Perjalanan Hidupku
PERJALANAN HIDUPKU
Karya : Eka Susanti, S.Pd.
Ketika aku menerima telegram dari kakakku, seketika itu aku terperanjat.
“Ha ???! Tinggal di Jakarta ?” sekedar membayangkan saja aku tidak mau. Apalagi benar-benar tinggal di kota Metropolitan itu.
“Uh ! pasti sangat tidak menyenangkan”, pikirku. Tiga kali aku berkunjung ke sana dan survei selintasku itu membuahkan kesimpulan bahwa aku tidak akan pernah mau tinggal disana, kutimang telegram ditanganku. Ku baca dan kembali ku baca. Isinya tetap sama. Belum berubah sejak kuterima dari kurir surat dua jam yang lalu.
Dik, cepat ke Jakarta. Ada peluang bagus di perusahaan Astra milik kawan Mas Bekti untuk Sarjana ekonomi sepertimu. Mbak tunggu secepatnya.
Ku hela napas panjang.
Terlintas seraut wajah dewasa dengan sikap diktatornya. Mbak Tuti, kakak sulungku itu pasti kecewa kalau aku bersikeras tinggal di Bandung. Dia tidak akan memberi sedikit ruang pun untuk menentukan pilihanku sendiri. Ku akui apa yang disarankan memang banyak benarnya. Namun terkadang aku tidak suka dengan caranya yang otoriter. Baginya, aku adalah si bungsu yang harus selalu diaturnya. Meski usiaku kini sudah seperempat abad.
“Kamu ini gimana sih? Di perusahaan itu kamu bisa berkembang. Kamu bisa mengupgrade kemampuan ekonomi kamu. Gajinya besar lho.”
“Tapi mbak, aku.......”
“Ndak usah pakai alasan. Mbak Tuti tahu kamu berat ninggalin Semarang. Kamu tuh jadi orang yang realistis. Apa yang kamu dapat di Bandung selama setahun ini? Disini masa depanmu terarah, ijazah ekonomimu tidak sia-sia. Begini saja, kalau kamu tidak mau dibantu, tidak usah hubungi mbak Tuti lagi.”
Tiba-tiba telepon ditutup. Aku tercengang. Batinku memberontak. Mbak Tuti selalu begitu. Mengukur segalanya dengan uang, uang dan uang. Sementara bagiku, kerja bukan sekedar memenuhi kebutuhan akan uang, namun sarana untuk mengaktualisasikan diri. Dan satu lagi yang belum mbak Tuti ketahui, meski dia telah berhasil memaksaku menjadi sarjana ekonomi, namun cita-citaku menjadi penulis besar tak akan berubah.
“Uhhh......! “sungguh pilihan yang sulit. Disatu sisi aku ingin menentukan pilihanku, namun disisi lain aku ingin tak ingin kehilangan kakak tercintaku. Aku seperti dihempas ke dalam lorong panjang nan gelap. Tak tahu hendak kemana mesti melangkah.
“Astagfirullah.....kenapa akhir-akhir ini aku sering melupakan-Nya?”
Telegram itu telah membuat seluruh sarafku menegang. Aku lupa meminta petunjuk-Nya atas pilihan ini. Yah, aku harus segera bersujud. Aku akan istikharoh malam ini juga.
Beberapa hari kemudian, “Bismillah.....”
Dengan tekad bulat dan kekuatan dari istikharohku aku berangkat ke Jakarta hari ini.
Asaaayyakuuna khaira, barangkali inilah yang terbaik, Insya Allah.”
Ku akui, sungguh berat bagiku untuk meninggalkan Semarang.
Aku terlanjur jatuh hati dengan kota tua ini, simpang lima yang begitu ramai apalagi jika suasana malam minggu, lampu berderet di sepanjang jalanan, orang berlalu lalang berwisata kuliner sambil ditemani pengamen jalanan dengan lagu yang sangat khasnya “Tanjung Mas”. Kesejukan dan keindahan di Bandungan, tanaman hias dan sayuran organik tumbuh subur, Maerokoco dengan berbagai jenis bangunan rumah adat nusantara, masjid Baiturahman yang begitu megah dan indah. Masjid tempatku bercinta dan bermesraan dengan pemilik cinta sejati. Masjid yang keteduhan dan kedamaiannya telah menyentuh hatiku menuju terang cahaya hidayah illahi.
Kugigit bibirku kuat-kuat. Rasaku memerih. Kutolak dengan halus keinginan teman-teman untuk mengantar keberangkatanku sampai stasiun Tawang.
Aku paling tak bisa dengan adegan dramatis yang berjudul perpisahan. Bisa-bisa air mataku berleleran memalukan.
Arloji ditangan kiriku menunjukkan angka tujuh lewat tiga puluh malam. Berarti kereta berangkat setengah jam lagi. Kupandangi lalu lalang orang yang berjalan tergesa-gesa di peron stasiun. Tukang koran, penjaja makanan minuman, berjalan mondar-mandir. Suara peluit kereta yang datang dan pergi, bising. Sebuah kesibukan rutin.
Kupilih tempat duduk di ruang tunggu penumpang yang agak sepi. Dan kuperhatikan orang berlalu lalang di depanku sambil kuambil handphoneku dari dalam tas. Sembari kukirim sms untuk mbak Tuti dan membayangkan kenangan terindah disaat bersama teman. Pandanganku mengabur. Air mataku jatuh satu persatu dari sudut mataku. Sesaat kemudian terdengar suara dari pengeras suara.
“Kereta Anggrek dengan tujuan Jakarta akan diberangkatkan tepat pukul delapan, telah disediakan dijalur tiga. Penumpang yang telah memiliki karcis silahkan segera naik.”
Semarang selamat tinggal.
Satu bulan kemudian.
Rasanya sudah setahun saja. Panas, polusi dan macet. Berlari-lari mengejar bus kota, terhimpit dan bergelantungan untuk sampai ke rumah. Para sopir sering mendahului, memaki, menggencet yang akhirnya menciptakan labirin. Kemacetan yang panjang. Suasana di tempat kerjaku begitu sumpek, bising suara-suara mesin dari bengkel dan asap dari knalpot mesin yang membuatku pengap.
Rasanya di tempat kerjaku menjadi sesak apalagi ditambah dengan bau oli yang sangat menyengat. Aku sangat tersiksa. Apa yang lebih buruk dari semua ini? Aku sudah terperangkap di jalan yang telah aku pilih sendiri.
“Ah,.....Semarang.....betapa berbedanya yang kualami kini?”
“Betapa tak kutemukan keramahanmu disini?”
Isya telah lewat sepuluh menit yang lalu. Namun aku masih berdiri di halte bus menunggu bus yang akan membawaku pulang. Tiba-tiba sebuah tangis mengusikku.
Samar-samar namun terdengar jelas ditelingaku. Sesaat aku celingukan. Mataku segera tertumpu pada semak-semak, seratus meter dari tempatku berdiri. Seorang gadis kecil kira-kira berusia sembilan tahun sedang tergugu di depan tubuh yang tergeletak tak berdaya.
Seketika rasa ibaku terbit, kuayunkan langkah menghampiri bocah malang itu. Gadis kecil berpakaian kumal dan berambut panjang acak-acakan itu masih menangis saat aku memeriksa nadi wanita yang ditungguinya. Darah mengalir dari kepala wanita itu.
Sepertinya habis ditabrak.
“Innalillahi wainnailahi raajiuun.....”ternyata wanita itu telah terdiam kaku. Ruhnya telah dijemput malaikat, menghadap Tuhannya.
“Emak jangan pergi, bangun emak! Jangan pergi! Dilla sama siapa kalau emak pergi?” ratap bocah itu memilukan.
“Adik kecil sabar ya.....sabar.....”ujarku menenangkan.
“Seseorang menabrak emak lalu melemparkan emak ke semak ini, kakak. Orangnya berdasi, bermobil mewah. Awas, orang biadab! Kalau udah besar nanti, Dilla akan hajar mereka! Hu........hu..........hu.........”teriaknya, disela tangisnya yang kian mengeras.
Sebuah sembilu menikam ulu hatiku. Pedih. Kurengkuh gadis silik itu dalam pelukanku.
“Jakarta oh, Jakarta.....betapa tak bersahabatnya, engkau.” Bahkan terhadap gadis gelandangan sekecil Dilla sekalipun. Akhirnya Dilla kuajak pulang.
Aku memiliki sahabat baru, Dilla, gadis cilik itu tinggal bersamaku di rumah kost kini. Beberapa pakaian baru dan perhatian yang kuberikan padanya, membuat gadis cilik itu tak terlihat kumal lagi. Tak kusangka, dia gadis cilik yang cantik dan arif. Tidak liar seperti bocah-bocah gelandangan yang lain. Diusianya yang masih teramat muda dia memiliki semangat yang menyala-nyala. Menulari siapa saja yang ada didekatnya. Dan Dilla pun aku sekolahkan di SD yang terdekat dengan tempat tinggal kami.
Suatu ketika dia bertanya,
“Kakak, boleh nggak Dilla bercita-cita jadi orang kaya?”
“Boleh, asalkan setelah jadi orang kaya Dilla ngak boleh sombong, lebih bersyukur dan menggunakan kekayaan itu di jalan Allah.”
“Kalau gitu Dilla mau belajar, berusaha dan berdoa biar harapan Dilla terkabul ya kak? Katanya dengan semangat menyala.
Aku tersenyum sambil mengangguk. Kubelai rambutnya pelan. Terkadang aku malu melihat ketegaran Dilla menghadapi hidup. Dia berhasil mengikis kepedihannya dan menggantikan kepedihan itu dengan harapan. Bahkan berhasil menaklukkan ibu kota dengan tubuh mungilnya. Namun aku? Begitu jauh berbedanya dengan Dilla. Aku tak pernah mampu bersyukur atas karunia yang Allah berikan.
Perusahaan tempatku bekerja kolaps. Sesuatu yang tak terduga. Aku dirumahkan meski masih mendapatkan gaji setiap bulannya. Akhirnya aku terbebas dari hidup sebagai pegawai yang terkekang disana.
Tiba-tiba tersirat rencana di otakku. Aku ingin kembali ke Semarang. Kembali pada duniaku sebagai penulis. Berkelana mencari berita.
“Uh, betapa rindunya aku akan semua itu. Aku akan kembali. Dalam pelukan damai kota tercinta.”
“Kakak akan meninggalkan Dilla? Kakak jahat! Ternyata aku terlanjur sayang kepadanya. Kami pun akhirnya saling menangis dan berpelukan.
Aktivitasku semenjak dirumahkan hanya menulis dan menulis sambil menunggu Dilla pulang sekolah. Aku masih teringat ketika kutemukan dahulu, sungguh menyedihkan ditinggal orang tuanya. Rasa sayang dan kasihan begitu melekat dalam pikiranku dan hasrat untuk pulang ke kota tua Semarang semakin menggebu, akhirnya ku utarakan niatku untuk menitipkan Dilla di panti asuhan saja. Esoknya Dilla kuajak pergi ke suatu tempat tanpa kukatakan kemana kami pergi.
Setiba disana aku berbicara empat mata dengan si pemilik panti asuhan tersebut, dan akhirnya kami sepakat untuk meninggalkan Dilla disana. Dilla kehidupanmu masih panjang dan kakak ingin menitipkan kamu dan suatu saat nanti jika kakak ada waktu dan kebetulan ke kota ini lagi pasti kakak mampir, bagaimana Dilla setuju?”
Dilla sudah menduga dari awal kalau ia pasti akan dititipkan di panti asuhan ini, meskipun belum begitu tahu tapi dalam benaknya ia sudah berpikir begitu, apalagi ditambah oleh keterangan salah seorang pengurus panti yang waktu itu mengatakan kepada dia.
“Apa? Kakak begitu tega ingin meninggalkan Dilla ditempat seperti ini?” kakah jahat, Dilla ngak mau tinggal disini lebih baik Dilla ikut pulang sama kakak meskipun hidup tidak punya apa-apa. Dilla ngak mau kak!”
Dilla menangis sambil terisak-isak nyaris suaranya serak, aku tidak tega melihatnya dan hasratku untuk meninggalkannya pudar sudah. Lalu Dilla kuajak pulang dan setiba di rumah kontrakan kami lelah dan tidur dengan pulasnya. Esok harinya, pagi-pagi sekali kami bangun dan berkemas untuk meninggalkan kota yang ramai ini.
Ku perhatikan Dilla sedang menyiapkan baju dan barang-barangnya, aku pun ikut mengemas pakaianku. Setelah kira-kira semuanya sudah tidak ada yang tertinggal kami menuju ke stasiun Gambir, ternyata di stasiun itu banyak sekali calon penumpang yang sedang antre tiket loket stasiun, suasana begitu riuh dan sumpek.
“Dilla kau duduk disini aja sambil jaga barang-barang, jangan kemana-mana ya?” kakak pergi menuju loket. Jam satu siang kami pun akhirnya bisa naik di gerbong kereta, setelah hampir tiga jam kami menunggu dan antre di loket. Kami mencari tempat duduk di pojok dan Dilla duduk disampingku sambil memandang keluar jendela, tak henti-hentinya dia bertanya sesuatu kepadaku apa yang dilihatnya, sampai-sampai aku ngantuk dan tertidur dengan pulasnya, tapi Dilla malah asyik menyaksikan pemandangan alam dari jendela.
Kereta melaju dengan kencangnya tepat pukul enam sore, kereta tiba di stasiun Tawang, dengan gembiranya kami menuju ke rumah, meninggalkan semua kenangan yang trindah di kota metropolitan itu dan membuka lembaran baru tinggal di kota tua Semarang, apalagi aku kangen dengan makanan khas kota tersebut, kami langsung pergi ke tempat jajanan di jalan Pandanaran untuk membeli bandeng presto dan wingko babat yang begitu khas rasanya, kebetulan rumah tinggalku disana dekat dengan jalan itu dan akhirnya kami menuju rumah dengan tentengan barang bawaan dan makanan apalagi perut ini sudah berbunyi bertanda ingin cepat makan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar