Ely Rositawati

A mom, a teacher, books lover, loves being around with children...

Selengkapnya
Navigasi Web
He has touched my heart (2)

He has touched my heart (2)

Rasa penasaran pada perasaanku sendiri terbawa sampai di ruang guru. Beberapa pertanyaan muncul. Kenapa Aku begitu mengasihani anak itu? Herdian maksudku. Kenapa dia bisa langsung menyentuh hatiku begitu saja dan membuat emosiku teraduk?

Setelah meletakkan tumpukan buku-buku ulangan itu di mejaku, kuedarkan mata mencari bu Sari, guru wali kelas 5B. Kebetulan Ibu guru senior yang menjadi salah satu teman ngobrol favoritku dalam berbagi segala hal itu sedang duduk di meja belakang, dekat dapur ruang guru.

“Bu Sari!” Aku langsung duduk di kursi kosong sebelahnya.

“Eh!” Dia terlonjak kaget dan menoleh ke arahku. “Ngagetin aja..”

Aku tertawa melihat reaksinya.“Sudah selesai, anak-anak dah di pulangin.” Laporku.

“Siip. Makasih ya.” Ia meneruskan kegiatannya menulis sesuatu.

“Bu, Herdian itu gimana sih?” Aku bertanya langsung.

“Hardian?”

“Iya, Herdian. Murid ibu..”

“Oo.. Iyan. Kenapa dia, asmanya kambuh?”

“Oh, memangnya dia punya asma, bu?”

“Hm.. punya asma dia, mbak. Pernah sekali kambuh di kelas, tapi sekarang sudah jarang sih. Kasian dia, anak yatim.”

“Oo..” Aku mulai serius mendengar cerita bu Sari. Kugeser kursi yang kududuki mendekati meja tempatnya melakukan kegiatan menulisnya.

“Bapaknya meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang ibunya juga lagi sakit. Kanker payudara.”

“Ya Allah, trus Herdian sama siapa sehari-harinya?” Aku langsung terbayang sosok Herdian tadi. Pantas saja penampilan Herdian lusuh begitu.

“Ya sama ibunya. Katanya sih suka dibantu tetangga. Aku juga suka bantu-bantu sedikit sih, mbak. Kalau rejeki lagi longgar. Tahu kan anakku juga banyak.” Bu Sari tersenyum sedih. Aku mengangguk-angguk. Bu Sari memang bukan penganut program keluarga Berencana. Anaknya lima. Dan semua sedang butuh biaya sekolah.

“Bu, kalau saya bantu Herdian gimana bu?” Mendadak ide itu terlontar begitu saja. Aku ingin mejadi kakak asuhnya. Karena kalau menjadi orang tua asuh sepertinya tidak cocok. Aku belum menjadi orangtua. Masih orang muda. Hehe.

“Mau bantu gimana maksudnya?” Bu sari menghentikan kegiatannya, menatapku bingung.

“Yaa, bantu-bantu dia, beliin baju seragam, kasih uang jajan. Kalo SPP kan udah ga bayar.”

“Nanti honor kamu habis, honor lima juta limaratus.”

“Lima juta lima ratus nolnya gelinding banyak ya bu, hehe.” Aku nyengir mendengar celetukan bu Sari tentang nominal honorku. “Saya kan punya sambilan lain bu. Gak Cuma dari sekolah sini saja penghasilan saya. Insha Allah ada.”

“Wah, Bagus mbak. Kamu masih muda, tapi sudah punya empati besar pada sesama. Untunglah kamu kerja jadi guru. Cocok jadinya. Modal seorang guru pertama kali adalah empati. Kalau tidak punya empati tidak akan bisa memahami perbedaan kemampuan anak didiknya, kemampuan fisik, maupun kemampuan akademik. Mereka adalah..”

“Iya ya bu, iya..” Tuh kan bu Sari jadi kasih kuliah mendadak. Aku mengangguk angguk seolah serius mendengar ceramah bu Sari, padahal pikiranku melayang pada sosok lusuh yang sejak tadi lekat dalam otakku. Herdian.

_bersambung_

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post