Ely Rositawati

A mom, a teacher, books lover, loves being around with children...

Selengkapnya
Navigasi Web
He has touched my heart (4)

He has touched my heart (4)

Hujan terus mengguyur bumi sejak sore tadi. Kakiku melangkah tergesa menyusuri lantai koridor rumah sakit yang basah karena tampias hujan.

“Sudah ketemu?” suara mas Bagas terdengar dari ponselku.

“Belum, mas.” Kutahan tangisku di tenggorokan. “Kemana dia?” Kutebarkan pandangan ke setiap sudut dan tempat yang kulewati.

“Aku takut dia kenapa napa.” Aku mulai terisak.

“Hei, tenang dek. Jangan panik. Tarik nafas dulu, cari tempat duduk.”

Kueratkan genggaman pada ponsel yang menempel di telingaku. Suara mas Bagas sekarang adalah satu-satunya yang menguatkan. Aku tidak tahan lagi. Kakiku melangkah mendekati salah satu tiang koridor, menyandarkan punggungku disana membelakangi orang-orang yang sedang berlalu-lalang di lorong koridor ini.

“Kenapa mas gak pernah cerita tentang ini? Mas tahu kan semuanya?”

“Mas gak tahu banyak, dek. Mas cuma tahu, waktu itu papa sempat minta persetujuan mama untuk mengangkat anak. Mas gak tahu kalau papa sampai menikah lagi.”

“Papa, kenapa papa melakukan ini?” aku menggumam.

“Huss! Dek, papa pasti punya alasan, kita tidak tahu saat ini. Kamu tahu kan sifat papa, sosialnya tinggi dan penyayang sekali. Sudahlah, sekarang yang kita harus pikirkan adalah Herdian. Dia sebatang kara sekarang. Kamu gak kasihan sama dia?”

“Mas, besok mas Bagas pulang ya. Aku butuh mas Bagas.” Kuusap air mata yang mulai membasahi pipi.

“Iya, malam ini juga mas sudah ajukan ijin. Besok mas pulang dengan penerbangan pertama. Jangan nangis dong, katanya mau jadi guru yang strong.”

Aku terdiam. Sedikit lega mendengar mas Bagas akan pulang besok. Aku benar-benar butuh kehadirannya.

“Jenazah ibu Herdian sudah kamu urus?” Terdengar lagi suara mas Bagas.

“Sudah mas. Tadi pak RT nya sudah datang, dan bersedia mengurus pemakaman almarhumah. Kata pak RT, mamanya Herdian gak punya saudara.”

How poor she is.” Mas Bagas berucap lirih.

Tiba-tiba aku merasakan cubitan itu, how poor she is. Ya, gimana rasanya sendirian, sakit, bertahan demi seorang anak yang tidak punya siapa-siapa lagi.

“Titip Iyan. Dia tidak punya siapa-siapa. Titip Herdiyan, maafkan saya.” Kata-kata itu kembali terngiang. Tangannya terus menggenggam tanganku sampai matanya beralih pada sesuatu di pintu dan matanya menutup lalu genggamannya mengendur dan terlepas begitu saja.

“Mama, gimana dek?” Mas bagas memecah lamunanku dengan suaranya di seberang sana.

“Mama bersama pak RT tadi, mas. Sudah tenang kok, gak histeris seperti tadi siang.” Aku menjawab cepat. Pikiranku sedang terpusat pada Herdiyan sekarang. “Mas, kita bawa Herdian ke rumah ya, mas.” Lanjutku seraya mengusap linangan air mata yang kembali mengaliri pipi.

“Ya, adek mas yang cengeng, tentu saja. Dosa kalau kita sia-siakan dia. Dah, sekarang cari anak itu sampai ketemu. Oke.”

“Ya, mas. Hati hati besok. Assalamualaikum.” Aku menekan tanda merah pada layar gawaiku.

Herdian. Aku harus menemukannya.

Menerabas derasnya hujan, kakiku melangkah keluar lobby rumah sakit menuju parkiran mobil. Ketika mataku menangkap sosok itu. Tubuh kurus basah kuyup sedang berjongkok di bawah salah satu pohon di areal parkir. Menyembunyikan wajah di antara lututnya. Seketika kuhembuskan nafas lega.

“Herdian, Yuk kita pulang.” Aku mendudukkan diri di sebelahnya. Menyentuh pundaknya yang gemetar dengan rengkuhan tanganku. Ia mengangkat wajah menatapku. Ada sorot luka di kedalaman matanya.

“Miss..”

“Jangan panggil miss. Panggil aku kakak. Kamu mau kan punya kakak kayak aku?” Kueratkan rengkuhan tanganku pada pundaknya. Tubuhnya terasa sangat kurus dan ringkih.

Ya Tuhan, maafkan hambaMu ini. Maafkan aku jika selama ini tidak peduli dengan sekitarku. Maafkan aku jika belum pandai bersyukur atas segala kelapangan yang sudah Kau berikan. Engkau maha pembuat skenario terbaik ya Allah. Bantu aku untuk menjalani peran ini dengan sebaik mungkin.

Kupeluk tubuh kurus Herdiyan di antara derasnya hujan yang semakin menderas. Hujan adalah berkah. Semoga keberkahan ini menjadi awal yang baik bagi kehidupan Herdiyan dan juga keluargaku.

Al Fatihah untuk Papa.

_selesai_

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terimakasih bunda atas apresiasinya. Terimakasih jg sudah mengambil hikmah dari cerita pendek ini. Saya terharu membaca komentar bunda Siti Ropiah. Terimakasih, salam sukses juga untuk bunda. Barakallah..

21 Dec
Balas

Subhanallah merinding Bund aku bacanya. Memang dalam hidup ini, seringkali banyak hal terjadi di luar keinginan kuta, bahkan bertentangan dengan keinginan. Namun menyakini bila semua itu adalah skenario Allah, merupakan keniscayaan yang harus diterima. Menerima takdir yang Allah tetapkan menciptakan sikap bijaksana. Kita tidak terhanyut oleh penyebab dari suatu kejadian, tetapi lebih kepada dampak dari kejadian. Dalam kisah ini, tidak perlu mencari penyebab sang papa melakukan poligami, tapi lebih kepada bagaimana nasib yang ditinggalkan yaitu Herdyan. Ia yang paling terluka. Menyayanginya mungkin akan memahami mengapa sang papa melakukan hal itu. Sukses selalu dan barakallah

21 Dec
Balas



search

New Post