Judul di atas merupakan penggambaran sejati dari perasaan galauku yang kembali tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Hingga wajahku memerah, degup jantungku tak beraturan, dan nafasku tersengal-sengal berebut memasukkan udara yang kurasa justru kian menyesakkan dada. Sejujurnya saja, aku sudah tidak bisa menahan lebih lama amarah ini. Meski seperti biasanya, ketika diriku merasakan tanda-tanda akan munculnya amarah dalam jiwa, aku memilih menghindarinya, dengan cara keluar rumah, sekedar jalan-jalan, atau berlama-lama menatap pepohonan hijau yang banyak tumbuh di sekitarku. Tiga aktivitas itu sebenarnya selama ini cukup ampuh meredam tanda-tanda munculnya amarahku. Namun entah kenapa, hari ini, ketika kusadari bahwa amarahku akan meledak. Aku mengambil jaket dan sepeda motor untuk keluar rumah, serta sudah menempuh jalanan berkilo-kilo meter. Aku tetap saja tidak mampu meredam gejolak hatiku, untuk menumpahkan kemarahan.

Aku memang benar-benar marah.

Sebab kali ini, aku tak mampu memaafkan kesalahannya dengan cepat. Aku tidak suka, bila perkataanku hanya dianggap angin lalu. Sepele memang.

Maka, ketika kutanyakan pada diriku sendiri: Apa sih maunya laki-laki?

Apa harus dihormati dengan total tanpa reserve?

Disanjung setinggi langit?

Dihargai dengan tiada berbatas?

Atau apa?

Hari ini, saya bisa menemukan jawabannya dengan sempurna, di antaranya lenguhan kemarahan yang masih mendesak-desak jiwa.

Laki-laki sebenarnya mempunyai keinginan sederhana, perlakukan dia apa adanya, dan jangan pernah megungkapkan keinginan supaya dia menjadi seperti orang lain. Perhatikan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya, meski perhatian tersebut sekedar basa-basi untuk membahagiakan hatinya.

Hanya itu!