Eka Setia Ningrum

Kepala SDIT CITRA BANGSA, Kab. Bekasi. Tutor Universitas Terbuka. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pendidik Pertama dan Utama

Pendidik Pertama dan Utama

Minggu-minggu lalu banyak mama yang mengeluhkan stressnya menghadapi anak yang sedang Penilaian Akhir Semester.

Saya jadi introspeksi diri, saya ini terlalu santai atau gimana ya?

Perlu diketahui juga ya, dahulu saya pun pelaku ketegangan belajar di rumah. Tapi, bener deh itu karena keterbatasan ilmu saya sebagai seorang ibu .

So, kalau waktu-waktu mau ulangan besar macam minggu lalu dan minggu ini, nyaris bisa dipastikan ada air mata yang akan berderai. (maafin ibu nduk...)

Dengan banyak bersosialisasi pada para master mama, master pendidikan dan master buku. Mulailah saya menyadari bahwa anak itu bukanlah duplikat orang tua atau alat orang tua untuk mencapai cita-citanya di masa lalu bahkan pelampiasan sistem pendidikan masa lalu yang diterapkan pada dirinya (terlalu kejam ga sih istilah ini?).

Mulailah saya membuka diri melihat coretan anak, mengobrol santai dengan teman-temannya dan membiarkan mereka ngomong sak geleme dewe (dalam artian positif ya). Ternyata betul, mereka bukan saya ataupun suami. Mereka punya alamnya sendiri, cara berpikirnya sendiri dan cita-citanya sendiri yang kadang ga nyampe kalo saya mikirin (tapi tetep saya pikirin).

Dalam proses belajar sepanjang hayat ini pun, saya jadi menyimpulkan bahwa aslinya anak usia SD itu cuma butuh belajar tentang agama, akhlak, kemandirian sesuai usianya dan stimulus untuk cinta belajar di mana dan kapan pun. Lha kalau belajarnya saja sudah pakai otot mau cinta belajar dari mana? yang muncul mungkin malah

belajar = trauma/paksaan/siksaan. (blas ga ada unsur cinta di dalamnya).

Oh ya jangan tersinggung bagi yang sekolahnya jumlah pelajarannya di atas rata-rata ya... boleh aja kok, yang penting jaga kebahagiaan dan kemerdekaan belajar anak. Kalau lihat anak TK yang pulang sekolah masih bersenandung dengan gembira dan besoknya dengan semangat yang lebih baru kembali ke sekolah, kurang lebih seperti itulah tolak ukur kebahagiaan belajar untuk anak.

Lalu yang saya maksud stimulus untuk belajar dengan cinta atau cinta dengan belajar tuh bahwa belajar ga melulu based on paper and pencil. Anak gali-gali tanah juga belajar, anak nyemplungin hp bapak ke dalam gelas juga belajar (hua..ha..ha.. antara tangis dan tawa), anak mbantuin cuci piring juga belajar dan masih ada buanyaak lagi belajar lainnya. Dan metodenya juga ada banyak, ga selalu ngerjain soal. Drilling soal itu hanya salah satu cara efektif menghadapi soal ujian, jadi kalo dia ndak ada PR bukan berarti nggak belajar. Lebih penting kayaknya klo anak punya ciri ini, anak makin kepo dan ingin menggali lebih dalam terhadap apa yang ditemukan di sekitarnya dengan berbagai cara. Jadi ndak peduli ada orang atau tidak, dinilai atau tidak, mereka mencari tahu untuk menambah pengetahuan atau memperbaiki perilaku. Ini kan ya sejatinya belajar....(atau pembelajar sejati)

Beri juga anak-anak kesempatan untuk belajar tanggung jawab seperti mama dulu. Bila mendapat hasil belajar yang baik, ajari mereka untuk bersyukur dan mau berbagi dengan mengajari teman lainnya. Dengan hasil yang kurang memuaskan (menurut versi mamanya), ajak mereka untuk tetap bersyukur, introspeksi diri dan mencari solusi. Soalnya ini hidup mereka, kalau yang nyariin solusi mamanya terus (dengan bimbel, beli bank soal dll) mereka justru sedang kita jerumuskan untuk selalu bergantung pada kita sebagai orang tua.

Nah, hubungannya dengan PAS ini mungkin ada yang ngerasa aneh, katanya belajarnya pelajaran tematik ulangannya kok mata pelajaran ?, lha kapan kagak nyambung, kata orang bekasi sonoan dikit.

Tematik bukan pelajaran ya Ma, tapi cara ngajarin pelajaran biar gampang dipahami anak. Contoh di tema Diriku (dirinya anak nih maksudnya) ada unsur bahasa seperti mengenali anggota tubuh secara lisan, tulisan maupun isyarat. Ada pula unsur matematis seperti mengetahui jumlah anggota tubuh yang dimiliki yang pada akhirnya berguna untuk mengkonkritkan angka di hadapan anak-anak dan banyak lagi pengetahuan lain yang bisa disusupi melalui belajar menggunakan tema diriku atau tema-tema lainnya itu. Terus bagaimana pula caranya sebagai mamah peduli pendidikan anak, supaya anak itu nyambung dari tematik ke mata pelajaran? Sekedar saran saja tetaplah ajari anak dengan konsep tema di rumah, nanti secara alami otak anak yang sudah Allah SWT ciptakan luar biasa dengan milyaran neuron di dalamnya itu yang akan mengelompokkannya. Kayak mamanya kan jago banget tematik, ngembangin satu topik jadi bisa nyambung ke berbagai hal, ngaku ga Ma?

Dan sebagai tambahan aja tema-tema dari pemerintah itu tidak baku, tapi bisa dikembangkan sesuai kondisi dan potensi sekolah. Atau buat orang tua sebagai pendidik pertama dan utama juga boleh buat tema sendiri di rumah, biar belajar jadi seru dan keren! Sebagai ahli tematik mau coba Ma? (he...he..he..)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menjadi orang tua dan pendidik adalah amalan yang mulia.

20 May
Balas



search

New Post