Edi Martani

Menulis itu membutuhkan tenaga ekstra, maka sebelum menulis siapkan cemilan secukupnya. Agar betah menulis sampai cemilan habis. Alumni...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ini Tentang Rasa

Ini Tentang Rasa

Ini tentang Rasa

Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat. Mungkin pepatah tersebut tidak asing di telinga kita. Ya, banyak pepatah yang menggambarkan betapa pentingnya menuntut ilmu.

Terlepas dari itu semua, ternyata mencari ilmu tak semudah mencari suatu benda di sekitar kita. Karena terkadang ilmu itu didapat bukan pada hasil, melainkan pada prosesnya.

Bagiku, menuntut ilmu tidak harus di bangku sekolah. Ya, karena aku merasakan adanya tambahan ilmu ketika berada di perantauan. Disana, aku belajar bagaimana aku hidup. Bagaimana aku bersikap, serta bagaimana aku bertindak.

Latar belakang keluargaku, yang membuatku untuk sekolah selepas MAN aku urungkan. Namun bukan berarti semangatku untuk belajar sirna. Justru semakin lama, titik api itu semakin besar. Sepertinya aku tak mampu lagi memadamkannya.

Setelah aku selesai kuliah diploma, studi lanjut jenjang kesarjanaanpun aku tempuh. Bukan gelar di belakang namaku yang aku inginkan, tapi ilmu dan pelajaran yang aku harapkan. Agar aku bisa hidup sejajar dengan teman seusiaku. Aku sadari, kehidupanku penuh dengan liku. Sehingga aku harus menyiapkan bekal yang cukup.

Meski sempat "berdarah-darah", akhirnya aku bisa menyelesaikannya. Mungkin sebutan "mahasiswa abadi" sangat pantas aku sandang, bukan gelar sarjana pendidikan. Tentunya bukan tanpa alasan, karena aku harus setia menanti izin belajarku.

Puas sampai disini? Ternyata tidak, meskipun aku tidak tahu nanti ijazah dan ilmuku berguna atau tidak. Aku ikuti program pascasarjana. Wow... banyak duitkah aku? Tentu saja tidak, keluarga kecil dengan 3 anak. Aku harus bisa membagi waktu dan menghemat keuangan. Pandaikah aku? Ternyata tidak juga. Benar juga kata dosenku, Bukanlah kepandaian dan kemampuan yang bisa mendorongku untuk terus belajar melainkan kemauan yang kuat.

Banyak yang memberi motivasi, namun tidak sedikit yang mengendurkan niatku. Mereka mengatakan buat apa sekolah terus, gini saja sudah lebih dari cukup. Namun bagiku, ini soal rasa. Aku merasa semakin haus akan belajar, seperti meneguk air garam.

Bagaikan melihat dunia luar lewat jendela rumah, itulah gambaran diriku. Semakin mendalami, serasa semakin dangkal pengetahuanku.

Setelah selesai program pascasarjana, aku mulai goyah untuk terus belajar. Selain keluargaku yang mulai membutuhkan anggaran lebih, anak-anakku yang mulai membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Banyak komentar teman sejawat yang mulai memadamkan "api dalam sekam".

Namun, di luar pikiranku. Aku "dikompori" oleh mantan dosenku yang kini menjadi rektor. Jadilah kompor ini meledak. Sebenarnya aku dan keluargaku bukan keluarga yang berada, tapi harus mengadakan. Untung diri ini, pendamping hidupku selalu mensuport setiap keinginanku.

Kini, aku mulai menapaki jenjang pendidikan tertinggi di negeri ini. Mantan dosenku bilang ini "ide gila". Mungkin karena ideku menjadi satu-satunya di kampungku. Program doktoral aku ikuti, sekali lagi bukan karena aku "mampu" dari segi materi. Tapi karena aku "mau", sekali lagi ini tentang rasa. Ya, rasa yang tidak sama yang dimiliki oleh setiap orang.

Sekali lagi, bukan gelar atau jabatan yang aku ingin dapatkan. Tapi ilmu yang hendak aku cari, biarlah semua berjalan sesuai alurnya. Kalau ditanya apakah kegunaannya nanti? Biarlah Tuhan yang mempersiapkannya nanti.

Bukankan Tuhan telah menjanjikan "Yarfa'illaahu al-ladzi na amanu minkum wa al-ladzina utul 'ilma darojat" (Allah akan mengangkat orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang mempunyai ilmu dengan beberapa derajat).

Kalau dulu, aku harus berhayal dan bermimpi sekolah dan kuliah. Kini aku harus bangun dari mimpi dan mengakhiri hayalanku, untuk bergegas masuk kuliah.

Ini tentang rasa, rasa bagaimana menata hati dan pikiran untuk tetap belajar. Ya belajar sepanjang hayat. Semoga sedikit tulisanku ini, akan mampu menjawab setiap pertanyaan yang sobat ingin tanyakan kepadaku.

Buat dosen-dosenku, aku ucapkan selamat. Bapak telah berhasil "mengompori muridmu". Semoga Beliau diberi kesehatan dan suatu saat nanti turut menyaksikan persidanganku dihadapan para promotorku. Buat pendampingku, semoga Tuhan senantiasa melimpahkan karunia-Nya untuk keluarga kita. Sehat selalu dan tetap sabar mendampingiku hingga kakek-nenek kelak. Buat anak-anakku, jangan ikuti jejak ayahmu ini. Yang suka belajar setelah tidak remaja lagi. Semoga kalian bisa terus melanjutkan belajarmu hingga kalian meraih kesuksesan dunia akhirat, Aamiin.

Magelang 09032021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post