Eko Adri Wahyudiono

Saya hanyalah seorang guru biasa. Jika bukan pengajar pastilah pendidik dalam tugasnya. Bisa jadi adalah keduanya. Namun, jika bukan keduanyapun, saya pastilah ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bintang Senja
Dokpri image

Bintang Senja

Refleksi yang terpantul pada genangan air itu buyar tatkala ia menginjaknya. Dengan memasang ekspresi ceria, Cetta berjalan dengan menggenggam payung hitam yang biasa dipakai untuk berkabung.

Ia menghampiri sebuah tanaman bunga anyelir lalu memotretnya dengan ponsel. Butuh beberapa menit baginya untuk mengambil semua gambar bunga yang ada di taman belakang rumahnya.

"Hm… kurasa aku butuh objek lain untuk dijadikan referensi lukisan." Gumam Cetta dengan bingung. Gadis itu melangkahkan kakinya keluar rumah, berjalan tanpa tujuan yang pasti. Sesekali ia tersenyum ramah sembari menyapa orang-orang yang dikenalnya.

Cetta mengedarkan pandangannya, melihat jalan yang lengang dan sepi. Suara rintik-rintik hujan mendominasi pendengarannya. Meskipun langit di atas kepalanya berwarna abu-abu dan tampak mendung, langit di seberangnya terlihat merah cerah dengan gradasi ungu tua. Pemandangan matahari yang mulai terbenam terhalang oleh gedung-gedung kota. Secara kebetulan, sesosok pria dengan jaket serta celana serba hitam muncul.

Melihat kesempatan ada di depan matanya, Cetta menjepit gagang payung di pundaknya. Ia merogoh ponsel dan memotret pemandangan tersebut dengan posisi horizontal. Gerakan secepat kilat itu tetap menghasilkan potret yang sempurna. Sorak gembira memenuhi isi kepalanya.

"Malam Berbintang yang dilukis oleh Vincent van Gogh, dan aku yang akan melukis Bintang Senja."

Euphoria yang ia rasakan meluap ke dada lalu membuat gadis itu merasa sesak. Ia mengerjap saat pandangannya mulai terasa linglung dan kabur sesaat sebelum kembali normal. Menoleh kanan dan kiri, gadis itu menggunam pelan, "Uhm… dimana rumahku?"

Aku tidak ingat sejak kapan aku mengidap gangguan yang aneh seperti ini. Dengan kondisi ingatan yang buruk, aku hanya bisa menjalani kehidupan dengan mengandalkan catatan dan ponsel untuk mengetahui identitas dan kebiasaan-kebiasaan diriku sebelumnya. Walaupun aku tidak yakin semua catatan-catatan itu dibuat olehku juga, tapi aku hanya perlu mematuhinya.

Mungkin sekitar November tahun lalu, seseorang mengaku sebagai temanku melalui roomchat. Aku sendiri menamakan kontaknya dengan nama "Aila". Gadis itu mengajakku ke toko buku dan berjalan-jalan agar tidak terus-menerus mendekam di dalam rumah yang bahkan tidak ada satupun orang. "Rumah Mati", katanya.

Saat itu aku melihat lukisan imitasi dari "Starry Night" karya Vincent van Gogh yang dipasang sebagai hiasan sebuah toko. Itu adalah lukisan yang mengagumkan. Aku menyukai pemandangan yang dilukis oleh seniman ternama tersebut.

"Aku ingin melihat lukisan asli Starry Night." Celetukku dengan spontan. Tetapi, wajah ragu-ragu Aila sepertinya sudah menjawab keinginanku.

Gadis itu menjawab dengan sedikit kikuk, "Y-ya kau tahu itu agak… sulit, 'kan? Orang tuamu pasti tidak mengizinkannya." Jawabnya. Ia mengetuk-ngetuk meja pelan dengan kening yang berkerut. Wajahnya lucu ketika dirinya sedang berpikir serius begitu. "Tapi… aku akan coba memberitahu mereka."

Meskipun kalimat yang terakhir sekedar untuk menghiburku, aku ingin berterima kasih atas usahanya yang sia-sia. Orang tuaku tidak pernah mengunjungiku.

Ah, atau aku yang tidak mengingatnya?

Sebenarnya, sekalipun aku sangat ingin melihat lukisan itu saat ini, pada akhirnya aku bisa saja melupakan hal tersebut. Saat perasaanku bahagia, semua kenangan pada akhirnya akan menghilang dan berakhir seperti tidak pernah terjadi apapun.

Waktu berjalan, setelah 2 bulan berlalu dan saat dimana seharusnya aku kehilangan ingatanku lagi, ingatan tentang lukisan itu masih ada. Karena itu, mungkin ini adalah sebuah keajaiban. Untuk pertama kalinya aku merasa "hidup".

Mulai hari itu, aku membeli perlengkapan melukis. Alih-alih menjadikan kegiatan melukis sebagai hobi, aku menjadikannya sebagai alasan hidup layaknya Vincent van Gogh yang terus melukis di rumah sakit seraya berjuang untuk mendapatkan kesembuhan.

"Sudah sampai." Cetta menghela napasnya lega saat melihat bangunan rumah modern dengan cat hijau mint yang ada di hadapannya sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam kertas memo di sakunya. Sesekali ia menoleh untuk memastikan bangunan itu benar-benar rumahnya dan masuk setelah merasa yakin.

Gadis itu memasuki kamarnya. Ruangan dengan ukuran persegi itu dipenuhi kanvas yang bergeletakan. Lukisan-lukisan dengan aliran impresionisme dan naturalisme yang dilukisnya turut memenuhi ruangan. Bau thinner, cat, dan amis menyeruak hingga menusuk indra penciuman.

Seulas senyum tersungging diwajah bulatnya. Ia mengambil posisi dan bersiap melukis karya barunya dengan potret tadi sebagai objek lukisannya.

Dengan kasar, Cetta menggoreskan seblah pisau pada tangan kiri, menadah darah dalam sebuah mangkok. Bintang Senja yang ia lukis dengan darah, sebuah karya terakhir yang akan menenangkannya dalam kegelapan.

Bahkan Vincent van Gogh juga mengakhiri hidupnya untuk kesembuhan.

(NPR-GSP EA 10 MGT 81123)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menakjubkan dan penuh ilusi... . Siip, Bapak. Salam sukses.

08 Nov
Balas



search

New Post