Emi Farida

Saya orang yang suka membaca sejak bisa membaca huruf. Lalu saya suka menulis sejak tertarik pada siswa kelas sebelah karena pernah melihatnya membaca puisi say...

Selengkapnya
Navigasi Web

Kosong

Berhari-hari dua hal ini mengganggu pikiranku. Anak-anak yang menjauh dari obrolan denganku karena handphone lebih menyihir perhatianku ketimbang cerita-ceritaku yang mungkin membosankan. Mungkin menurut mereka, aku ini layaknya guru mereka di sekolah yang kerap menghujani mereka dengan pelajaran-pelajaran dan ceramah-ceramah.

"Baiklah. Mulai sekarang, mommy tidak akan masak."

"Mang kenapa?" bujang kecilku menyahut dari kamarnya. Aku duduk di ruang tengah menonton acara tak jelas di TV. Si bujang duduk di atas kasur di kamarnya. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari pintu kamar yang terbuka lebar.

"Karena kalian tidak lapar," kataku. Layar televisi bergerak dari satu chanel ke chanel lain.

"Lapar, dong, " sahut gadisku yang beranjak remaja. Ia sedang asyik ber-whatsap ria dengan teman-teman di grup sekolahnya.

"Hp sudah cukup mengenyangkan, kan."

"Gak, Mom. Hp bukan makanan." Bujangku sama sekali tidak memandangku yang sesekali mencuri pandang dari ruang tengah.

"Dari mommy masak kalian tidak beranjak. Masakan mommy masih utuh di meja. Waktu sarapan dan makan siang telah lewat tanpa sekalipun kalian keluar."

Bujang kecilku, tidak menampakkan wajah bosan bermain game, keluar kamar, masih memperhatikan layar hape, berkata: Ya deh aku makan."

Dia mengambil piring, lalu nasi, dan lauk pauk, duduk tak jauh dariku. Ia meletakkan piring di atas meja bersikap seolah hendak menyantap makanan yang telah diambilnya. Tetapi jelas tertangkap mataku matanya memperhatikan permainan di layar hape lalu tangannya menyentuh-nyentuh layar.

"Matikan hapenya. Fokus makan," pintaku. Ia patuh. Disingkirkan benda persegi dengan kesing warna hitam beberapa senti dari letak piring. Ia mengunyah dan menatapku. Seolah aku makanan tak bergaram yang menghanguskan segunung nafsu makan. "Kenapa?"

Bujangku tersenyum menyembunyikan sesuatu.

"Aku gak mau sayur."

"Terserah, " kataku sudah paham kebiasaanya menolak oseng yang kusajikan. Ia memilih paha ayam goreng dan menyingkirkan sayur yang sudah diambilnya sendiri.

"Mom, jangan marah-marah terus kenapa sih." Gadisku masuk ke ruang tengah dan duduk di sebelahku.

"Mommy gak marah. Hanya heran dengan kalian. Bisa-bisanya betah berjam-jam memegang hape.

"Mommy juga, kan."

Iya. Aku tidak mengelak. "Tapi meskipun mommy pegang hape, lihat tuh, mommy bisa membersihkan rumah, memasak, mencuci, menyiram tanaman dan lain-lain. Sedangkan kalian?"

Dua makhluk yang pernah mendekam di perutku berbulan-bulan terdiam. Si bujang mengunyah makanan sambil curi-curi pandang ke layar hape. Kakak si bujang pura-pura sibuk membuat teh. Di telinganya terpasang headset. Hapenya tersimpan di saku celana pendeknya.

"Dengarkan baik-baik. Mulai saat ini, kalian berdua mencuci baju kalian masing-masing. Lalu setrika sekalian. Dan, sehabis makan, piring langsung dicuci sendiri-sendiri. Mommy tidak mau ada alasan, sebelum asar, kamar kalian juga harus sudah rapi."

"Aku gak bisa nyuci, " kata bujangku.

"Nanti mommy ajari."

"Aku sudah nyuci, mom, " sahut gadisku.

"Tapi kamarmu masih berantakan."

Kedua "penyejuk mata"ku tampak patuh meskipun wajah mereka seperti piring-piring kusam menunggu dibersihkan.

Setelah selesai makan sebelum mereka mengerjakan yang kusuruh, aku mengajak mereka sholat dzuhur berjamaah. Mereka bergeming, kembali membuka hape. Hanya sebentar, katanya.

"Mommy gak segan loh membuang hape kalian ke sumur, " ancamku dengan kata-kata lembut.

Bujangku langsung mematikan hape dan menaruhnya di meja. Gadisku menggerutu berjalan ke tempat wudlu.

Lalu kami sholat berjamaah. Bujangku menjadi imam. Si gadis dan aku berdiri di belakang imam kecil.

Sholat selesai dengan suara salam dari mulut anak lelakiku. Tiba-tiba mereka ribut memperhatikanku yang berdiri padahal seharusnya duduk dan mengakhiri sholat.

"Mommy gemana sih, kok gak mengikuti gerakanku?" tanya si kecil dengan wajah keheranan.

"Mommy jumlah rokaatnya kelebihan, " gadisku mentertawakan.

Aku merasa bloon. Baru tersadar aku gak sadar saat sholat. Tidak menyadari doa dan gerakan sholat. Hanya bergerak. Seperti angin bertiup tanpa tujuan. Astaghfirullah. Aku tersenyum dalam kesadaran aku telah kehilangan ingatan untuk bersholat beberapa menit.

Kuulang sholatku. Kuisi otakku dengan kata-kata berisi yang berulang kutanam dalam hati dan kutujukan pada Tuhan.

Selain gangguan pikiran mengenai sepak terjang anak-anakku, di bawah kesadaranku, meskipun aku tidak sedang memegang hape, ungkapan cinta dari salah satu teman di messanger telah mencuri inti pikiranku.

Purwokerto, 6 Januari 2019.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hhh...endingnya menarik, bikin penasaran. Ya Bu Emy, masalah HP anak-anak, mirip denganku.

07 Jan
Balas

Iya jeng, bikin pusing. Sebel rasanya ngeliat mereka berkencan dg hape sepanjang waktu. Rasanya pengin jewer telinga mereka. Tapi sy bukan tipe ortu killer, sy memilih jadi sahabat mereka selain sbg ortu.

07 Jan

Aku mbok diajari bikin cerpen bunda cantik..hehe..seneng rasanya pernah duduk bersebelahan dengan bunda yang cantik dan pinter ini.

26 Mar
Balas



search

New Post