Eko Pramono

Ayah dari 3 anak ini bernama Eko Pramono, adalah seorang Kepala Sekolah SD di Gunungkidul. Lebih suka dipanggil pelayan masyarakat atau pelayan anak-anak keti...

Selengkapnya
Navigasi Web
Klithih

Klithih

Kata klithih akhir-akhir ini kembali sangat familiar, khususnya di masyarakat Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh peristiwa kriminal yang dilakukan pelajar klithih yang mengakibatkan Adnan Wirawan (16 tahun) tewas. Adnan tercatat sebagai pelajar kelas X SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (Muhi), dikeroyok oleh segerombolan pelajar bersenjata tajam pada hari Senin 12 Desember 2016 di Selopamioro, Imogiri, Bantul, sepulang dari Gunungkidul. Tusukan senjata tajam yang mengenai perut dan tembus sampai ginjalnya mengakibatkan pendarahan parah. Setelah mendapatkan perawatan di Jogja International Hospital (JIH) dan dipindah ke RS Panti Rapih, Adnan menghembuskan nafas terakhirnya pada Selasa malam, 13 Desember 2016 sekitar pukul 19.30.

Berkat kerja keras dan kerja cepat aparat kepolisian, para pelaku pengeroyokan dapat diringkus. Para pelaku yang berjumlah 10 pelajar, telah diganjar hukuman oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bantul pada sidang putusan, Jumat, 13 Januari 2017. Dua terdakwa divonis 5 tahun penjara, seorang pelaku 4 tahun penjara, sedangkan 7 pelaku lainnya diganjar vonis 3 tahun penjara. Semua terpidana juga diharuskan menjalani pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA).

Selain peristiwa pengeroyokan di Imogiri, peristiwa aksi kekerasan yang dilakukan oleh pelajar juga terjadi di beberapa tempat di Jogjakarta. Boleh dikatakan saat itu, Jogja dalam kondisi darurat klithih.

Klithih dalam terminologi bahasa Jawa bermakna jalan pelan-pelan, santai. Hilir-mudik ke sana ke mari dengan tujuan yang tidak jelas. Klithih biasanya dilakukan secara bergerombol pada senja sampai malam hari.

Saat masa kecil saya dulu di era tahun 1983-an, klithih dilakukan saat hari libur, menjelang atau saat bulan purnama. Saat malam terang benderang dengan sinar bulan (maklum saat itu belum ada listrik). Klithih menjadi waktu yang istimewa bagi kami, karena pada bulan purnama itulah para orang tua seakan-akan “membebaskan” para anaknya untuk keluar malam. Berkumpul dan bermain bersama teman-temannya. Kami berkumpul dan berjalan kaki berkeliling kampung, ngobrol ngalor-ngidul diselingi canda tawa, atau saling mengejek (dalam bahasa jawa dikenal istilah garap-garapan, saling mengejek dengan maksud bercanda bukan menyakiti hati). Peserta klithih tidak tentu, kadang 5-10 anak, bahkan kadangkala bisa mencapai 15-20 anak. Bisa dibayangkan betapa ramainya, 20 anak lelaki perempuan berkumpul bersama, berjalan berkeliling kampung, sambil tertawa dan bercanda. Seakan-akan dunia hanya milik kami, milik para anak-anak.

Namun anehnya para penduduk tidak merasa terganggu apalagi terancam. Karena kami tidak membawa senjata, membuat keributan, atau hal-hal brutal lainnya. Bahkan kadangkala kehadiran kami ditunggu-tunggu oleh para orang dewasa. Karena kehadiran kami membuat desa yang biasanya sunyi-sepi menjadi ramai dan hidup oleh teriakan dan tawa polos anak-anak. Lagi pula kami melakukan klithih hanya sebulan sekali, menjelang atau saat bulan purnama dan yang pasti kami tidak menimbulkan keributan apalagi sampai membuat orang lain tewas sia-sia.

Itulah bedanya klithih jaman dulu dan sekarang!

Catatan: Foto ilustrasi diambil dari edupost.id

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post