Eka Erawati

Guru SMPN 55 Surabaya ...

Selengkapnya
Navigasi Web
BIJAKSANA MENYAMBUT KEBIJAKAN ZONASI

BIJAKSANA MENYAMBUT KEBIJAKAN ZONASI

BIJAKSANA MENYAMBUT KEBIJAKAN ZONASI

(kontroversi terhadap penerapan permendikbud No 51 tahun 2018)

Oleh Eka Erawati

Guru Bimbingan dan Konseling SMPN 55 Kota Surabaya

Ada fenomena menarik saat saya mendengarkan diskusi dalam suatu sesi bimbingan kelompok bersama sejumlah siswa dengan tema “memilih sekolah lanjutan” di era kebijakan zonasi. Ada adu argumentasi antara siswa yang pro zonasi dan kontra zonasi. Yang Kontra zonasi umumnya keberatan karena merasa dirugikan. Mereka sudah bekerja keras untuk mencapai impian bisa masuk ke sekolah favorit yang diidam-idamkannya. Mulai dari belajar sendiri, mengikuti bimbingan belajar di sekolah hingga lanjut bimbingan belajar dengan lembaga di luar sekolah. Bahkan diantara mereka rela mengeluarkan biaya mahal demi mengikuti kelas khusus yang bisa memberi jaminan masuk ke sekolah-sekolah favorit. Harapannya dengan diterima di sekolah favorit, kelak akan mempermudah jalan menuju perguruan tinggi negeri unggulan, misalnya melalui jalur SNMPTN . Kampus unggulan dipersepsikan dengan jaminan kemudahan mencari peluang kerja dan meniti karir.

Berbeda halnya dengan siswa yang pro dengan kebijakan zonasi. Bagi mereka dengan kebijakan zonasi lebih memudahkan mencari sekolah yang lokasinya dekat rumah. Pintar dan tidak pintar tergantung anaknya. Kalau mau belajar, sekolah dimanapun sama. Jangan tergantung pada gurunya saja. Jika anaknya pintar atau berprestasi maka sudah menjadi tugasnya untuk ikut memajukan sekolah. Dan alternatif sekolah lanjutan tidak hanya SMA, bisa juga SMK yang masih pakai nilai UN dan berdasarkan jurusan yang diminati.

Rupanya kontroversi itu tidak hanya terjadi pada siswa namun para orangtua. Orangtua yang kontra dengan kebijakan zonasi, merasa dirugikan. Mereka sudah berupaya mendampingi dan membekali putra-putrinya dengan beragam strategi untuk bisa masuk sekolah favorit . Sebagian berusaha melakukan audiensi dengan para pengambil kebijakan baik di tingkat legislatif ataupun eksekutif. Mereka meminta agar Peremendibud No 51 tahun 2018 ditinjau ulang. Mereka menginginkan masuk ke sekolah lanjutan dengan sistem perangkingan nilai UN baik dari jenjang SD ke SMP atau SMP ke SMA. Namun tak sedikit pula orangtua yang setuju dengan sistem zonasi. Mereka merasa diuntungkan karena punya peluang besar bisa menyekolahkan anaknya dekat dengan rumah. Selain mudah pengawasannya juga lebih hemat di operasional transportasi dan akomodasi sehari-hari.

Pro-Kontra kebijakan zonasi adalah hal yang wajar ketika dampak positif dari kebijakan tersebut belum terlihat. Namun ada baiknya kita bisa memprediksi dampak zonasi ini untuk masa yang akan datang. Melalui zonasi pemerintah bisa menyiapkan langkah-langkah strategis menjawab keresahan masyarakat. Pertama, akan ada kebijakan regrouping , relokasi atau penambahan sekolah baru. Regruping dilakukan untuk sekolah-sekolah yang menumpuk di satu wilayah dan peminatnya tidak terlalu banyak. Relokasi kaitannya dengan sekolah yang sulit dijangkau peserta didik untuk dipindahkan ke lokasi yang mudah dijangkau. Adapun Penambahan sekolah baru adalah untuk wilayah-wilayah yang belum memiliki sekolah sementara calon peserta didik dari wilayah tersebut cukup banyak.

Dampak kedua kebijakan zonasi adalah pemarataan kebutuhan guru melalui redistribusi guru. Saat ini ada ketidakseimbangan jumlah guru antara satu sekolah dengan sekolah lain. Ada sekolah yang semua gurunya sudah PNS dan mendapat sertifikasi namun ada pula sekolah yang jumlah PNS nya hanya segelintir saja sementara sisanya adalah para guru bestatus honorer. Dengan pemarataan guru diharapkan akan ada pemerataan kualitas pembelajaran. Di sejumlah kota-kota besar seperti di Surabaya, redistribusi guru sudah berlangsung cukup lama sebelum diterapkan kebijakan zonasi dari pemerintah pusat. Namun di banyak wilayah lain, masih terjadi ketimpangan jumlah guru antar sekolah. Guru-guru yang sudah berada pada zona nyaman di salah satu sekolah enggan dipindahtugaskan. Kita bisa mencontoh beberapa negara maju seperti di Korea. Guru di sana setidaknya setiap lima tahun sekali mengalami rotasi. Karena dirotasi secara periodik, nantinya para guru juga akan siap secara mental untuk ditempatkan di sekolah – sekolah lain dengan beragam varian peserta didik.

Dampak ke tiga dari kebijakan zonasi adalah pemerataan sarana dan prasarana sekolah. Tak dipungkiri pada sekolah-sekolah favorit saat ini sarana dan prasaran sekolah terbilang cukup lengkap. Namun berbeda halnya dengan sekolah-sekolah non favorit, sarana dan prasarananya masih terbatas. Kelengkapan sarana prasarana di sekolah favorit kiranya juga ditopang oleh dukungan para walimurid. Banyak dari mereka berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas dengan jejaring yang luas. Misalnya mereka bisa membantu membangun sarana sekolah dengan bantuan dana CSR perusahaan dimana para walimurid bekerja atau menjadi ownernya. Di sisi lain pada sekolah non favorit akan terjadi sebaliknya. Seringkali berjalan secara equivalen dimana input siswa dengan prestasi akademik menengah ke bawah berbanding lurus dengan keadaan ekonomi keluarga yang berada di garis menengah ke bawah pula. Akan sulit bagi sekolah tersebut untuk melibatkan walimurid dalam menyukseskan pemenuhan sarana prasarana sekolah yang belum disediakan pemerintah. Dengan zonasi harapannya masyarakat sekitar sekolah akan ikut berkontribusi memajukan prestasi sekolah. Dengan prestasi sekolah yang baik, diharapkan akan memberi dampak iklim budaya yang baik pula bagi masyarakat di sekitarnya.

Melalui zonasi pemerintah menginginkan wajah pendidikan Indonesia yang lebih egaliter. Sekolah berkualitas bukan hanya didominasi oleh sekolah yang selama ini berada pada zona tertentu saja, khususnya di pusat-pusat kota. Melalui Zonasi, setiap sekolah punya kesempatan bersaing prestasi secara seimbang. Setiap sekolah akan memiliki sebaran alumni yang seimbang pula. Para alumni ini kelak 20 hingga 30 tahun ke depan adalah para penerima “tahta” bonus demografi dunia. Mereka adalah kalangan anak muda usia produktif yang siap memajukan Indonesia di era Industri 4.0. Sebuah era yang tidak mengharuskan seseorang bekerja sebagai karyawan sebagaimana era Industri 2.0 atau 3.0. Mereka bisa mengembangkan ekonomi berbasis kearifan lokal di masing-masing daerah. Sebuah era mobilitas sosial yang memungkinkan pembangunan ekonomi secara merata. Bukan hal yang mustahil, Jika kebijakan zonasi ini berjalan baik kelak akan menjadi jembatan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Bahasa-bahasa kontra produktif seperti “ kasihan anak saya jadi kelinci percobaan” hendaknya bisa kita rubah dengan bahasa yang bijaksana. Ajak anak-anak untuk melihat dari sisi yang berbeda. Yakinkan mereka bahwa sekolah bukanlah penentu segalanya dalam jenjang karir mereka. Sekolah dimanapun, selama Dia mau belajar dengan baik, memiliki self protektor yang baik dan mendapat dukungan dari keluarga yang baik pula maka tak akan sulit baginya meraih cita-cita sesuai yang diinginkan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantaap bu Eka

17:17
Balas

Senang membacanya, mencerahkan.

07 May
Balas

Paparan yang mantaps tentang sistem zonasi dakam.PPDB. Sukses selalu dan barakallahu fiik

16:13
Balas



search

New Post