edi kusmaya

Lahir di Kota Wisata Kabupaten Pangandaran Ciamis Jawa Barat. Dari pasangan, almarhum keluarga petani Hj. Rohayati dan Rusmana. Ayahanda seorang seniman, maka d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sejauh mana Penerapan Konsep MBS  ?

Sejauh mana Penerapan Konsep MBS ?

Di era jaman now, salah satu pembaharuan dalam bidang pendidikan antara lain penerapan konsep School Based Manajemen alias Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Secara konsepsional MBS memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menggali sekaligus mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Karena kondisi dan karakteristik sosial, ekonomi, budaya serta potensi setiap daerah berbeda.

Kita berharap implementasi MBS yang sudah relatif lama dilaksanakan, dapat memberikan kontribusi peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini. Melalui MBS juga seluruh komponen yang terkait dengan pendidikan, bisa berinisiatif merancang, melaksanakan, mengevaluasi sekaligus mengontrol program-program pendidikan.

Namun di sisi lain, tampaknya penerapannya MBS di lapangan hingga kini belum bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ini merupakan tantangan, yang harus dijawab oleh seluruh komponen bangsa. Khususnya yang terkait dengan pengembangan bidang pendidikan. Faktor apa yang menyebabkan konsep tersebut belum bisa dijalankan secara penuh, serta alternatif solusinya.

Indikator

Sebagai sistem, MBS bisa berhasil apabila indikator pelaksananya dilaksanakan antara lain; Pertama, menerapkan efektivitas proses pembelajaran. Pembelajaran bukan sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan, akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan. Kemudian diaplikasikan dalam kehidupan keseharian peserta didik.

Namun masih terjadi, sekolah dasar dan lanjutan tingkat pertama misalnya tak cenderung sebagai bank pengetahuan yang siap ditransver kepada anak didik, masalah memahami atau belum - dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari belum menjadi aspek yang menjadi pertama dan utama. Sehingga mereka menjadi depresi, karena dijejali berbagai program belajar hapalan. Kita sering melihat anak-anak SD membawa tas yang lebih besar dari badannya sendiri, isinya berbagai macam buku yang harus diserap setiap hari. Saking beratnya, mereka tak mampu menggendongnya.

Jika MBS ingin berhasil diterapkan perlu ada pembaharuan dalam merubah sekolah sebagai “sistem pemberitahuan”, menjadi “sistem pemanaan antara kognitif, afektif dan psikomotor” secara sistematis dan berkesinambungan. Alhasil kurikulum KBK belum sepenuhnya dapat direalisasikan secara konsisten.

Kedua, kepemimpinan sekolah yang kuat. Karena aspek ini merupakan salah satu faktor pendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap.

Asumsinya kepala sekolah (KS) dituntut mempunyai kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang memadai. Selain memiliki standar moral yang tinggi. Persoalannya, pada kenyataanya tidak sedikit kualifikasi KS terutama di sekolah negeri yang sebenarnya belum layak memimpin, baik dilihat berbagai aspek. Sebagai akibat masih adanya sisa-siasa praktek-praktek KKN, walaupun disinyalir kini mulai dikikis habis. Konon tempo doeloe penyakit suap untuk menjadi KS di daerah, bukan hal aneh. Bagi guru yang kurang 3D (dekat, dukun dan duit), jangan berharap dapat promosi menjadi kepala sekolah. Bahkan bagi mereka yang sudah diterima pun, bisa menunggu sampai dua - tiga tahun dapat dilantik karena kurang rajin “setor muka” dan “setor amplop”. Kita berharap hal seperti itu sudah tidak ada lagi.

Selama rekrutment KS, masih diwarnai penyakit yang sulit dihilangkan itu, selama itu pula penerapan MBS yang dikomandoi KS akan sulit diwujudkan secara penuh. Assumsinya, bagaimana mungkin sekolah bisa maju jika dipimpin oleh seseorang yang belum memiliki kemampuan manajerial yang optimal dan kualitas moral yang dapat disuritauladani.

Ketiga, pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, terutama guru, merupakan salah satu faktor strategis. Secara teknis, pengelolaan tenaga kependidikan dari mulai analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja, hubungan kerja hingga pada kompensasi merupakan garapan penting, terutama bagi KS.

Alasannya sederhana, bagaimana MBS suatu sekolah bisa diterapkan jika didukung oleh sebagian besar guru yang belum mampu menjalankan tugasnya secara optimal. Kompetensinya diragukan, loyalitasnya sangat rentan, dan tidak sedikit guru terpaksa ngajar bukan pada bidangnya karena berbagai alasan.

Mudah-mudahan kisah mafia penerimaan guru dari tingkat pusat pada masa sentralisasi, dan di era otonomi daerah hanya tinggal kenangan. Guru yang diterima kini harus memenuhi kualifikasi. Kalau tidak akan menjadi “virus” dalam aplikasi MBS.

Di samping itu, lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga guru harus melakukan pembenahan dari berbagai aspek. Sehingga selain mampu melahirkan tenaga pendidikan berkualifikasi, juga memiliki kualitas moral sebagai pendidik. Antara lain dengan melakukan seleksi mahasiswa secara ketat dan jujur.

Keempat, memiliki budaya mutu. Semua warga sekolah, memiliki komitmen dalam menjunjung tinggi “kualitas”, sehingga seluruh pemikiran, sikap dan tindakan didasari oleh profesionalisme. Hal itu hanya bisa terwujud, jika beberapa aspek seperti prestasi mendapat penghargaan - sebaliknya pelanggaran harus mendapat pembinaan. Jika masih terjadi istilah “pinter goblok sama saja”, tidak akan pernah terwujud motif berprestasi bagi setiap pelaku pengembangan pendidikan. Akibatnya semua orang tidak merasa enjoy dalam bekerja, karena tidak ada rasa keadilan, dan rasa memiliki.

Budaya berwawasan keunggulan belum terpatri dalam prilaku pelaku pendidikan pada umumnya. Sebagai akibat sistem dan para pemimpin yang kurang peduli pada prestasi. Karena mereka yang mempunyai peluang untuk meraih puncak karir, biasanya hanya berlaku bagi yang mempunyai akses pada kekuasaan dengan jalan melakukan pendekatan menghalalkan segala cara.

Kelima, memiliki tim kerja yang solid. Karena sekolah sesungguhnya merupakan perwujudan kerja kelompok. Jadi prestasi sekolah harus dibangun oleh kerja kelompok bukan karena seorang kepala sekolah. Karena budaya kerja sama seluruh unsur adalah tuntutan MBS. Jika masih ada sekolah, yang hanya dimainkan oleh sekelompok orang yang terpakai (“disenangi”) oleh kepala sekolahnya saja, tidak akan bisa melaksanakan konsep MBS.

Sudah menjadi rahasiah umum, dalam istitusi kita termasuk sekolah masih, masih ada sisa-sisa budaya ABS (Asal Bapa Senang). Karena para pemimpin kita umumnya, belum siap menjadi pemimpin yang demokratis dan efektif. Seperti masih ada yang alergi dikritik, bermusuhan pada bawahan yang vokal, dan belum memperlakukan staf sebagai mitra.

Keenam, partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Sebagai konsekuensi untuk mengakomodasi aspirasai, harapan dan kebutuhan stakeholders sekolah, maka perlu dikembangkan adanya wadah untuk menampung dan menyalurkannya yang diberi nama Komite Sekolah. Berdasarkan SK Mendiknas, badan ini mempunyai empat peran yaitu; 1) Memberi pertimbangan dalam menentukan dan pelaksanaan kebijakan dan di satuan pendidikan. 2) Pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. 3) Pengontrol dalam rangka transparansi serta akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. 4) Mediator antara pemerintah dengan masyarakat satuan pendidikan.

Jangan sampai Komite Sekolah cara kerjanya masih seperti tempo doeloe (BP3), bukan memberi solusi – malah menjadi beban sekolah.

Ketujuh, sekolah memiliki transparansi. Inilah yang paling gampang diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Masalahnya dari mulai pimpinan paling atas hingga di tataran bawah, sudah terbiasa dengan manajemen tertutup dalam segala hal apalagi jika menyangkut soal “uang”. Alasannya sederhana, Karena keterbukaan bagi sebagian besar komponen pendidikan adalah sesuatu yang “kurang mengenakan”.

Jadi persoalannya bukan karena ketidaktahuan, bahwa MBS salah syarat pentinya harus ada keterbukaan dari semua pihak dan dalam segala hal. Padahal, secanggih apapun konsep dan sebaik apapun sistem yang digunakan tidak akan berpengaruh banyak, jika aspek moralitas tidak dijunjung tinggi.

Aspek lain

Setidaknya ada tiga aspek yang akan menentukan berhasil tidaknya penerapan MBS. Pertama kondisi sosial, ekonomi, dan apresiasi masyarakat. Terutama tingkat pendidikan dan ekonomi orang tua siswa dan masyarakat. Kedua, dukungan pemerintah. Kalau mau jujur, dukungan pemerintah dalam membantu aplikasi MBS bagi sekolah yang kemampuan orang tua siswanya dalam katagori kurang mampu, masih jauh dari yang diharapkan.

Kata Kunci

Namun jika semua itu kita tarik kata kuncinya, jawabnya satu “moralitas kita” khususnya pihak yang terkait dengan bidang pendidikan. Seperti dikemukakan M Hasan Basri (Kompas, 15/11-2002) bahwa, konsep MBS sebenarnya cukup membantu mengantarkan sekolah lebih mandiri dalam mengelola dan meningkatkan mutu pendidikan.

Namun apalah artinya sebuah konsep jika pihak-pihak yang berkompeten belum mampu bergerak sinergis. Menurutnya, hal itu tak ubahnya ibarat sebuah mobil yang onderdilnya jarang diservis (atau bahkan sudah aus) tetapi tetap dipaksa mendaki bukit terjal.

Kini persoalannya berpulang pada diri kita, harus mau berubah. Tidak ada yang mustahil untuk berubah ke arah yang lebih baik. Mari !

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post