Eli Maymunah, M.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
ASTER BERDURI

ASTER BERDURI

OLEH : LIRA ABDILLAH

Sarayu tepi pantai menyambut paginya. Surai hitam sebahu yang terurai menambah kecantikkan seorang wanita yang kini tengah gunakan terusan merah muda bermotif Aster. Iris kecoklatan miliknya menikmati baskara yang terbit malu-malu terhalang payoda bergelombang indah. Ia menarik napas begitu dalam, memasok paru-parunya dengan oksigen pagi hari yang begitu menyegarkan. Terhitung, ini pagi ke-439 ia disambut oleh deburan merdu ombak.

Tungkainya melangkah menuju pot bunga yang berjejer rapi di halaman rumah. Ia nikmati detik-detik ia sirami tanaman dihadapannya. Tak pernah terlewat satu pagi pun ia tak sirami tanaman di halaman rumahnya. Hal klise yang membuat hatinya tenang.

"Nada?" tanya Kakek yang kini menghampirinya.

Nada menoleh dengan senyum manisnya.

"Kakek kerja dulu, Nada tunggu di rumah. Nanti akan ada Ghani datang," ujar Kakek.

Nada mengangguk mengiyakan.

Rupanya, adiksi lain sudah sedari tadi melihat kegiatan yang tengah Nada lakukan. Rasanya begitu candu melihat surai Nada yang tertiup embusan angin, serta jari-jari lentiknya yang apik mengasuh bunga indah yang tengah mekar sempurna. Ghani tersenyum menikmati itu semua, tingkah sederhana yang mampu membuat hatinya berdesir.

Hari ini, terhitung sebagai kali ke-124 Ghani mengunjungi Nada. Setelah ia di beri pekerjaan untuk melakukan konseling pada Nada berbekal pendidikan yang ia tempuh selama 4 tahun di bangku Universitas. Gadis berusia 22 tahun yang setahun lalu mengalami depresi berat hingga Kakek memutuskan untuk membawanya tinggal bersama di Amed, pantai Bali yang sepi wisatawan.

"Hai Nad," sapa Ghani yang kini tengah gunakan kaus putih serta celana jin selutut.

Setelan santai layaknya akan temui seorang teman membuat Nada lebih nyaman.

"Hai kak Ghani!" riang Nada.

Ghani tersenyum, ikut berjongkok di depan deretan pot bunga milik Nada.

"Ini bunga apa?" tanya Ghani menunjuk Mawar biru.

"Ini namanya bunga Genta, indah ya? Tapi harus hati-hati dia berduri dan beracun. Jangan di pegang terlalu erat," tukas Nada.

Ghani tersenyum pedih. Ini bukan pertama kalinya Nada menjawab begitu. Semua bunga yang ia tanam ia beri nama dengan nama Genta. Seseorang yang membuat Nada berada di titik ini.

Nada menamai semua bunga berduri yang ia tanam dengan nama Genta. Ketika Ghani bertanya, jawabannya akan tetap sama, "Oh, ini namanya bunga Genta." Kecuali Aster putih, satu-satu nya yang ia beri nama tak berkaitan dengan Genta. Nada namai, Ghani.

"Ini namanya bunga Ghani, cantik ya? Dia tidak berduri, jadi bisa di peluk," katanya.

Ghani datang dua kali dalam sepekan. Ghani tak menyangka bisa menemani Nada selama hampir setahun ini, padahal di awal pertemuannya dengan Nada, Ghani tak yakin apa ia akan berhasil membuat Nada keluar dari depresi yang ia alami.

Yang ia tahu, pertemuan pertamanya dengan Nada tak begitu manis. Kala itu ia temui Nada yang baru saja mengalami kecelakaan, lebih tepatnya percobaan bunuh diri dengan menabrakan mobil nya ke bahu jalan hingga hampir terpental ke jurang. Ghani sedikit tak mengerti tentang bagaimana Nada bisa berpikir kelewat pendek seperti itu. Namun, seiring dengan waktu Ghani mengerti. Kita tak akan tahu penderitaan seseorang hanya dengan melihat dan berspekulasi begitu saja. Kita hanya bisa tahu dengan kita yang berada di posisi mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, atau mendengarkan semua cerita mereka tanpa menghakimi.

Hari ini Ghani memilih tepi pantai sebagai tempatnya mendengarkan cerita Nada. Sesekali Ghani merespon dengan senyum manisnya. Ghani tak tahu rasa macam apa ini, jantungnya berdegup cepat kala saksikan surai Nada yang tertiup angin. Begitu indah memukau melambai seakan katakan semuanya baik-baik saja.

"Kak Ghani? Sepertinya minggu depan kak Ghani tak perlu datang lagi," ujar Nada.

Ghani mengernyit, "Kenapa? Nada tidak suka aku datang?"

Nada menggeleng, "Enggak kok, Nada ingin pindah. Sepertinya tidak baik Nada meninggalkan rumah terlalu lama. Nada tak bisa selamanya kabur dari kenangan di sana."

Ghani tak mengerti, "Nad... kau tahu sepertinya di sini lebih baik. Tidak bisa kah tinggal saja di sini?"

"Kak Ghani, sudah cukup. Kak Ghani tahu sendiri bahwa aku sudah mulai merelakan semuanya. Aku sudah tidak menyakiti diri sendiri. Aku sudah bisa lupakan semuanya, Nada tak butuh terapi lagi," lirih Nada.

Ghani mengakui perihal Nada yang sudah lebih baik dari sebelumnya. Bahkan Nada sudah dapat bergaul dengan tetangga sekitar. Tapi boleh kah Ghani egois? Ghani ingin Nada tetap tinggal. Nada sudah menjadi bagian dari jiwanya. Ghani pikir, ia sudah jatuh hati pada Nada.

"Nad, jika aku katakan bahwa aku mencintai mu, apa kamu akan tetap tinggal?"

Ghani berhasil membuat Nada tak tenang. Hatinya berdesir, berdebar tak karuan. Membuat pipi Nada memanas begitu saja.

"K-kak... aku... kenapa tiba-tiba sekali?" tanya Nada gugup.

Ghani pun heran dengan apa yang dikatakannya. Namun, ia percaya akan apa yang ia rasakan selama ini. Ia terlampau nyaman menjadi pendengar wanita yang kini begitu cantik dengan iris coklat tersorot baskara.

"Aku mohon. Mau kah Nada tetap disini?"

Nada bergetar, "Kak Ghani, aku belum sepenuhnya lupa dengan hubungan yang berakhir tragis. A-aku... Nada takut dengan itu. Nada tak bisa."

Ghani menyadari, bahwa pernyataan nya yang mendadak tak akan pernah berhasil. Mungkin memang ini pahatan takdir yang harus ia dapat. Tubuhnya memanas, Ghani berusaha memendam rasa yang bercokol dalam hatinya. Agar orang di sekitarnya tak terluka.

"Kak Ghani..."

Ghani tersentak mendengar suara lirih Nada yang membuyarkannya dari lamunan.

Nada menelan saliva nya perlahan, "Aku tahu semuanya."

Sarayu yang meniup surai nya yang bergelombang, Nada menetralkan degup jantungnya. Sesekali ia pejamkan mata, menahan diri agar tak teteskan liquid bening dari kedua lakrimalis nya.

"Apa yang kau tahu?" tanya Ghani dingin.

Ghani sempat menahan napas sejenak. Tak bisa dipungkiri bahwa kali ini ia begitu gugup.

"Ingin bercerita?" tanya Nada balik.

Di tempat mereka berpijak, diiringi deburan ombak serta kicauan burung trinil pantai. Begitu dingin, layaknya kedua tangan Nada dan Ghani yang mendingin kala gugup menerpa keduanya.

"Aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan," ujar Ghani.

“Berjanjilah dulu, kau takkan bergerak sesenti pun tika aku ceritakan semuanya," lirih Nada.

Ghani mengangguk mengiyakan.

"Aku tahu kau berbohong selama ini. Kecelakaan ku dulu membuatmu percaya bahwa aku hilang ingatan bukan? Kau..." Nada menjeda kalimatnya kala liquid bening mulai menetes dari pelupuk matanya.

"Kau tahu, aku tak bisa tanpamu. Saat pertama kali aku melihatmu dan kau bersikap seolah aku tak tahu aku begitu terkejut. Ku pikir kejutan apalagi yang semesta berikan padaku."

Tangan Ghani mengepal, kukunya memutih menahan amarah.

"Kau membohongiku."

Ghani bertutur begitu dingin dan menusuk.

Nada menggeleng, "Ghani sudah cukup. Sejak dulu kau selalu menyalahkan ku. Aku lelah. Kau yang pertama kali membohongiku. Kau datang saat aku sekarat, berpura-pura menjadi manusia berhati hangat yang peduli padaku. Padahal jelas-jelas bahwa kau sendiri yang membuatku sekarat."

Nada tercekat di ujung kalimatnya.

Ghani menggeleng, ingin berdiri namun Nada menahannya, "Kau sudah berjanji untuk tetap diam. Ku pikir janji hanya satu-satunya yang bisa kupercaya darimu."

"Ini tak seperti yang kau pikirkan Nad! Aku sudah berusaha berubah! Kau tak tahu betapa aku hancur setiap kali membuatmu hampir sekarat! Kau tahu? Aku juga ikut sekarat di setiap detiknya! Kau pikir hari dimana aku pergi aku tak ikut hancur? Aku pun hancur Nada! Aku hancur ketika harus meninggalkanmu sendirian. Namun aku tahu, goresan takdir semesta tak pernah merestui aku dekat denganmu. Aku selalu membuatmu sekarat ketika aku berada disampingmu!" napas Ghani naik turun ketika membeberkan hal yang selama ini menyesaki rongga dadanya.

Rupanya goresan takdir mempertemukan mereka hanya untuk saling menyakiti dalam kesekaratan. Namun Nada selalu memungkiri itu. Ia tahu pasti ada setitik suar kebahagiaan dalam hubungan mereka.

"Kau tak tahu Nad betapa sakitnya aku ketika kau membandingkan mawar berduri dengan aster putih itu! Kau lebih suka ketika aku menjadi Ghani bukan Genta! Karena itu aku semakin yakin bahwa aku lebih baik menjadi Ghani selamanya. Kau tak tahu betapa sakitnya aku ketika kau ceritakan kekagumanmu pada sosok Genta padahal kau tahu sendiri sosok aku yang menjadi Genta selalu membuatmu sekarat, Genta hanya sosok monster pesakitan yang butuh pelampiasan!"

Nada meneteskan air mata entah yang ke seberapa kian kalinya, " Ya. Kau benar, Genta itu monster! Tapi kenapa kamu baru sadar sekarang? Kamu tidak akan tahu bagaimana sekarat nya aku saat kau pukuli. Padahal itu hanya karena aku pulang dengan teman priaku. Apa aku selingkuh? Tidak Ghani. Tapi kau bersikap seolah aku seorang pendosa yang pantas ke neraka. Kau tidak tahu rasanya dipukul hingga gigi graham mu copot! Kau tidak tahu sakitnya kau tampar hingga matamu tak bisa terbuka lagi! Kau... Kau tidak tahu betapa sakit nya kala tahu bahwa yang membuatmu bahagia adalah dengan bersama dengan orang yang dapat membuat mu sekarat."

"Lalu kau ingin apa? Apa aku perlu pergi lagi?" ujar Ghani lirih.

Detik itu Nada melayangkan tangan nya pada pipi Ghani, "Brengsek! Berapa kali harus ku katakan bahwa aku tak bisa tanpa mu?"

Ghani ikut menangis, "Lalu bagaimana? Aku tak bisa bersama mu bila itu membuatmu sakit."

Nada menangkup pipi Ghani, "Bila dulu kita saling menyakiti, maka biarkan kali ini saling menyembuhkan. Ayo kita coba hilangkan sisi Genta dalam jiwa mu."

Ghani menggeleng, "Aku tak bisa. Genta selalu muncul kala aku marah. Aku tak pernah mau memiliki kepribadian semacam ini Nad."

"Aku tahu, dan aku tahu betul bahwa aku dan dirimu saling membutuhkan," lirih Nada.

Penulis

Lira Abdilah adalah seorang pelajar menengah atas yang berdomisili di Sagaranten, Sukabumi, Jawa Barat. Ia lahir pada 03 September 2004 dengan hobi menulis cerpen mau pun series yang ia tekuni dalam sebuah aplikasi membaca. Ia sering mencoba mengirim karyanya sebab ia punya prinsip bahwa usaha tak akan pernah mengkhianati hasil.

Disaksikan oleh matahari yang mulai tenggelam mereka saling memeluk, "Ghan, kamu adalah Aster putih berduri. Jadi, boleh aku pangkas duri mu agar bisa aku peluk erat?"

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post