Grab Car. Saya menenalnya saat menggunakan jasanya mengantar saya ke kampus UPI untuk suatu keperluan. Saat saya memasuki mobilnya, ia langsung berujar, “Wajah Mas seperti tak asing. Rasanya saya pernah melihat Mas, tapi entah di mana”. Saya hanya tersenyum. Selanjutnya mobil melaju.

“Mas kerja apa?” selidiknya seakan masih penasaran akan diri saya.

“Ngajar”, jawab saya singkat.

“Oh ngajar, aduh, maaf Mas, saya jadi malu! Penampilan saya begini, kurang sopan.” Ia tersipu.

Saya bingung, kok, ia malah merasa malu dengan penampilannya? Padahal, saya sendiri tak keberatan dengan penampilannya itu. Memang, tampak celana jins-nya robek di bagian paha. Rupanya itu disengaja sebagai mode. Kaos oblong hitam yang sudah agak belel melekat di badannya menimbulkan kesan kurang rapi penampilannya.

Barangkali ia merasa malu karena saya seorang pengajar yang notabene selalu berpenampilan rapi, terlebih di hadapan murid. Sementara ia berpenampilan kurang rapi, lebih mirip preman. Tapi apa peduli saya? Bagi saya sah-sah saja ia mau berpenampilan seperti apa juga. Itu hak dia.

Kebingungan saya akhirnya terjawab setelah mendengar pengakuannya. Ia mengaku bahwa sebelum menjalani profesi sebagai sopir Grab Car, ia pernah bekerja menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta. Selanjutnya, ia banyak bercerita seputar pengalamannya menjadi guru honorer selama tiga tahun.

Selama dua tahun pertama menjadi guru honorer, ia merasa baik-baik saja. Ia tak peduli akan tingkat kesejahteraannya menjadi guru honorer. Ia mengaku mendapat honor mengajar sebesar Rp400.000,00 per tiga bulan. Honor sebesar itu baginya tak terlalu jadi masalah karena ia masih hidup membujang alias belum punya tanggungan.

Saya sendiri tak terlalu terkejut mendengar pengakuannya itu. Nasib guru honorer memang banyak yang seperti itu. Mereka hanya mengandalkan kemampuan pihak sekolah untuk urusan honorarium. Beruntung bagi guru honorer yang mengajar di sekolah swasta yang terpercaya kemampuan fianansialnya. Tapi, nahas bagi guru honorer macam Akbar. Ia hanya mengajar di sekolah swasta di kampung yang kemampuan finansialnya kembang-kempis. Untuk operasional sekolah saja mesti mengandalkan cairnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diperoleh per tiga bulan. Itu pun jika lancar. Seringnya dana itu tertahan hingga berbulan-bulan. Maka, guru honorer seperti Akbar pun harus rela menunggu gajinya selama berbulan-bulan.

Memasuki tahun ketiga, Akbar mulai gerah dengan kondisi seperti itu. Selama mengajar di sekolah itu, ia tak sedikit pun mendapat kesempatan untuk memperoleh Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Padahal, jika ia mendapatkan NUPTK itu, ia punya harapan untuk mendapatkan tunjangan fungsional. Bahkan jika telah memenuhi syarat, ia berharap dapat terjaring dalam program sertifikasi guru seperti rekan-renkannya yang lain. Tapi, jangankan ikut program sertifikasi, untuk dapat nomor NUPTK saja sulitnya bukan main.

Kegelisahan Akbar semakin menjadi begitu ia memasuki jenjang pernikahan. Ia berani mempersunting seorang gadis yang juga sesama guru honorer. Meski kondisi pas-pasan, kedua pengantin baru itu berusaha bertahan dengan mengandalkan gaji guru honorer untuk menghidupi rumah tangganya. Selama berbulan-bulan mereka mampu bertahan dengan pendapatan yang apa adanya. Meski pendapatannya digabung dengan pendapatan sang istri, tetap saja itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup berdua. Kondisi ini diperparah dengan lahirnya sang buah hati pada bulan kesepuluh usia pernikahannya. Ia sadar, bayinya membutuhkan asupan gizi yang baik. Setidaknya susu dan bubur bayi harus ia sediakan. Dan, itu membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Dengan kondisi ekonomi seperti itu, Akbar akhirnya menyerah. Setelah berunding dengan sang istri, akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah swasta itu. Ia berhenti menjadi guru honorer. Ia memantapkan diri untuk mengubah keadaaan ekonomi keluarga kecilnya. Bagaimanapun ia bertanggung jawab penuh sebagai kepala keluarga. Ia ingin beralih profesi dari guru honorer ke profesi yang lebih menjanjikan secara finansial.

Ia menangkap peluang bisnis di hadapannya. Ketika seorang kerabat menawarinya untuk menjadi sopir Grab Car, tanpa pikir panjang ia langsung menyanggupinya. Kebetulan kerabatnya itu memiliki mobil yang jarang dipakai. Daripada sering menganggur di rumah, lebih baik kendaraannya dipakai untuk usaha sekaligus membantu saudara.

Akbar sangat bersemangat menerima pekerjaan barunya. Dalam pikirannya terbayang sudah akan penghasilan yang tiap hari akan ia terima. Ia tak akan lagi menunggu dengan harap-harap cemas cairnya dana BOS di sekolah tempatnya mengajar. Biarlah sang istri yang tetap melanjutkan kariernya menjadi guru honorer dengan harapan suatu saat mendapat kesejahteraan yang lebih baik.

Kini, sebulan sudah Akbar menjalani profesi sebagai sopir Grab Car. Penghasilan kotornya bisa mencapai dua ratus hingga lima ratus ribu per hari. Jika dipotong setoran, bensin, dan makan, ia dapat membawa pulang keuntungan antara 50-100 ribu per hari bahkan bisa lebih dari itu tergantung ramainya pemesan jasanya. Kini Akbar tak lagi lelah menunggu tiga bulan untuk mendapatkan honor mengajarnya sebesar 400 ribu. Kini, ia bisa tersenyum lebar sembari menenteng susu formula untuk buah hatinya dan makanan enak untuk istri tercinta.

.***

Kisah Akbar ini barangkali bisa kita jadikan cermin bahwa hidup perlu diperjuangkan. Bagi sebagian orang, cita-cita menjadi guru adalah hal yang sangat didambakan akhir-akhir ini. Terlebih menjdi guru PNS dan tersertifikasi pula. Berbagai fasilitas seperti gaji yang cukup serta tunjangan yang menggiurkan menjadi alasan sebagaian orang untuk mengejar profesi ini. Namun, tentu tidak mudah untuk mencapai semua itu. Hanya kesabaran dan kerja keras yang perlu terus dipelihara.

Membayangkan jadi guru dengan berbagai fasilitas penunjangnya tentu sangat meninabobokan kita. Namun, kita mesti ingat, jangan membayangkan yang enak-enaknya saja. Tidak semua guru mendapatkan kenyamanan-kenyamanan itu. Lihat contohnya Akbar yang harus puas hanya menjadi guru honorer dengan gaji sekitar 400 ribu per tiga bulan. Apakah Anda sanggup menjalani hidup seperti Akbar sementara kebutuhan ekonomi kian membumbung tinggi?

Saya menilai bahwa Akbar memang kurang memiliki kesabaran dalam menjalani profesinya sebagai guru honorer. Tetapi keadaan ekonominya membuat ia terjebak dalam posisi yang sulit, sangat dilematis. Keputusannya untuk beralih profesi dengan tujuan memperbaiki taraf perekonomian keluarganya patut diacungi jempol. Dan, saya kira itu sah-sah saja sebagai hak prerogratif yang bersangkutan.

Saran saya, jika Anda ingin menjadi guru jadilah guru dengan niat yang ikhlas. Jangan diniatkan untuk mencari materi yang berlimpah. Terima segala konsekwensinya sekalipun konsekwensi terburuk seperti yang dialami Akbar. Nikmati prosesnya hingga Anda berhasil menjadi guru yang tidak hanya ikhlas dalam mengajar, tetapi juga berlimpah rezekinya. Jika Anda merasa tak akan sanggup menjadi guru honorer seperti Akbar, lupakanlah niat Anda menjadi guru. Jika Anda terlanjur menjalani profesi sebagai guru honorer dengan kondisi finansial yang mirip dengan Akbar, agaknya keputusan Akbar layak Anda tiru.***

Ditulis di Cimahi pada tanggal 01 Februari 2017, dibacanya boleh di mana saja.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga kehidupan Akbar selanjutnya baik-baik saja. Bagi guru honorer yang lain semoga bisa tetap sabar dan berjuang untuk hidupnya dengan punya bisnis lain.

03 Apr
Balas

aamiin. Semoga ya...Terima kasih tanggapannya Bu Rusi. Salam kenal...

10 Apr
Balas



search

New Post