Effi Hastiati

Mengajar di SMP Negeri Kota Cimahi Jawa Barat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sudah Semakin Populerkah Literasi?
http://statis.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2016/03/word-cloud-literasi-dan-kehidupan.jpg

Sudah Semakin Populerkah Literasi?

Istilah literasi merupakan sebuah kata yang semakin populer saat ini. Istilah Literasi sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan komunitas literasi. Komunitas literasi biasanya lahir dari kalangan pendidik maupun masyarakat umum. Literasi populer di kalangan pegiat literasi di lingkungan sekolah, di lingkungan masyarakat secara formal dan non formal, maupun secara informal dalam keluarga. Secara Informal muncul di dalam lingkungan keluarga yang terdidik. Biasanya orangtua yang paling berperan penting dalam menggugah seluruh anggota keluarga. Sehingga terpanggil untuk memahami dan melaksanakan literasi di dalam lingkungan rumah.

Salah satu bukti kepopuleran istilah literasi, ketika penulis menuliskan kata literasi, pada kotak pencarian di internet. Hasil pencarian kata literasi di kotak pencarian di internet ada 120.000 halaman Web (11/5/2017, 6:04). Beragam pemaparan tentang literasi muncul, mulai dari pengertian literasi sampai dengan cara melaksanakan kegiatan literasi. Berbagai tempat pelaksanaan kegiatan literasi tergambarkan mulai dari kegiatan di sekolah, di semua lapisan masyarakat secara berkelompok, maupun secara individual. Berbagai kalangan usia menjadi pegiat literasi mulai dari anak-anak sampai orang dewasa bahkan usia lanjut. Berbagai wilayah di Indonesia sudah tergugah menjadi penggiat literasi, diantaranya di Jawa Barat ada WJLRC (West Java Leader's Reading Challenge) dan di Bali ada LIA (Literasi Anak Indonesia) juga di Surabaya. Dr (H.C.) Ir. Tri Rismaharini, M.T Wali Kota Surabaya yang menjabat sejak 28 September 2010 bahkan membuat kebijakan mendasar sebagai Kota Literasi, sehingga kegiatan Literasi di Surabaya sangat pesat.

Pertanyaannya adalah apakah istilah literasi memang benar-benar sudah sangat memasyarakat?

Jangan-jangan kepopuleran literasi hanya ibarat buih di lautan, nampak jelas di permukaan tetapi tidak merata sampai ke dasar. Beberapa kejadian kecil pernah penulis alami, berikut kronologisnya.

Sedikit obrolan, saya buka disela sela kegiatan UNBK tahun ini, ketika itu saya sedang mencoretkan pena di atas kertas untuk menyusun ulang pokok fikiran penyusunan buku.

Melihat apa yang saya lakukan teman saya melihat tulisan di kertas. Melihat gelagat keingin tahuannya, lantas saya bertanya, “Ibu pernah mendengar kata Literasi?”.

“Iya baru tahu ketika di sekolah kita ada kegiatan harus membaca 15 menit setelah istirahat, itu saja.” Ujarnya.

Pada kesempatan lain, di ruang multimedia ketika saya harus menginput data nilai kelas IX, beberapa guru lain sedang sibuk pemberkasan untuk kenaikan pangkat. Saya mencoba bercerita tentang kegiatan literasi berdasarkan buku Gempa Literasi karya Gol A Gong dan Agus M. Irkham terdiri dari 99 esei, terbitan tahun 2012 yang baru saya baca. Ternyata umumnya guru-guru di sekolah saya belum tahu banyak tentang literasi, menurut pengakuan mereka baru mengetahui istilah literasi sejak ada kegiatan membaca 15 menit setelah istirahat yang mulai dilaksanakan satu tahun lalu.

Bahkan ada seorang teman guru, begitu mengetahui saya menulis buku setelah kegiatan Pelatihan GLN tanggal 3 April sampai dengan 7 April 2017 di Solo , menyatakan bahwa literasi itu harusnya untuk guru bahasa Indonesia. Semula kejadian itu cukup sampai di situ, ternyata ketika saya sedang mengawas Penilaian Akhir Semester, kembali teman saya mengatakan bahwa harusnya yang mengikuti kegiatan GLN tersebut adalah guru bahasa Indonesia. Nada suara yang mengarah kepada tuduhan sepertinya saya sedang merampas hak orang, membuat dahi saya sedikit berkeryit. Muncul pertanyaan dalam hati, apakah salah saya menulis buku, karena bukan guru bahasa Indonesia? Apakah menulis buku hanya hak guru bahasa Indonesia?

Pada 10 sampai 15 April 2017 saya mengikuti suatu kegiatan dan bertemu dengan perwakilan guru dari 40 sekolah di Jawa Barat. Pada kesempatan itu beberapa peserta disuruh untuk memaparkan kegiatan literasi yang sudah dilakukan di sekolah masing-masing 80% baru melaksanakan literasi dasar dengan kegiatan membaca senyap 15 menit, di kelas ada pohon geulis untuk menempelkan judul buku yang sudah pernah di baca dan ada pojok baca di lingkungan sekolah. Sedangkan 2 % sudah sampai pada tahapan melakukan resensi buku.

Dalam sebuah kegiatan Implementasi Kurikulum 2013, tanggal 22 sampai 27 Mei 2017 di Kota Cimahi, yang dilaksanakan untuk 11 sekolah yang belum melaksanakan kurikulum 2013 pada tahun 2017, saya mencoba melakukan diskusi. Peserta saya beri kesempatan maju ke depan untuk memaparkan kegiatan literasi di sekolahnya. Belum semua melaksanakan kegiatan literasi, bahkan ada satu sekolah kegiatan membacanya dilakukan seminggu sekali.

Kegiatan membaca senyap sebenarnya sudah lebih dahulu dilaksanakan di beberapa sekolah lain di Cimahi, ini saya ketahui ketika berkumpul dalam kegiatan kolektif guru. Mereka melaksanakannya sebagai pembiasaan, di awal pembelajaran yang dilaksanakan satu minggu satu kali. Membaca senyap tersebut umumnya dilaksanakan oleh sekolah yang termasuk sekolah binaanUSAID (United States Agency for International Development) sebuah Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika.

Berdasarkan obrolan ringan tersebut secara sederhana saya dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya literasi baru difahami oleh sebagian kecil guru. Gong yang terdengar agak kencang menyuarakan tentang literasi khususnya di sekolah saya adalah ketika ada undangan dari WJLRC (West Java Leader's Reading Challenge) yang pada tanggal 1 September 2016 mulai melakukan gerakan literasi berupa tantangan membaca khususnya di Jawa Barat.

Setelah perwakilan sekolah saya memaparkan tentang hasil mengikuti kegiatan tersebut istilah literasi sekolah mulai dikenal. Tindak lanjut dari gerakan literasi sekolah, dibuat sudut baca, pohon geulis dan pembiasaan membaca 15 menit setelah usai istirahat. Namun baru beberapa bulan berlangsung itupun seperti hidup tidak mati pun segan. Pohon geulis tempat menempel judul buku yang sudah pernah di baca sudah tidak nampak lagi tempelan kertasnya. Siswa yang membaca semakin berkurang karena buku yang tersedia sangat sedikit dan tidak menarik untuk dibaca. Rak buku di dalam kelas hanya berisi onggokan kertas tak bermakna. Guru pun mulai kehilangan semangat untuk menemani siswa membaca. Karena siswa tidak membawa bukunya dan tidak tersedia pula buku yang menarik untuk di baca di sekolah.(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Nenarik sekali tulisannya. Ditunggu lanjutannya

06 Jun
Balas

Terimakasih banyak bu CCWI cantik/bu Ari, sudah menyemangati saya....

07 Jun

Semangat literasi...dotunggu sambungannya

07 Jun
Balas

Luar biasa. Masih menunggu lanjutannya.

07 Jun
Balas

Terimakasih, mendorong saya semangat belajar menulis.

07 Jun

mantappp...lanjuuttt...

07 Jun
Balas

Haturnuhun neng...semangat...

07 Jun



search

New Post