Malam itu kami berempat menuju Melayu Square, pusat kuliner yang relatif masih baru di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Tujuannya bukan untuk makan siang, melainkan makan malam.

Di sini mudah dijumpai kedai atau tempat makan yang rata-rata menyediakan menu seafood. Kami memilih kedai Pak Kumis. Pak CEO memilih menu ikan, udang, dan ketam. Udangnya bukan main, besar-besar laksana betis emak-emak yang rajin gowes dari Surabaya ke Jakarta.

Yang saya ingat, Pak CEO harus taat perintah dokter yang tidak bisa dilanggar. Apa itu? Ia tidak boleh makan yang tidak enak. Lha ini yang jadi problem. Sebab, saya harus terkena imbasnya karena sering menemaninya saat luar kota.

Sebelum mengganyang menu tersebut, terjadilah drama itu. Saya lupa bahwa di tanah Melayu seperti Tanjungpinang ini, sering disediakan ceret di rumah makan. Saya kira ceret itu isinya air tajin. Karena sangat haus, saya hendak meminumnya.

Namun, pelayan warung malah teriak-teriak. Ia tergopoh-gopoh untuk mencegah saya. Ia menjelaskan bahwa ceret itu bukan berisi air tajin, melainkan air raksa.

”Ini untuk kobokan, Pak. Hadeeeeh,” ujarnya.

Kalau teringat insiden ini, hati ini sungguh miris. Saya nggak sanggup meneruskan cerita yang mengada-ada ini. Anda bisa menontonnya di channel YouTube saya di @EkoPrasetyoMG.

Tanjungpinang, 19 Januari 2023