endas dasiah

Guru di SDN. Cijulangadeg Kecamatan Cikalong Kab. Tasikmalaya. Aktif dalam Gerakan Pramuka. Hobi menulis ditekuni sejak tahun 2016. Beberapa judul cerpen dan ca...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tanda Cinta 17
Tantangan hari ke-198

Tanda Cinta 17

Mata laila mulai basah. Kesedihan yang selama ini diatahan, kini jebol tak terbendung. Laila terisak di atas pentas. Hal ini tentu mengundang tanya. Miftah, host muda nan ganteng itu mendekatinya. Tatapannya sangat tajam menatap wajah cantik Laila.

“Kamu, kenapa menangis?” tanya Miftah. Laila sangat terkejut mendapat pertanyaan dari host itu.

“Tidak apa-apa, Kak! Aku terharu saja dengan pencapaian Alina. Semoga dia istikomah,” lirih Laila. Tangan lembutnya merangkul tubuh mungil Alina. Mereka berdua berpelukan.

“Eh, kalau dilihat-lihat, ternyata kalian mirip juga, ya! Tuh lihat, mata kalian sama-sama sipit, lesung pipi juga sama. Gigi gingsul kalian juga persis. Kok bisa, ya!” seru Miftah.

“Ustazah Laila sama Alina saudaraan, ya?” tanya Miftah lagi. Host muda itu rupanya sangat penasaran. Semua mata tertuju kepada Alina dan Laila. Tak terkecuali Hanifah.

Diam-diam Hanifah pun mengamati dua wajah di sampingnya. Tatap netranya bergantian kepada Alina anak asuhnya dan kepada Laila, ustazah muda pengasuh Alina. “Masya Allah, mereka memang memiliki kemiripan,” bisik Hanifah.

Seketika Hanifah teringat pada cerita Umi Sepuh saat dirinya pertama kali bertemu pemimpin pondok pesantren tempat Alina selama ini menimba ilmu. Umi Sepuh, menuturkan bahwa Laila bernasib sama dengan Alina. Berarti Laila sama-sama dibuang oleh kedua orang tuanya? Kasihan Laila.

Hati Hanifah bersedih. Dia tidak habis pikir, kok ada ya, orang tua yang tidak sayang sama anaknya. Pantesan, Laila jarang pulang. Hanifah masih ingat, Laila pernah mengatakan kalau orang tuanya sudah lama tidak menjenguk dirinya di pesantren. Semua biaya hidup dan pendidikannya, ditanggung Umi Sepuh.

“Nak Laila dan Alina, semoga kalian saliha, ya! Tetaplah seperti sekarang! Teruslah hidup bersama Al-Qur’an. Insya Allah semua akan baik-baik saja. Umi sayang kalian berdua!” bisik Hanifah di telinga Laila dan Alina. Hanifah mendekap dua anak manusia yang telah ditelantarkan orang yang semestinya menyayangi mereka.

Sudut mata Hanifah dan Laila melihat raut wajah pejabat yang duduk di kursi kehormatan. Lalu keduanya beradu pandang. Hanifah dan Laila sama-sama tersenyum kecut. Rupanya keduanya mampu memaknai senyuman kecut pejabat itu.

Raut muka Laila berubah. Riaknya siratkan kesedihan. Hanifah sangat terenyuh menyaksikan kepiluan gadis saliha itu.

“Tabahkan hatimu, Nak. Tetaplah hormat kepada siapa pun, sekali pun kepada orang yang membencimu!” pesan Hanifah. Laila menganggukan kepala, sambil menghapus lelehan air mata yang berlinang di pipinya.

Bersambung…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menarik, ditunggu lanjutannya

29 Oct
Balas

Alhamdulillah cerita keren ini berlanjut lagi. Tentang Shofia, apakah sudah tamat? Duh padahal penasaran dengan kisahnya. Coba saya cari, jalan mundur dulu.

30 Oct
Balas

Keren cerpennya bun. Salam sukses selalu.

29 Oct
Balas

Kisah yang menarik... Salam sukses Bu...

29 Oct
Balas

lama ditunggu...ahirnya muncul juga...sukses bu...

30 Oct
Balas



search

New Post