Eli Triana

Eli Triana, Guru Kimia di SMAN 7 Bekasi...

Selengkapnya
Navigasi Web
KUNCI ANAK SUKSES....
Diatas kapal menuju Bakauheni

KUNCI ANAK SUKSES....

Tauhid dan Akhlak Adalah Pendidikan Wajib bagi Keluarga

Tauhid dan Akhlak Adalah Pendidikan Wajib bagi Keluarga – Secara umum, tauhid diartikan sebagai satu keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Tauhid secara etimologis, berasal dari bahasa Arab wahdah atau wahid yang berarti satu.

Hakeem Hameed mengartikan tauhid sebagai sebuah kepercayaan ritualistik dan perilaku seremonial yang mengajak manusia menyembah realitas hakiki (Allah); dan menerima segala pesan-Nya yang disampaikan lewat kitab- kitab suci dan para Nabi untuk diwujudkan dalam sikap yang adil, kasih sayang, serta menjaga diri dari perbuatan maksiat dan sewenang-wenang demi mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Tauhid menurut Abu al-A’la al-Maududi adalah kalimat deklarasi seorang muslim, kalimat pembeda seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan musyrik. Sebuah perbedaan yang lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan meyakininya dengan sungguh-sungguh kebenaran-Nya; dengan mewujudkannya dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari ketetapan Ilahi.

Lain halnya Muhammad Taqi, tauhid berarti meyakini keesaan Allah. Keyakinan ini berarti meyakini bahwa Allah adalah satu dalam hal wujud, penciptaan, pengatur, pemerintah, penyembahan, meminta pertolongan, merasa takut, berharap, dan tempat pelabuhan cinta. Intinya tauhid menghendaki agar seorang muslim menyerahkan segala urusan dan hatinya hanya kepada Allah.

Maka nampak bahwa secara umum, tauhid lebih sering diartikan dengan teoantroposentris; yang mana pembahasannya masih berkutat pada pemusatan pada Allah dan bahwa manusia mesti mengabdi pada-Nya. Belum ada pembahasan secara rinci tentang tauhid sebagai prinsip kehidupan, prinsip pokok yang menjadi prinsip atas aspek-aspek kehidupan. Aspek keluarga, negara, ekonomi, sosial, politik, sosial, pengetahuan dan sebagainya selengkap yang dilakukan oleh Ismail Raji al-Faruqi.

Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai prinsip dalam kehidupan; mulai dari prinsip keluarga, pengetahuan, etika, metafisika, sejarah, tatanegara (tata politik, sosial, dan ekonomi), ummah, dan estetika.

Tauhid sebagai prinsip keluarga artinya keluarga merupakan suatu sarana mewujudkan ketentuan moral dari Tuhan (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu pola hubungan kompleks yang menjadi dasar pendidikan bagi anak.

Tauhid sebagai prinsip pengetahuan artinya tauhid sebagai asas epistemologi dan metodologi pengetahuan. Epistemologi memunculkan rasa sadar nilai sebagai pengantar manusia mencapai kebenaran nilai. Metodologi berfungsi sebagai pendorong manusia untuk mencari dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.6

Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersumber dari Allah. Allah sebagai sumber nilai yang kehendak-Nya merupakan norma-norma yang mesti diikuti dan menempatkannya sebagai tujuan akhir dan motif bagi setiap tindakan moral manusia. Inilah substansi yang terkandung dalam tauhid prinsip etika.

Dengan landasan inilah tauhid sebagai prinsip sejarah menghendaki agar manusia terlibat langsung dalam kehidupan untuk mencipta perubahan sejarah menurut pola Ilahi. Perubahan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial.

Secara politis, tauhid menghendaki agar khilafah (negara) melaksanakan syariat untuk mewujudkan keadilan. Khilafah bertanggung jawab atas ketentraman dan kesejahteraan umat. Secara sosial ekonomi, tauhid mensyaratkan kedermawanan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Tauhid sebagai prinsip estetika artinya, yang disebut keindahan adalah sesuatu yang dapat membawa kesadaran penanggap seni kepada ide transendensi sehingga penanggap seni tersebut akan berusaha memenuhi kehendak-Nya sebagai bukti atas eksistensinya sebagai manusia. Dan pada akhirnya kesadaran inilah yang akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden.7

Sebagai prinsip keluarga, tauhid (menurut al-Faruqi) memandang keluarga sebagai suatu sarana untuk memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu hubungan yang luas dan kompleks karena di dalamnya tercipta suatu pendidikan dasar. Seperti mencintai, menolong, mendukung (supporting), dan sebagainya.

Keluarga merupakan unit pembentuk-pembangun masyarakat. Pembangunan ini tentu saja mensyaratkan adanya interaksi edukatif di dalamnya. Maka rasanya tepat sekali ketika Khalid Syantuh menyebut keluarga sebagai satu lembaga pendidikan yang paling esensial. Peranannya dalam perkembangan anak lebih besar daripada peranan sekolah. Sebab anak lebih banyak menghabiskan waktu dalam keluarga daripada tempat-tempat lainnya.

Bahkan menurut Ngalim Purwanto, pendidikan keluarga adalah dasar pendidikan bagi anak berikutnya. Nilai pendidikan dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya baik di sekolah maupun dalam masyarakat.10

Hal ini terutama karena keluarga adalah satu wadah pertama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak.11 Keluarga bertanggung jawab mengembangkan anak baik dalam hal jasmani, akal dan rohani.12

Perkembangan ini tentu saja mesti dilandasi dengan norma tauhid agar tidak terjadi sebuah perkembangan yang menyeleweng dari fitrah. Untuk itu, ada dua hal pokok yang harus ada dalam pendidikan keluarga yaitu tauhid dan akhlak.

Pokok-pokok tauhid mutlak diperlukan karena tauhid mengajarkan akan sifat dan kekuasaan Allah sehingga melalui pendidikan tauhid akan tumbuh generasi yang sadar akan sifat-sifat Ilahiah.

Begitu pula halnya dengan akhlak yang mengatur pola hubungan dengan masyarakat sehingga melalui pendidikan akhlak akan tumbuh generasi yang berakhlak mulia yakni generasi yang tindakannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.13

Kedua aspek tersebut (tauhid dan akhlak), menjadi bahan wajib bagi pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga menurut Drijarkara sebagaimana dikutip Djudju Sudjana, mengemban tanggung jawab vertikal dan horizontal.

Tanggung jawab vertikal ini diwujudkan melalui komunikasi dan dialog dengan Tuhan sedangkan tanggung jawab horizontal dilakukan melalui komunikasi dengan manusia termasuk dengan dirinya sendiri, masyarakat dan lebih luas lagi dengan umat manusia secara keseluruhan.14

Bahkan tanggung jawab pendidikan ini telah dijelaskan dalam al-Quran. Sebagaimana firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….(QS. At Tahrim: 6)15

Ayat ini turun sesaat setelah Allah memerintahkan kepada sebagian dari istri Nabi Muhammad SAW agar bertaubat dari kesalahan yang terlanjur dilakukan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa Allah akan menjaga dan menolong Rasul-Nya, Allah juga memperingatkan mereka agar tidak berkepanjangan dalam menentangnya karena khawatir akan di-talak dan dijatuhkan kedudukannya yang mulia sebagai ibunya kaum mukmin karena tergantikan oleh istri-istri lain dari orang-orang yang shaleh.16

Ayat ini oleh al-Maraghi ditafsiri sebagai seruan bagi orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya agar dapat menjaga diri dari api neraka dengan taat pada Allah serta mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan yang dapat menjauhkan diri dari api neraka melalui nasehat dan pengajaran.17

Begitu halnya menurut Ibn Katsier, ayat ini adalah seruan bagi orang- orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka melalui pengajaran kepada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya mengenai segala sesuatu yang diwajibkan dan dilarang oleh Allah. Pendidikan ini menyangkut pula pimpinan kepada mereka melalui dorongan agar direalisasikan dalam setiap perbuatan serta pemeliharaan diri dari perbuatan maksiat.18

Maka tanggung jawab tersebut diwujudkan dengan pemberian perhatian dan bimbingan atas perkembangan anak secara utuh. Baik dalam aspek jasmani, maupun rohani. Tanggung jawab jasmani diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan, pangan, dan ketrampilan. Sedangkan tanggung jawab rohani meliputi pemenuhan kebutuhan jasmani dan akal dengan menaruh perhatian serius pada setiap perkembangannya. Dan kunci dari seluruh upaya tersebut adalah dengan terjalinnya komunikasi intensif antara orang tua dan anak.

Komunikasi inilah yang terkadang terabaikan oleh orang tua. Karena kesibukan mereka dengan masalah keduniaan demi pemenuhan kebutuhan jasmani dan akal saja. Belum lagi fenomena workaholic (gila kerja) di kalangan orang tua yang tidak hanya melanda kaum ayah saja bahkan ibu rumah tangga. Dengan alasan persamaan jender ataupun hak berkarir di luar rumah berakibat terabainya tugas dan kewajiban orang tua sebagai pendidik bagi anaknya.

Dengan rutinitas kerja yang cukup menguras tenaga dan pikiran dapat membuat mereka jauh dari anak. Kondisi ini menyebabkan anak akan mencari perhatian kepada pihak lain secara sembarangan. Hal ini mengakibatkan pada mudahnya anak menerima pengaruh apa saja dari lingkungan pergaulannya.

Inilah yang menjadi penyebab awal rusaknya tingkah laku anak. Penelitian yang dilakukan oleh majalah At tarbiyatul Qathriyah edisi 79-81 (bulan Muharram-Rajab), tahun 1407 H (1986 M) sebagaimana dikutip oleh Khalid Syantuh dinyatakan bahwa para ahli telah menyimpulkan bahwa penyebab rusaknya tingkah laku anak adalah karena tidak adanya perhatian dan sikap orang tua yang meremehkan tanggung jawab.

Hal ini kemudian berpangkal pada kenyataan anak yang sering bergantung pada para pembantu yang telah menggantikan posisi orang tua karena kesibukan kerja mereka. Ketergantungan anak kepada para pembantu mendominasi 80% dari perkembangannya pada tiga tahun pertama dan 50% setelah anak berumur empat tahun. Sehingga pengaruhnya akan menyatu pada kehidupan anak hingga jangka waktu lama.

Hal ini menjadi satu hal yang mesti menjadi perhatian serius dari berbagai pihak atas pentingnya pendidikan akhlak. Ketika akhlak tidak lagi menempati posisi terdepan dalam setiap aktivitas, maka yang terjadi adalah lunturnya perikemanusiaan. Maka pendidikan akhlak menjadi mutlak diperlukan karena akhlak adalah suatu keniscayaan bagi setiap muslim sebab akhlak akan mempertinggi kualitas iman seorang muslim itu sendiri serta masyarakatnya.

Tauhid sebagai inti ajaran Islam merupakan prinsip dasar hidup; termasuk diantaranya adalah prinsip keluarga. Tauhid sebagai prinsip keluarga berarti tauhid sebagai dasar setiap aktifitas dan interaksi dalam keluarga.

Wallahu alam bishowab...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post