Edi Sutopo

Mengajar di MTs Negeri 1 Grobogan Jawa Tengah....

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak Punk
wallpaperbetter.com

Anak Punk

Sehari setelah anakku meninggal, aku mengetuk pintu Bu Asih, salah seorang tetangga sekaligus guru anakku. Aku ingin bertanya apakah anakku punya tanggungan biaya yang harus saya bayar. Kematian itu begitu meremukkan hatiku. Aku harus menerima kenyataan. Putriku pergi untuk selamanya.

Bayangannya masih lekat di pelupuk mataku. Ia berlari-lari dan berteriak menyambutku kedatanganku. Ia jatuh kemudian bangkit lagi. Tawa kecilnya masih terbayang jelas. Gigi serinya kecil-kecil persis ibunya. Bayangan itu berganti lagi saat aku mengantarnya masuk pondok. Ia sudah besar. Dengan baju MTs itu dia tumbuh menjadi gadis yang manis. Menonjol di antara teman-temannya sebayanya.

Ada suara berjalan mendekat. Seorang wanita muncul dari balik pintu.

“Silakan masuk, Pak,” kata Bu Asih ramah membuyarkan lamunanku, “silakan duduk dulu.”

Aku duduk. Bayangan Putriku muncul cepat. Ia pernah bercerita tentang rasa senangnya kepada dunia modeling. Ah, rupanya bakat ibunya menitis kepadanya. Ibunya dahulu juga seorang model di Jakarta. Kariernya cemerlang, tetapi kanker payudara telah merenggut masa mudanya. Ia meninggal hanya dua tahun setelah melahirkan putriku.

Bu Asih muncul sambil membawakan teh manis di gelas besar. Dia duduk dan mempersilakan hidangan di atas meja.

“Silakan, Pak tehnya mumpung masih hangat.”

“Iya, Bu,” jawabku. Aku nikmati teh yang sangat manis itu.

Bu Asih tampak menungguku berbicara.

“Bu, apakah anak saya punya tanggungan biaya di sekolah? Barangkali ibu tahu? Sekalian akan saya lunasi.”

“Iya, Pak. Ada bebarapa catatan dititipkan oleh madrasah. Maaf, sebentar ya,” ujar Bu Asih sambil berdiri dan meninggalkan saya sendiri.

Riska akhirnya kuasuh sendiri. Dia adalah titipan istriku yang harus aku jaga. Ternyata ia tumbuh menjadi anak manis yang menyenangkan. Tak pernah membuat rewel yang berlebihan. Dan karena kerja yang harus aku lakukan, pengasuhan Riska kuserahkan kepada orang tuaku, ya neneknya Riska. Aku sangka dengan pengasuhan nenek dapat mengalir kasih sayang untuk menggantikan sosok ibu yang ia butuhkan.

Riska tumbuh menjadi anak yang pintar. Meskipun mendapatkan air dada beberapa bulan saja, ia tumbuh sempurna dan jarang sakit. Pernah ia sekali sakit panas saat kelas dua sekolah dasar. Aku ditelepon oleh gurunya. Aku pun segera meluncur ke sekolah yang tak jauh dari kantorku mengajar. Ternyata ia panas karena amandel. Dokter memberikan obat yang harus diminum agar amandelnya segera mengecil tanpa harus operasi.

Bu Asih datang membawa map merah. Ia letakkan map itu di meja. Tertulis pada sampulnya nama anakku. Hatiku berdesir. Kupandangi map merah itu dengan perasaan pilu. Apakah tanggungan yang dimiliki anakku? Kuharap tidak ada yang aneh-aneh. Kuyakin semua biaya sudah aku penuhi.

“Pak, Riska masih memiliki tanggungan biaya yang cukup besar. SPP sepuluh bulan belum dibayar.”

SPP sepuluh bulan? Lo, bukankah sudah pernah aku berikan kepadanya?

“Dan ini ada beberapa buku paket milik perpustakaan yang harus dikembalikan lagi. Ini ada rinciannya sudah ada di sini.”

Bu Asih memberikan map itu kepadaku. Badanku dingin lemas. Mataku tiba-tiba gelap.

* * *

Setengah bermimpi sewaktu aku terjaga sendirian di ruang tengah. Pintu rumah depan masih menganga. Angin dingin menusuk-nusuk tanganku. Kututup dan kembali aku menekuri kursi tadi.

“Anakku telah pergi, oh. Barangkali kau sudah,…

Oh, ini semua salahku yang tak menuruti keinginannya. Dasar anak tak bisa diatur. Terlalu. Terkutuk kau.

Kepalaku masih berat. Dan akhirnya kembali mataku merenungi pintu yang ada di depan sana. Tak bergerak. Dan Riska hilanglah dari ingatanku. Dan dunia belia melela dalam kepalaku sekarang. Dunia belia yang berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ya, masa yang indah dahulu. Banyak kenangan bersama remaja gadis manis di kampus dahulu. Waktu itu hanya ada senang bersamanya, Tiara. Yang kelak jadi istriku. Terdengar suara Tiara yang merdu dan indah. Ah, Tiara, kau menurun pada Riska anakmu seorang. Wajahmu, senyummu …

Bayangan dalam ingatanku mati. Aku tersentak bangun. Terdengar olehku suara pintu diketuk perlahan. Pintu yang sudah dua puluh tahun ini menjadi batas keluar masukku. Aku diam mendengarkan. Ketukan ada lagi.

Aku tahu Riska akan datang. Aku berjalan ke pintu. Aku berdiam diri agak lama di depan pintu. Benarkah itu suara ketukan? Kemudian ketukan terdengar lagi, pelan saja.

“Riska engkaukah itu?”

“Saya kawan Riska, Bapak!”

“Ah, ternyata bukan Riska!”

“Bolehkan aku masuk?”

“Siapa engkau?”

“Bolehkan aku masuk?”

Kutatap tajam gagang pintu. Apakah harus kubuka? Siapa dia? Riska? Teman Riska?

“Mau apa malam-malam begini?”

“Bolehkan aku masuk, Bapak?”

Aku berpikir sedikit menimbang-nimbang sedikit. Tapi sebelum jelas aku putuskan apa-apa tanganku tiba-tiba telah membuka pintu itu. Anak muda, dua orang, berpakaian hitam-hitam masuk. Aku tak suka penampilan mereka. Rambut dekil, tangan bertato, tak terurus.

“Duduk!” kataku.

Tampak mereka ragu-ragu memulai bicara. Kupandangi wajah yang hitam itu.

“Ada perlu apa ke sini?”

Dengan mata berkaca-kaca, kemudian mengalirlah cerita tentang Riska yang mereka ketahui.

* * *

Dari mulut Bopeng, teman Riska itu akhirnya mulai kuketahui sedikit demi sedikit misteri kepergian anakku. Kehadiran guru di rumah pada suatu sore itu, membuat Riska gelisah. Duduknya di ruang tamu tidak tenang. Berkali-kali matanya diarahkan ke pintu. Ia menunggu Bopeng dan Iwan yang telah berjanji menjemputnya selepas Isya. Malam itu mereka akan berencana menonton konser musik punk di Semarang. Mereka akan berboncengan bertiga ke sana. Astaga, anakku ternyata anggota komunitas punk! [*]

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yang indah pak Edi.

05 Feb
Balas



search

New Post