Edi Prasetyo

Tinggal di Purbalingga Jawa Tengah Sejak masih kuliah di IKIP Yogyakarta gemar menulis Pernah menjadi guru di SMAN 1 Sokaraja Banyumas 18 tahun KS SMAN 1 S

Selengkapnya
Navigasi Web
Mawar Merah Ini, Mestinya untuk Dia

Mawar Merah Ini, Mestinya untuk Dia

"Sedang menunggu Bu Guru lewat, ya Om!" Nadia, keponakanku, berseru menggodaku dari balik pintu depan rumahku.

Aku betul-betul terperanjat! Dari mana anak itu tahu kalau aku sedang menunggu ibu gurunya lewat? Aku hentikan gerak tanganku yang sedari tadi mengelap mobil. Ingin aku menangkap anak itu. Tapi sebelum aku melangkah, dia sudah kembali masuk ke rumah sambil cekikikan.

Ya! Aku memang sedang menunggu ibu gurunya lewat. Ia merupakan guru baru di SD tempat keponakanku itu bersekolah. Baru tiga bulan ini ia bertugas. Kabarnya ia berasal dari luar kota. Di sini, ia kos di rumah Pak Haji Mochtar, yang hanya berjarak sekitar 150 meter dari rumahku.

Awalnya aku tak mengacuhkannya. Meski beberapa kali aku melihatnya berjalan lewat di depan rumahku saat hendak berangkat mengajar, aku hanya melihatnya sepintas. Tapi sejak aku berpapasan dengannya dua minggu yang lalu, perasaanku jadi tak menentu.

Pagi itu, aku hendak ke warung dekat rumahku. Baru saja aku membuka pintu gerbang rumahku, ibu guru itu lewat. Ia mengangguk sopan padaku. Senyum manisnya menghiasi bibirnya. Tatapan matanya yang tajam, begitu menggetarkan jiwaku. Dengan agak kikuk, aku pun membalas anggukannya. Aku hanya bisa berdiri termangu. Mataku terus mengikuti langkahnya. Diam-diam aku mulai mengaguminya.

Sejak saat itu hatiku jadi tak menentu. Setiap pagi, aku selalu mandi lebih awal daripada biasanya. Sebelum pukul 06.00, aku pasti sudah mandi. Setelah minum secangkir teh hangat kesukaanku, aku segera mengeluarkan mobil dari garasi. Sengaja aku berlama-lama mengelap mobil. Ini aku lakukan semata-mata karena aku tidak ingin sampai tidak melihat ibu guru itu lewat. Biasanya, sekitar pukul 06.30 ia pun lewat. Setelah melihatnya lewat, hati ini rasanya begitu lega.

Sering aku membayangkan betapa senangnya hatiku kalau aku bisa menikah dengannya. Menikah? Baru melihat wanita lewat di depan rumah selama dua minggu, dan belum juga sempat mengenalnya lebih jauh, sudah mikir menikah?

Kedengarannya memang aneh. Tapi itulah perasaan yang ada di hatiku saat ini. Umurku sudah 33 tahun. Pekerjaanku sebagai pegawai bank cukup menjanjikan. Rumah dan mobil aku sudah punya. Wajar kan kalau aku mikir menikah?

Bagiku, ibu guru itu cocok menjadi isteriku. Ia begitu anggun dan cantik. Kecantikannya bisa dibilang di atas rata-rata wanita kebanyakan. Bodinya proporsional. Tidak kurus dan tidak pula gemuk. Kulitnya pun begitu putih dan bersih. Dan yang paling mengagumkan bagiku, ia adalah wanita yang sangat sopan kepada siapapun. Jadi mengapa aku tidak boleh membayangkan menikah dengannya?

Kalau sudah menikah denganku, ia akan aku boyong ke rumahku ini. Tidak perlu lagi ia kos di rumah orang. Kami akan punya anak yang cantik seperti dia, atau gagah seperti aku. Kami akan hidup dengan penuh kebahagiaan.

"Nadia berangkat ke sekolah dulu, ya Om!" ujar keponakanku membuyarkan lamunanku.

"Ya, Nadia. Hati-hati ya!" jawabku sambil menyambut jabat tangannya.

Nadia adalah anak kakak perempuanku. Saat ini ia duduk di kelas 6 SD. Sejak ibunya meninggal tiga tahun yang lalu dan kemudian bapaknya menikah lagi, ia memilih tinggal bersamaku. Kami hanya tinggal berdua. Ayah ibuku sudah lama tiada.

Dari keponakanku itulah aku jadi tahu nama ibu guru yang diam-diam memikat hatiku itu. Ia bernama Bu Rismawati, kata keponakanku.Aku benar-benar ingin berkenalan lebih jauh dengan ibu guru itu. Tapi bagaimana caranya? Mau bertandang ke rumah Pak Haji Mochtar, aku malu. Pasti beliau akan langsung tahu maksud kedatanganku. Mau mengajaknya ngobrol saat dia lewat di depan rumahku, aku tidak berani. Jadi aku harus bagaimana?

Akhirnya aku mendapat akal. Dengan bantuan Nadia, aku berhasil mendapatkan nomor hpnya. Kepada keponakanku itu aku mengatakan, bahwa aku butuh tahu nomor hp ibu gurunya, karena jika suatu waktu Nadia tidak masuk sekolah karena sakit atau alasan lain, aku akan dengan mudah memintakan izin lewat telepon.

Aku pun kemudian berhasil berkenalan dengannya lewat wa. Awalnya aku hanya menanyakan tentang nama, alamat asalnya, keluarganya, dan hal-hal biasa lainnya. Lama-lama aku memberanikan diri menanyakan statusnya. Ia mengatakan kalau dirinya masih belum punya pacar. Pucuk dicinta ulam tiba, pikirku.

Sejak berkenalan dengannya, perlahan-lahan aku mulai melupakan pacarku, Winda. Wanita yang juga pegawai bank itu, yang sudah aku pacari sejak setahun yang lalu itu, semakin jarang aku hubungi, baik lewat telepon maupun wa. Setiap dia menghubungiku, aku selalu berdalih bahwa aku sedang sibuk. Meskipun sebenarnya aku berbohong, tapi dia yang bertugas di luar kota itu, sepertinya percaya saja padaku.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai berani mengatakan hal-hal yang menyerempet soal asmara kepada Risma. Aku katakan kalau aku mengaguminya, aku sering memikirkannya, dan kata-kata gombal lainnya. Sejauh ini, ia hanya merespon seperlunya. Setiap kali aku memujinya, ia hanya menjawab: terima kasih.

Hal itulah yang membuatku penasaran. Apakah ibu guru itu sama sekali tidak tertarik padaku? Kupikir wajahku lumayan ganteng. Tubuhku cukup kekar. Pekerjaanku sudah cukup mapan. Rumah dan mobil pun aku sudah punya. Lalu kekuranganku apa sehingga ibu guru itu belum juga memberikan 'lampu hijau' kepadaku?

Akhirnya kuberanikan juga untuk mengajaknya kencan. Lewat telepon, aku tawarkan untuk bertemu di mall saja pada minggu siang agar tetanggaku tidak ada yang mengetahui. Ia menjawab, "Ya, Mas. Jam berapa?"

"Bagaimana kalau jam 11.00?" Aku menawarkan waktu.

"Ya, Mas Adi. Siap!"

Yes! Aku betul-betul merasa senang mendengar jawabannya. Hatiku berbunga-bunga. Aku pun segera mengatur rencana. Di mall dia akan aku belikan apa saja yang dia suka. Setelah dari mall, dia akan aku ajak ke Bukit Cinta, objek wisata baru di daerahku. Sebelumnya, akan aku siapkan seikat mawar merah. Di Bukit Cinta itulah aku akan mengungkapkan rasa cintaku padanya.

Minggu pagi pukul 10.00 semuanya sudah siap. Dandananku kubuat rapih agar dia terpikat. Parfum merek terkenal aku semprotkan ke beberapa bagian tubuh dan pakaianku. Dompet dan kartu kredit aku siapkan. Mobil sudah aku lap sampai mengkilap. Seikat mawar merah sudah aku siapkan di bagasi mobil. Pokoknya tak ada lagi yang terlewat.

Kepada keponakanku, aku bilang kalau mau ada acara di kantor. Setelah memberinya uang jajan, aku berpamitan kepadanya. Sambil bersiul, aku meluncur meninggalkan rumah.

Sampai di depan mall, kulihat Risma sudah menungguku. Dengan setelah celana jean warna coklat, dipadu dengan kaus lengan panjang warna cream, ibu guru itu betul-betul tampak anggun. Lipstik tipis warna pink di bibirnya dan sapuan bedak tipis di pipinya, benar-benar menambah kecantikannya.

Di dalam mall kami hanya sebentar. Setelah membelikannya beberapa potong pakaian dan barang-barang kebutuhan wanita, kami segera meluncur menuju Bukit Cinta.

Aku sengaja memarkir mobilku di tempat yang agak sepi. Turun dari mobil, Risma kuajak menuju bukit tertinggi. Di tempat itulah aku ingin mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya.

Cukup lama kami mengobrol kesana kemari. Kadang kami tertawa bersama. Sesaat Risma kutinggal sendirian. Kuambil mawar merah yang tadi kusimpan di bagasi mobil. Dengan tangan di belakang punggung, aku berjalan kembali mendekati Risma.

Sesampai di hadapan Risma aku berhenti. Dengan menebar senyum, aku serahkan seikat mawar merah yang kugenggam di tangan kananku. Tangan kanannya menerima pemberianku. Kuamati ekspresi wajahnya. Ia tampak biasa-biasa saja. Dengan suara datar ia berkata, "Terima kasih, Mas Adi telah memberiku seikat mawar merah. Itu artinya, Mas Adi menaruh rasa cinta kepadaku. Tapi tahukah Mas Adi, siapa yang sebenarnya berhak menerima mawar merah ini?"

"Apa maksudmu, Risma? Apakah kamu menolak cintaku?" Aku benar-benar penasaran dibuatnya.

Risma hanya tersenyum. "Mas Adi sudah punya pacar bukan?" katanya kemudian. "Mas Adi tidak usah berbohong kepada diri sendiri."

"Apa maksudmu, Risma?" Ibu guru itu betul-betul membuatku penasaran.

Setelah menghela nafas, Risma kemudian berkata, "Ketahuilah, Mas Adi. Sampai saat ini Winda masih sangat mencintai Mas Adi."

"Winda? Dari mana kamu mengetahui nama itu, Risma?" Aku terbelalak.

"Mas Adi tidak perlu kaget. Winda, pacar Mas Adi itu, adalah teman SMA ku. Sejak Mas Adi kurang memperhatikan dirinya selama tiga bulan lebih ini, ia memintaku untuk menyelidiki, apa yang sebenarnya terjadi. Kini semuanya sudah jelas. Mas Adi ingin melupakannya dan berpaling kepada wanita lain. Meskipun wanita lain itu adalah diriku, tapi jelas tidak mungkin aku mengkhianati persahabatan dengannya."

Aku hanya diam mendengarkan kata-katanya.

"Mas Adi. Kembalilah pada Winda. Menikahlah dengannya. Percayalah, dia betul-betul sangat mencintai Mas Adi. Jangan sia-siakan cintanya. Ia wanita cantik dan baik. Ini mawar merah aku kembalikan. Aku sadar betul kalau mawar merah ini mestinya untuk dia. Bukan untukku."

Aku betul-betul lunglai. Dengan langkah gontai aku menuju ke bibir jurang yang curam. Kupandang dasar jurang yang gelap. Seketika kucampakkan mawar merah di genggamanku.

Purbalingga, 16 September 2017.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

3 bulan... Pilih bu guru aja pak. Banyak lho jadi mediator mslah jadian beneran. Hhhh... Pagar lupa tanaman. Bukan lupa malah Makan lho pak. ..

17 Sep
Balas

Hihihi...pinter p.edi..good write

17 Sep
Balas

Ah... yg benar Bu Lastri? Terima kasih sekali atas suntikan semangatnya. Oya maaf, tulisan sy sebelumnya yg berjudul "Maafkan Ibu, Anakku!" kebetulan tokohnya bernma Lastri.

17 Sep

Ya, Pak. Untung bu guru itu sangat bijaksasana dan setiakawan.

17 Sep
Balas

Hehehe... Ya Pak. Umumnya guru memang ok. Shg sy suka menjadikan guru sbg tokoh pd tulisan sy. Terima kasih atas komentarnya, Pak.

17 Sep
Balas

Alhamdulillah... sbg guru muda, tentu bu Wardani lebih enerjik dan kaya ide. Silakan dikembangkan potensi ibu. Selamat berkarya.

17 Sep
Balas

Wuiiiiih.... Siiiiip..., kirain mau nyebur jurang mas.... Tiwas deg-deg an...

16 Sep
Balas

Hehehe...saya masih takut sih. Nanti gak bisa ketemu mbak Dahlia!

17 Sep

Sayang ya, gagal pindah ke lain hari...

17 Sep
Balas

Pak Edi ternyata cerpenis nggih Pak? Saya jadi termotivasi. Terima kasih sudah mengenalkan gurusiana ini ke kami, terutama saya. Saya jadi ikut-ikutan nulis walaupun belum sebagus tulisan Pak Edi. Sekali lagi matur nuwun pak, sudah menginspirasi guru muda untuk ikut menulis.

17 Sep
Balas

Cerpen paedogogik, merangsang untuk dibaca, ketika ke jurang dikira oleh pembaca ajan loncat bunuh diri namun hanya mawar yg dilempar.

17 Sep
Balas

Ya Pak. Untuk apa bunuh diri ya Pak. Masa hanya ditolak cintanya oleh seorang wanita terus bunuh diri. Lagi pula pria itu kan sdh punya pacar? Knp mau cari yg lain?

17 Sep

HIHIHI...yang koment banyak banget. Jo sampe lompat ke jurang, ntar gk mati yang ada isin...hahaha. Baarokallah...Pak Kepala Sekolah.

10 Mar
Balas

Weh? Ini cerpen sdh sy posting lama sekali! Masih mau membacanya juga to?

10 Mar



search

New Post