Eko Prasetyo

Eko Prasetyo, pemimpin redaksi MediaGuru dan penjaga gawang Majalah Literasi Indonesia. Dia menyelesaikan pendidikan S-1 Sastra Indonesia Unesa dan S-2 Ilm...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dua Guru Saya

Antara gembira dan sedih, rasanya jadi satu. Gembira karena suasana Idulfitri 1443 H dan berharap bisa bertemu dengan bulan suci Ramadan kembali tahun depan. Sedih karena ditinggal pergi selama-lamanya oleh dua guru saya, Bu Sirikit Syah dan Prof. Sam Abede Pareno.

Saya berlatar belakang ilmu sastra, tapi menekuni bahasa Indonesia dan bekerja di bidang jurnalistik. Saat Bu Sirikit menjadi ketua Klub Guru Jatim (sekarang IGI) pada 2007, saya masih bekerja di Jawa Pos. Kami akrab karena sama-sama alumni IKIP Surabaya (Unesa). Beliau dari bahasa Inggris, sedangkan saya dari sastra Indonesia.

Lantaran kesamaan bidang pekerjaan (Bu Sirikit merupakan mantan wartawan senior Surabaya Post dan The Jakarta Post serta pernah membesarkan SCTV di Surabaya), Bu Sirikit menyarankan saya sekolah lagi. Ambil ilmu komunikasi.

Saran itu tak lepas dari pengalaman Bu Sirikit yang pernah menimba ilmu komunikasi di Amerika. Ia kemudian mendirikan Media Watch pada 1999. Kepakarannya di bidang jurnalistik dan komunikasi memang tidak diragukan. Terbukti kemudian ia dipercaya sebagai pimpinan di Stikosa (dulu namanya Akademi Wartawan Surabaya/AWS).

Saran itu diberikannya saat mendirikan Sirikit School of Writing di Surabaya pada 2012 dan meminta saya mengajar di sana. Tapi, saya baru mewujudkannya pada 2014, mendaftar di S-2 Ilmu Komunikasi Unitomo yang ternyata "rumah" bagi para jurnalis di Jatim yang melanjutkan pendidikan pascasarjana.

Ndilalah saya bertemu Prof. Sam Abede Pareno, yang dulunya mantan wartawan Suara Indonesia dan Jawa Pos. Pada 1970-an, Pak Sam merupakan legenda yang aktif di kegiatan seni budaya di Surabaya. Beliau mengajar filsafat komunikasi, tapi masih sering diskusi tentang topik lain di bidang kepenulisan bersama saya.

Saya bukan sekadar kenal dengan kedua legenda tersebut, tapi sangat dekat. Seperti orang tua dan anak.

Dari keduanya, saya justru belajar arti rendah hati. Bu Sirikit Syah punya nama besar dan jaringan luas di bidang media. Teman-temannya adalah tokoh-tokoh penting pers nasional dan tokoh pendidikan. Sementara Prof. Sam Abede Pareno merupakan guru besar ilmu komunikasi dengan pengalaman jurnalistik yang sangat panjang. Namun, keduanya sama-sama "menjejak bumi". Dekat dengan siapa pun. Yang saya ingat, Prof. Sam pernah bilang bahwa seorang pembelajar akan seterusnya pembelajar. Maksudnya, manusia ya memang harus terus belajar. Long life education.

Bu Sirikit pun demikian. " Anda harus belajar dan terus belajar lalu sebarkan hasilnya kepada orang lainnya," pesannya suatu ketika. Ia sebenarnya bicara hakikat bahwa sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat bagi sesamanya.

Bu Sirikit menderita kanker payudara sejak lama dan perjuangannya melawan kanker pun dimulai. Hebatnya, beliau masih bersemangat sekolah lagi atas saran Prof. Muchlas Samani (mantan rektor Unesa yang juga sahabat Bu Sirikit). Ambil S-3 bahasa Inggris di Unesa. Ia gagal ke Australia pada 2014 karena sakitnya tersebut dan tidak mendapat izin dari dokter.

Dalam sebuah kesempatan, saya sowan ke rumahnya di kawasan Rungkut, Surabaya. Saya diberi koleksi kasetnya sebanyak tiga laci alias satu dus. Diberi buku karyanya. Plus nasihat-nasihat. Wajahnya tampak menyimpan derita sakit, namun senyumnya masih mengembang.

Saat itu ia mengatakan ingin menulis pengalamannya sebagai survivor kanker payudara. Juga menyelesaikan S-3-nya meski tertatih-tatih karena harus membagi waktu untuk kemoterapi dan kegiatannya mengajar serta menjadi pembicara. Janji ini ditepatinya, lulus sebagai doktor bahasa Inggris di Unesa.

Sementara Prof. Sam pernah memberikan nasihat khusus kepada saya. Masih terkait studi. "Anda mungkin tidak membutuhkan gelar akademik, tapi Anda harus terus belajar," ujarnya.

Bu Sirikit dan Prof. Sam Abede kemudian memberikan rekomendasi untuk saya agar bisa melanjutkan pendidikan doktor. Keduanya pula yang sering memotivasi saya untuk turut ambil peran dalam memasyarakatkan literasi. Terutama di lingkup dunia pendidikan. Keduanya menyudahi hidup dengan sesuatu yang amat mereka cintai, yaitu menulis buku.

Saya tidak hanya banyak membaca karya-karya seorang Sirikit Syah, tapi pernah langsung mengedit tulisan-tulisannya sebelum dipublikasikan di opini Jawa Pos. Terlihat betul bahwa dia memang sosok yang sangat peduli dengan kondisi sosial di republik ini. Ia seorang idealis sejati.

Dalam hari-hari terakhirnya, Bu Sirikit mengabarkan bahwa sel kanker telah menjalar ke beberapa bagian tubuhnya. Ia merasakan sakit yang dahsyat. Hingga 28 April 2022, masih dalam suasana Ramadan 1443 H, ia mengembuskan napas terakhir setelah bertahun-tahun berjuang melawan kanker. Beberapa hari kemudian, Prof. Sam Abede menyusul karena sakit.

Saya kehilangan dua guru terbaik, orang-orang berilmu yang sangat rendah hati. Sosok yang sangat berkomitmen sebagai insan pembelajar. Tapi, mereka juga memperlihatkan bahwa jasad boleh tiada, tapi orang lain akan tetap mengenang karya-karyanya.

Selamat jalan, Bu Sirikit Syah.

Selamat jalan, Prof. Sam Abede Pareno.

Kita dari tanah dan pasti kembali ke tanah.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'uun.

Castralokananta, 6 Mei 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

turut berduka semoga husnul khotimah

11 May
Balas

turut berduka semoga husnul khotimah

11 May
Balas

Semoga beliau berdua husnul khotimah... Al fatiha....

11 May
Balas



search

New Post