Endang. M. E (eme effendi)

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
KETIKA CINTA MEMANGGIL

KETIKA CINTA MEMANGGIL

Sepatu yang nampak lusuh, sendal jepit yang makin menipis, kaki-kaki yang lecet bahkan sebagian mulai membengkak. Kulihat kelelahan di kaki-kaki mereka. Namun saat kulihat wajah-wajah mereka, sungguh kontras. Tak terlihat wajah loyo, tak nampak wajah lelah. Sorot mata yang tetap tajam memancarkan semangat yang tak pernah padam. Walau kaki mereka terlihat lelah namun tak terpacar lelah di wajah pemiliknya.

Semangat yang menggelora penuh tenaga. Di sinilah aku heran, mengapa mereka senantiasa bersemangat untuk tetap berjalan diterik mentari yang menyengat. Derap langkah tetap serempak menapaki jalanan aspal yang panas. Apa yang mendorong mereka?. Apa yang mereka cari?. Apa yang memberikan energi dahsyat bagi mereka? Pertanyaan yang begitu menggoda, berputar-putar di kepala. Menyaksikan mereka, betapa kecilnya aku, betapa lemahnya aku.

Kemaren waktu aku saksikan gemuruh mereka di titik awal, aku kira mereka hanya mengantarkan dua tiga orang pimpinan mereka yang akan berangkat ke sebuah pertemuan. Namun hari ini, dugaanku itu terbantah. Jelas mereka melakukan apa yang kemaren ramai dibicarakan di media. Ini jelas bukan hoax pikirku. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Ya, awalnya memang aku tidak tahu apa yang tengah terjadi saat ini. Kesibukan rutinitas profesi minggu ini demikian menyita perhatian dan kesempatan.

Kemaren memang aku menyaksikan iring-iringan mulai dari anak-anak pelajar, pemuda sampai orang dewasa seperti devile di pesta agustusan. Sebenarnya saat aku melihat itu, ingin rasanya mengorek lebih jauh apa yang tengah terjadi. Namun sayang saat ini aku harus menunaikan tugas profesi yang kadung telah aku sanggupi. Kami bertiga harus segera melanjutkan perjalanan ke pusat kota profinsi Jawa Barat.

Seperti tertera di undangan, Acara akan dibuka pkul 18.00. Oleh karena itulah kami bertiga sepakat berangkat setelah sholat duhur di kampus. Dengan perkiraan maksimum perjalanan 4 jam, kami berangkat sekitar pukul 13.00. Biasanya hari-hari seperti ini, jalanan tidak begitu macet seperti akhir pekan. Jam 4 atau paling telat jam 5 sore kami kira sudah sampai di tempat acara.

Belum sampai lima belas menit mengawali perjalanan hampir sampai batas kota, tiba-tiba laju mobil harus diperlambat, ada kemacetan nampaknya, kendaraan di depan padat walau tidak sampai macet total pergerakannya demikian lambat. Ada apakah? Sungguh aku belum dapat informasi. Sejak pagi aku tidak sempat buka media sosial atawa baca koran.

Di depan mulai nampak iring-iringan. Ada pawai apa, pikirku. Paling belakang aku lihat barisan pelajar setingkat SMP dan SMA, pria wanita. Dari busana yang mereka kenakan aku dapat mengira bahwa mereka pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan santri pesantren salafiah. Saat mobil yang kutumpangi berdampingan dengan mereka, dari kaca pintu mobil aku menyempatkan bertanya. “Demo pak, Jakarta, Allohu Akbar!” teriak anak-anak perempuan. Hanya itu yang dapat aku lakukan, karena kendaraan yang kutumpangi harus tetap berjalan walau pelan, berhenti berarti bikin macet. Di depan mereka nampak para lelaki remaja dan dewasa, para santri dan kiyai. Aku masih belum paham apa yang mereka lakukan dan hendak ke mana tujuan mereka dan dalam rangka apa. Di media sosial belum ada postingan yang memberi petunjuk.

Dari beberapa kali aku sempatkan bertanya kepada mereka, aku hanya mendapatkan infromasi bahwa mereka bermaksud longmach menuju jakarta. Mereka akan unjuk rasa atas kasus penistaan agama oleh Ahok. Mungkin sebagai tindak lanjut unjuk rasa yang diadakan pada 4 Nopember lalu. Namun mengapa mereka pawai berjalan kaki. Kami bertiga hanya menduga-duga bahwa mereka hanya akan mengantar tokoh-tokoh yang akan unjuk rasa. Mereka akan mengantar hingga batas kabupaten sebagai tanda simpati dan bekal semangat untuk para pemimpinnya. Itulah dugaan kami.

Akhirnya Iring-iringan mereka terlewati, kondisi jalan kembali lancar. Mobil kami melesat kencang seolah-olah ingin mengganti keterlambatan yang tadi sempat terjadi. Di perjalanan kami bertiga tetap berbincang menduga-duga apa yang terjadi dengan iring-iringan tadi. Beberapa informasi dari teman-teman media sosial mengatakan bahwa betul mereka akan ke Jakarta, unjuk rasa.

Hampir tiga perempat perjalanan perut kami terapa nagih haknya, kamipun berhenti di sebuah rumah makan. Saat makan orang-orang pada lihat tv, ternyata ada sisaran pers dari para penggagas aksi 212. Aksi menununtut keadilan terhadap seseorang pejabat yang diduga telah menodai agama. Dikenal dengan aksi 212 karena akan digelar pada tanggal 2 desembers lusa. Di akhir siaran itu disebutka bahwa kafilah dari Ciamis, kota kami, melakukan long mach ke jakarta untuk mengikuti aksi 212 itu. Itu dilakukan karean armada bis yang sudah dicarter mendadak membatalkan secara sepihak. Konon Karena ada laragan dari pihak penguasa. Ow.

Ternyata di medsos sudah viral berita itu. Menghebohkan, tiba-tiba Ciamis, nama kota kecil di timur Jawa Barat tempatku tingga; selama ini, menjadi terkenal seantero Nusantara bahka hingga ke manca negara. Rombongan aksi 212 asal Ciamis, nekad jalan kaki menuju Jakarta. Hemm..berarti teriak anak-anak kemaren di jalan bahwa mereka akan ke Jakarta itu benar adanya. Di Medsos ada sebutan yang cukup kreatif untuk orang Ciamis, “Ciamis manis, orangnya kuat bitis”.

Hari kamis, acara kami selesai kl pukul 11 an. Terus pulang karena masih banyak urusan. Sebelum Malangbong, kami lihat banyak orang di pingir jalan, ibu-ibu, bapak-bapak, remaja bahkan anak-anak mulai berdatangan dan diam menunggu sesuatu di pinggir jalan. Apa yang mereka tunggu? Entah lah, kami tidak berupaya mengoreknya. Namun saat masuk kota Malangbong, di Mesjid Agung banyak orang berkumpul. Di tepi jalan orang makin padat, ada yang hanya duduk-duduk atau berdiri menunggu, ada yang menggelar meja menyediakan berbagai makanan ringan dan minuman. Ada yang menenteng satu keresek sendal jepit baru. Rupa rupa yang mereka sediakan. Ternyata mereka sengaja menyambut rombongan Ciamis yang longmach itu.

Lepas terminal Malangbong, jalanan menuju Ciamis, terasa lengang, jangankan kemacetan, kendaraanpun jarang. Kami menduga rombongan pejalan kaki itu sudah berada tidak jauh dari sana. Kamipun memutuskan untuk berhenti ti tempat yang cukup strategis. Mobil diparkir di depan warung. Kami turun, sambil istirahat juga ikut menunggu datangnya rombongan pejalan kaki itu.

Dari jauh, rombongan aksi 212 dari Ciamis yang terkenal karena nekad jalan kaki menuju Jakarta itu, mulai nampak. Di kawal beberapa motor polisi, beberapa mobil yang membawa perbekalan, rombongan itu tetap bergerak penuh semangat. Ada orang tua, pemuda, remaja bahkan ada anka kecil kira-kira kelas 2 sekolah dasar. Subhanalloh, mereka masih nampak semangat walau telah melakukan perjalanan sehari semalam.

Aku berupaya mengambil kesempatan ngobrol dengan salah dua orang anggota rombongan. Penasaran, apa yang akan mereka lakukan, apa yang mendorong mereka melakukan hal yang nekad seperti itu. Aku mencoba membersihkan prasangka apapun dalam beanakku agar aku dapat menangkap persepsi mereka tapa campur tangan asumsi diriku sendiri. Jika orang nekad melakukan sesuatu yang beresiko. Sesuatu yang tidak lazim dan menarik perhatian banyak pihak, pasti karena ada pendorong yang kuat. Jalan kaki Ciamis Jakarta, hari gini itu sesuatu banget. Jarak lebih kurang 300 km itu memrlukan power yang dahsat untuk menjalaninya.

Yang paling sulit dimengerti otak, ada anak kelas dua SD dengan sandal jepit yang sudah bolong, telapak kaki mulai bengkak, tetap semangat berjalan. Konon anak itu berniat menggantikan ayahnya yang sudah meninggal. Subhanalloh

Cinta! Aku menyimpulkan. Tidak ada sedikitpun kepentingan politik praktis di hati mereka. Terserah kalau yang di Jakarta. Yang jelas, saya tidak menemukan sebesar zarhaoun adanya kepentingan politik praktis di benak para kafilah Ciamis itu. Yang menggerakkan mereka hanyalah cinta. Ya, kecintaan mereka pada kitab sucinya, kecintaan mereka pada apa yang diimaninya, kecintaan mereka pada surga yang didambakannya, kecintaan mereka pad Rab yang ingin dijumpainya di akhirat kelak, itulah yang menggerakan kaki mereka berjalan Ciamis-Jakarta.

Benar kata para sufi, cinta pada Alloh (hub ilalloh) dapat menyembuhkan penyakit, dapat mengubah orang lemah menjadi kuat, dapat mengubah tembaga mejadi emas. Kecintaan mereka itulah yang menggerakkan kaki-kaki yang lemah menjadi sekuat baja. Cinta mampu mengalahkan rintangan sebesar apapun. Begitulah ketika cinta memanggil, orang akan mau mengorbankan apapun termasuk nyawanya sendiri.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sudah lama baca tulisan ini, sering lalu lalang di sosmed. Maaf, mau nanya; penulis di gurusiana ini penulis yang asli kah?

16 Mar
Balas

tulisan mana pak yg lalu lalang di sosmed. kalau fakat faktanya mirip ya mungkin karena ini kejadian yg nyata n sempat viral. inivorisinal tulisan saya. itu poto pun asli jempretan saya di hp saya pak. saya asli Ciamis pak

17 Mar

Subhanallah, Alhamdulillah saya bisa tahu penulis aslinya

17 Mar
Balas

Cinta akan mengalahkan segalanya ....

16 Mar
Balas

Kreativitas hanya akan lahir dari rahim cinta (Hidajat Nataatmaja)

16 Mar

Seru Pak! Dengan Cinta kita akan berbuat sesuatu! Apapun resikonya... Tulisan jempooool!

16 Mar
Balas

Kunci profesionalitaspun adalah mencitntai profesinya

16 Mar



search

New Post