Eko Sutanto

Lahir di Banjarnegara, menjadi guru sejak maret 1997, sampai saat ini masih belajar menulis dan mengeja huruf demi huruf serta angka demi angka....

Selengkapnya
Navigasi Web
Memburu Maling (Bagian Ketiga)

Memburu Maling (Bagian Ketiga)

Perburuan yang gagal semalam menjadi buah bibir, hampir semua warga Dusun Karangsawah memperbincangkan kejadian yang dialami oleh Pak Joko dan teman – temannya. Lapak dagangan sayur Yu Sati menjadi tempat yang cocok bagi ibu – ibu untuk saling bertukar cerita. Ada saja bumbu yang ditambah – tambahkan sehingga cerita itu berubah menjadi berbau mistis. “Yang saya heran maling itu dikejar puluhan orang kok bisa ilang begitu saja ya?” Bu Joko tampak bersemangat menceritakan peristiwa yang dialami suaminya. “Padahal, suami saya berlari cepat hingga hanya berjarak lima meter dari pintu makam dimana maling itu menghilang.” Sambungnya berapi – api. “Lha ya itu Bu, yang bikin kami penasaran. Jangan – jangan maling itu memang sakti, benar – benar bisa menghilang.” Yu Poni menyahut dengan nada keheranan. Sementara ibu – ibu yang lain menguping pembicaraan mereka sambil memilih sayuran yang akan diolah pagi hari ini. “Ya mungkin saja. Lha wong begitu masuk pintu kuburan tiba – tiba hilang begitu saja kok. Dicari kemana – mana tidak ketemu. Jangan – jangan malah dia bukan manusia, tapi mahluk halus penghuni beringin tua di tanah pekuburan itu ya?” Yu Sati menyambung omongan kedua pembelinya. “Ih, jadi takuuut,” lanjutnnya sambil bergidik dan memegang tengkuknya sendiri. Perasaannya merinding, bulu kuduknya tiba – tiba meremang. Dia teringat cerita pohon beringin tua di tanah kuburan itu yang telah lama berkembang. Hampir semua warga Dusun Karangsawah pernah mendengar kisah mistis tentang pohon besar itu. Cerita hantu kuntilanak atau pocong yang tiba – tiba muncul dari balik pohon dan mengganggu sering kali terdengar ketika ada pejalan kaki terpaksa lewat jalan di depan pekuburan itu pada malam hari.

Hari beranjak siang, masih banyak warga Dusun Karangsawah berkumpul di beberapa tempat. Kedai kopi Mas Saryo menjadi salah satu tempat favorit bagi beberapa warga untuk nongkrong sambil menikmati kopi panas dan penganan kecil yang disediakan. Hari ini kedai kopi Mas Saryo kelihatan penuh pengunjung. Suara orang ramai bercakap, kadang diselingi suara orang tertawa terbahak – bahak. Rupanya para pengunjung sedang ramai mebicarakan peristiwa semalam. “Saya akan mengerahkan semua murid untuk membantu menangkap maling itu.” Kata Arman yang dari tadi duduk di sudut ruangan bersama empat orang temannya. “Benar Mas, sekalian uji nyali murid – murid kita.” Sohar menimpali ucapan Arman. “Nanti malam kelompok kita bergerak sendiri, tidak usah menyatu dengan kelompok peronda. Segera hubungi anak – anak.” Sambung Arman memerintah ketiga temannya. “Siap, Mas!” jawab mereka hampir bersamaan. Ke empat orang itu bergegas meninggalkan kedai kopi untuk melanjutkan rencananya.

Sementara di tempat lain, Mat Karyo kelihatan gelisah. Dari tadi dia mondar mandir di ruang depan rumahnya. Dilihat dari roman mukanya seperti ada sesuatu hal berat yang tengah mengganggu pikirannya. Asap rokok beraroma klembak menyan memenuhi ruangan itu. Berkali Mat Karyo menyalakan api rokok yang padam dengan pemantik. Tampak sekali kegelisahan ada pada diri Mat Karyo. Berkali – kali pandangannya menatap dinding di mana tergantung sebuah pedang panjang bersarung kulit. Pedang panjang yang dulu pernah bertualang bersama majikannya ketika masih berprofesi sebagai preman pasar di sebuah kota besar. Sudah lama pedang panjang itu tergantung menjadi hiasan dinding di rumah Mat Karyo. Perlahan diambil pedang panjang itu, ditimang – timang, kemudian dibuka sarungnya. Sebuah pedang besi becampur baja yang ramping tipis memancarkan aura bengis. “Hmmm, sepertinya kita harus bertualang kembali seperti dulu.” Bisik Mat Karyo kepada pedang itu seolah – olah benda itu dapat mendengar omongannya. Lamunan Mat Karyo kembali ke masa lalu, ketika pedang itu sering dibawa bertarung dengan orang – orang yang dianggap musuh. Berkali Mat Karyo mengelus pedang panjang mengkilap itu. “Pak, Pak, reneyo. Bantu Ibu mengangkat meja ini sebentar!” teriakan Minah, istri Mat Karyo membuyarkan lamunannya. “Iyo Bune, tunggu sebentar.” Jawabnya sembari meletakan pedang itu kembali ke gantungan di dinding.

Siang kembali berubah malam, suasana Dusun Karangsawah masih tetap ramai. Orang - orang berkumpul membentuk kelompok – kelompok kecil. Mereka berbincang di luar rumah. Penerangan di sepanjang jalan dusun bertambah banyak. Beberapa warga mempunyai gagasan untuk menambah lampu jalan agar dusun mereka semakin terang benderang di malam hari. Di setiap sudut kelokan jalan terdapat sebuah lampu. Benar – benar terang benderang lingkungan dusun malam itu. Para peronda mulai menyiapkan diri berkumpul di Pos Kamling. Satu persatu berdatangan dengan membawa alat yang dianggap dapat dijadikan senjata jika nanti kepergok maling dan terpaksa harus membela diri. Mat Karyo sang Jagabaya yang tiba belakangan membawa sebatang besi seukuran panjang satu meter. Besi linggis yang biasa digunakan istrinya untuk mengupas sabut kelapa di rumah ketika akan membuat santan.

Arman menyempatkan diri mampir ke pos ronda sebelum bertemu dengan murid – muridnya beberapa menit sebelum Mat Karyo datang. Diam – diam Arman memperhatikan benda ditangan Mat Karyo. “Permisi Bapak – bapak, saya pamit dulu karena ada keperluan lain.” Arman berpamitan setelah para peronda hadir semua di tempat itu. “Mau kemana kamu? Wong masih sore kok sudah mau pergi? Apa kamu tidak ingin ikut njaga keamanan dusun? Ngakunya pendekar? Jago silat?” Mat Karyo bertanya ke Arman, pertanyaan yang bernada mengejek. Tetapi pertanyaan itu tidak terjawab karena Arman segera beranjak meninggalkan pos ronda tanpa sepatah kata pun.

Malam semakin larut, para peronda bersiap untuk mengadakan patroli keamanan. Mereka akan berkeliling kampung kemudian berjaga sepanjang malam agar Dusun Karangsawah tetap terjamin keamanannya. Malam pun berlalu berganti pagi dan tidak terjadi peristiwa seperti malam – malam sebelumnya. Para peronda meninggalkan pos ronda pulang ke rumah masing masing ketika bunyi bedug dari masjid pertanda waktu subuh telah tiba terdengar. Dalam hati masing - masing berharap agar dusun mereka tetap aman, tidak terjadi lagi tindak kejahatan yang merugikan warga.

Bagaimana yang akan terjadi selanjutnya? Apakah malam berikutnya si maling tidak muncul kembali di Dusun Karangsawah? Siapakah maling itu sebenarnya? Akan tertangkapkah maling aguno itu? Atau cerita memburu maling ini akan berakhir dengan membawa sejumlah misteri?

Tunggu sambungan cerita selanjutnya.

(Bersambung)

(Huma di Lembah Serayu, 21 Juli 2020)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mudah-mudahan si maling akan segera tertangkap.

21 Jul
Balas



search

New Post