Eka rosmawati

Eka Rosmawati, M.Pd lahir dan tinggal di Bandung. Univ., terakhir Unesa. Saat ini mengajar matkul Bhs. Indonesia di SMPN 3 Soreang....

Selengkapnya
Navigasi Web

AJARI ANAK MENERIMA KEKURANGAN DIRI

Mengapa penting mengajari anak untuk mau jujur menerima kekurangan diri? Kalimat ini terlahir didasarkan kepada pengalaman. Beberapa orangtua mendesakkan keinginan mempunyai anak yang sempurna, sukses, pintar, cantik, tampan, rajin, dan banyak hal lain yang menandai sebuah kesempurnaan. Cita-cita memang merupakan sebuah motivasi; merupakan alat pendorong suatu pencapaian; namun apabila cita-cita tidak diimbangi dengan upaya maksimal, walhasil cuma jadi desakan keinginan semata, jadi obsesi yang liar tak terkendali, akhirnya bisa jadi malah merusak.

Ada kasus dalam kehidupan, dimana orangtua menjadikan suatu harapan menjadi bentuk paksaan. Misal, dia menginginkan memiliki anak laki-laki yang kuat. Anak laki-laki yang kelak menjadi penolongnya, menjadi orang yang hadir manakala orangtua tertimpa kesulitan. Hidupnya dibayangkan menjadi tenang, mudah, karena akan ada yang bisa diandalkan. Kemudian khayal dan pengandaian itu berubah menjadi kekecewaan manakala apa yang dibayangkan tidak sesuai dengan apa yang didapatkan. Sang Ibu melahirkan bayi perempuan. Bayi itu, sudah dari kandungan diyakini sebagai laki-laki, maka begitu ia hadir sebagai seorang anak, perasaan maupun anggapan Si Ibu terbawa ke dalam sikap dan prilaku. Mulai dari baju ia memakaikan sesuai dengan angan-angan. Seiring waktu ada begitu banyak hal yang lazumnya menjadi bagian laki-laki, ibu kenakan buat si anak. Anak diberi pakaian sesuai selera Ibu, diberi mainan mobil-mobilan, diajarkan keterampilan kesigapan, dimasukkan ke pelatihan-pelatihan yang mengarah kepada kekuatan. Apakah hal demikian salah seluruhnya? Ya tidak; tapi ada hal yang esensial memengaruhi kepribadian dan mental anak. Tidak percaya? Kenyataan telah menunjukannya.

Anak perempuan yang dihadirkan ke dunia dengan angan laki-laki, maka ia tumbuh menjadi setengah laki-laki dan setengah perempuan. Ia merasa bangga bila dianggap serba bisa, sebaliknya ia akan mudah menjadi kecil hati bila sedikit saja ada yang mengusik kekurangannya. Diam-diam ia melawan kodratnya, merasa minder kalau sering tidak bisa melakukan apa yang diinginkan Ibunya, orangtuanya, dan orang lain. Ia biasa menutup-nutup kekurangan dengan sesuatu yang terlihat sebaliknya. Lahirlah di masyarakat istilah 'tomboy' yaitu istilah untuk perempuan yang berpenampilan ala laki-laki, bersikap condong kelaki-lakian, terdorong oleh jiwa ingin dianggap jagoan. Parahnya lagi, orangtua menganggap hal itu bukan masalah, menganggap biasa, bahkan tak sedikit yang merada bangga. Entah merasa bangga karena apanya; karena beda dari yang umum? Dalam kehidupan sehari-hari orangtua juga membiarkan si anak bergaul akrab dengan teman laki-laki. Efek lanjut, jangan salahkan mereka kalau mereka bisa jadi merasa diri sama dengan laki-laki. Masalahnya, mungkinkah dia tak kan hamil oleh pergaulan yang secara kodrati sebetulnya berlawanan jenis?

Risiko yang lebih besar adalah bila si anak kemudian menjadikan sesama jenis sebagai calon pasangan. Rasa tidak percaya diri yang berkembang menjadi penyakit kejiwaan akhirnya jadi merebak, si anak merasa asing dwngan dirinya sendiri, merasa tidak percaya diri didekati atau mendekati orang yang sekelamin dengan dirinya. Karena ia lebih nyaman dianggap jago, kuat, hebat, maka ia lebih memilih patner perempuan lagi ketimbang laki-laki. Lesbi, LGBT terlahir antara lain dari kasus-kasus seperti ini. Kasus orangtua yang tidak mau menerima kenyataan, terlalu memaksakan kehendak, dan tentunya merupakan ciri orang yang tidak beriman.

Di samping kasus di atas, ada lagi temuan yang diakibatkan oleh kurangnya orangtua menanamkan kerendahan hati; anak selalu dituntut serba bisa, selalu dituntut hebat, kalau tidak memenuhi dikatai dengan omongan yang menyakiti. Apa yang terjadi? Anak tumbuh menjadi manusia yang tidak jujur. Selalu menutup-nutupi kekurangan, akhirnya terbiasa berbohong. Awalnya berbohong dalam satu hal, akhirnya menjadi pembohong dalam banyak hal; karena apa? Karena terbiasa dilatih demikian. Terbiasa didorong untuk tidak mau menerima kenyataan. Pada akhirnya kasihan anak-amak yang demikian, mereka menjadi korban dari ketidakcerdasan orangtua.

Bandung, 7 April 2019

Eka Ros.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post