edi kusmaya

Lahir di Kota Wisata Kabupaten Pangandaran Ciamis Jawa Barat. Dari pasangan, almarhum keluarga petani Hj. Rohayati dan Rusmana. Ayahanda seorang seniman, maka d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pamer Kemewahan Lewat Tayangan Sinetron, Masih Berlangsung ?
Hanya ilustrasi contoh barang mewah, tidak mendiskritkan salah satu merek

Pamer Kemewahan Lewat Tayangan Sinetron, Masih Berlangsung ?

Tampaknya deman sinetron masih merupakan salah satu trend kehidupan jaman kiwari. Jenis acara yang ditayangkan di beberapa stasiun TV swasta berhasil menggaet jutaan pemirsa di seantero negeri ini. Tentunya menjadi ladang emas bagi si-empunya pemilik modal untuk meraup keuntungan melalui tayangan iklan. Masyarakat tidak perlu repot-repot tinggal santai menonton TV di rumah masing-masing tanpa harus bayar.

Namun di tengah keasyikan menikmati sajian hiburan tersebut, secara tidak sadar ada sesuatu yang sebenarnya harus kita sikapi secara kritis. Antara lain masalah eksploitasi kemewahan dalam gaya hidup, dari mulai rumah, pakean, kendaraan dsb. Karena sebagian besar sinetron yang menjadi vavorit pemirsa menampilkan latar belakang kemewahan.

* * *

Ironis memang di tengah kegetiran realita kehidupan yang serba sulit, jutaaan rakyat Indonesia menyaksikan hiburan yang mempertontonkan gaya hidup serba wah- yang sebenarnya hanya bisa dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat papan atas. Coba kalau kita perhatikan nyaris semua aspek seting lakon selalu dihiasi aroma kemewahan; rumah tak ubahnya keraton dengan fasilitas seperti hotel berbintang, pakaian serba gemerlap lengkap dengan kendaraan mewah termasuk anak-anak dengan menggunakan moge.

Dari sisi edukatif, jelas sinetron yang dikemas seperti ilustrasi tersebut di atas sangat tidak mendidik. Sebab akan memberikan pengaruh yang kurang baik, antara lain dapat mempertinggi rasa kecemburuan sosial - sebagai salah satu pemicu terjadinya gejolak seperti penjarahan dan tindakan anarkis lainnya. Karena masyarakat frustrasi dan sulit mewujudkan mimpinya indahnya sebagaimana mereka lihat dalam tayangan TV.

Belum lagi bumbu iklan yang dapat memaksa pemirsa untuk menonton berkali-kali, karena tidak berdaya untuk menghindar. Dalam jangka panjang dengan teknik jitu, sadar atau tidak masyarakat akan terbangkitkan nafsu konsumerlisme-nya dan berpikir cenderung tidak realistis. Jangan heran jika perusahaan mau membayar mahal harga sebuah iklan yang diselipkan dalam tayangan sinetron favorit, apalagi jika dibawakan oleh selebritis ngetop.

Padahal di tengah sulit ekonomi, alangkah bijaksananya jika semua komponen bangsa termasuk insan pertelevisian tidak hanya memikirkan masalah keuntungan, seni dan selera pasar. Tetapi diimbangi dengan semacam upaya mempertajam kepekaan dan tanggung jawab sosial. Jangan samai berbuat sebaliknya, ikut andil dan mendidik anak bangsa ini semakin konsumtif.

Sangat disayangkan berbagai penghargaan yang kini mulai marak terhadap insan pertelevisian, belum mengedepankan masalah pendidikan dalam arti luas, seperti masalah kepekaan sosial, dan keberpihakan pada kepedulian rakyat kecil. Faktanya yang dominan malah kecenderungan mengeksploitasi kemewahan dalam merebut selera pasar. Padahal sinetron yang didominasi latar belakang kehidupan yang banyak dialami oleh sebagian besar negeri ini seperti Si Doel Anak Sekolahan, jika dikemas secara apik mempunyai peluang untuk menjadi favorit. Oleh sebab itu, penghargaan semacam itu seyogyanya lebih memotivasi insan pertelevisian khususnya penyusun skenario cerita, bisa lebih banyak menampilkan sinetron yang tidak memamerkan kemewahan belaka.

* * *

Di era pasca reformasi yang menjunjung tinggi demokratisasi memang seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati udara kebebasan berpikir, menyatakan pendapat, mencipta, berkreasi dan berkarya termasuk para seniman. Namun tidak berarti bebas sebebas-bebasnya, idealisme dalam bentuk tanggung jawab sosial dan moral hendaknya bisa dijadikan salah satu acuan bagi semua pihak. Sebab tingkat aspresiasi masyarakat terhadap materi tayangan hiburan dalam media elektronik tidaklah sama. Barangkali kalau mau jujur kita akui, sebagian besar pemirsa televisi belum mampu secara optimal melihat tayangan sinetron hanya sebatas media seni.

Oleh sebab itu barangkali para insan pertelevisian, perlu membuat suatu rumusan dan komitmen dalam berkarya dengan mempertimbangkan indikator “pendidikan” seperti; lebih banyak mengetengahkan karya-karya yang membawa missi mengurangi kesenjangan sosial, memacu sekaligus memicu produktifitas dan etos kerja, menghargai profesionalisme, meningkatan nasionalisme, mencinatai produk negeri sendiri, serta merekat kembali rasa kebangsaan yang kini mulai pudar.

Hal yang perlu dicatat beberapa riset telah membuktikan, bahwa tayangan media terutama media elektronik seperti film, internet dan atau TV dapat mempengaruhi pola pikir, sikap dan akhirnya prilaku. Misalnya maraknya kasus pemerkosaan, tidak sedikit karena pelaku terpengaruh setelah menonton film porno termasuk di media sosial. Dengan demikian tidak mustahil tayangan sinetron yang mengeksploitasi kemewahan juga telah mempengaruhi pola pikir, dan sikap masyarakat seperti sifat konsumerlisme.

* * *

Di era global memang tidak ada yang akan bisa membendung arus informasi dan hiburan baik dari dalam maupun luar negeri, karena batas ruang/waktu semakin tidak jelas oleh kecanggihan iptek. Karena itu persoalannya bagaimana kita memilih sekaligus memilah semua itu, nilai-nilai mana yang bagus dan perlu dikembangkan serta mana yang kurang baik yang mesti dihindari.

Tempat pertama dan utama untuk menyikapi derasnya gempuran tayangan hiburan seperti social media, film termasuk tayangan TV, adalah keluarga. Pihak yang paling berkepentingan dalam memanai semua itu adalah seluruh anggota keluarga terutama pihak orang tua. Mereka selain harus mampu memilih tayangan materi siaran buat dirinya, juga bijaksana dalam memberi pilihan bagi anggota keluarga terutama anak. Walaupun ada beberapa satsiun tv telah memberikan label, mana yang ditujukan untuk konsumsi anak, orang dewasa, atau semua umur. Itu sudah merupakan salah satu upaya panduan bagi masyarakat, tinggal pemirsa dapat memanfaatkan panduan itu sebagai salah satu pedoman.

Masih dalam konteks pendidikan, salah satu solusi untuk mencoba menyikapi masalah ini bisa didekati dengan pendekatan pendidikan budi pekerti. Implementasinya dapat dilakukan dengan dua alternatif. Pertama nilai-nilai budi pekerti dapat dikembangkan dalam keluarga melalui proses perlakuan anggota keluarga terutama pihak orang tua atau orang dewasa dalam satu keluarga, sebagaimana diilustrasikan pada bagian sebebelumnya.

Kedua secara formal, masalah nilai-nilai yang budi pekerti yang dikembangkan dan diyakini dapat menjadi filter bagi pengaruh kurang baik dari tayangan media elektronik termasuk senetron yang kental dengan pamer kemewahan, diberikan di sekolah. Antara lain bisa diintegrasikan dalam materi pelajaran agama, sosiologi dan pelajaran yang relefan.

* * *

Sedangkan jika dilihat dari sisi kepentingan bagi pendidikan masyarakat pemirsa televisi, tampaknya harus ada institusi pemerintah atau dari element masyarakat sendiri yang harus peduli terhadap persoalan ini. Salah satu institusi masyarakat yang dapat memikirkan hal ini barangkali YLKI. Apakah pemirsa sebagai konsumen tayangan TV mempunyai hak-hak yang harus diperhatikan oleh produsen dalam hal ini pihak insan pertelevisian. Kalau jawabannya “ya” bagaimana merumuskan menjadi suatu himbauan bagi semua yang terlibat.

Ataukah hal itu dibiarkan saja seperti air mengalir, dan masyarakat dengan sendirinya akan memprosesnya secara alami. Kita lihat saja ? Yang jelas arah perubahan sosial masyarakat tidak bisa dibiarkan mengikuti kecenderungan, tetapi harus diarahkan kepada perubahan yang lebih positif.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah saya sudah putus hubungan dengan TV. maslahnya bagaimana Pertelevisian bisa menyuguhkaan tayangan yang sarat pamer kekayaan semu itu.

17 Jan
Balas

Itu pesanan pemilik modal sekaligus pemilik barang yang dipamerkan , ujung-ujungnya duiiiiiiiiiiiiiiitttttttt

17 Jan
Balas

Trims hadirnya Pa Ahmad Syaihu, salam literasi .....!

17 Jan

Sy mah ga suka nonton sinetron Pak dan bukan disinetron aja yang suka pamer mah hehe... Nia juga punya ceritanya tuh

16 Jan
Balas

Ya pasti ... penonton sangat heterogen .......dan tidak semua seneng sinetron ... sinetron juga banyak macamnya ....tapi dari hasil survey ...bahwa iklan paling banyak dan paling mahal dipasang di tayangan sinetron ....

16 Jan

Ya betul pamer kemewahan terjadi dimana saja dan kapan saja ...heee bisa di jalan, di mall, di kantor, di pasar juga ada "Toko Mas Berjalan" heee ....sinetron salah satunya ....dan tidak semua sinetron ....tapi masih banyak sinetron yang sering menampilkan kemewah ....

16 Jan
Balas

Hehe...

16 Jan



search

New Post