endas dasiah

Guru di SDN. Cijulangadeg Kecamatan Cikalong Kab. Tasikmalaya. Aktif dalam Gerakan Pramuka. Hobi menulis ditekuni sejak tahun 2016. Beberapa judul cerpen dan ca...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tanda Cinta 23
Tantangan hari ke-210

Tanda Cinta 23

Winata sejenak terdiam. Tatapan netranya jauh ke depan. Sepertinya dia sedang mengumpulkan kekuatan untuk membuka lagi luka lama, yang selama ini diasembunyikan.

“Kepergianku dari Nety adalah kesalahan fatal yang kulakukan. Sejak itulah aku tak mengetahui perkembangan janin yang bersemayam dalam perutnya. Sungguh bagai disambar petir, ketika kuperoleh informasi bahwa Nety beberapa kali berupaya untuk menggugurkan kandungannya. Hal itu kuperoleh dari sopir pribadinya yang mengantar Nety pergi ke beberapa dukun,” ucap Winata memulai lagi kisah kelamnya. Mendengar penuturan Winata, Hanifah dan Umi Sepuh terbelalak.

Kedua wanita berhati emas itu tidak menyangka kalau perempuan berpenampilan sexy seperti Nety tega melakukan kekejian terhadap buah hati dan dirinya. Sorot mata keduanya lekat menatap raut wajah Winata. Hanifah dan Umi Sepuh memusatkan konsentrasinya pada paparan lelaki yang dipanggil om baik oleh Alina.

“Tubuhku menggigil ketika kudengar kekejian istriku. Dengan langkah gontai kudatangi Nety di rumahnya. Kuajak dia bicara. Kukatakan padanya untuk menjaga janin itu. Aku berjanji padanya, akan merawatnya setelah lahir nanti. Namun, hati Nety sudah menghitam, membatu, sulit dilunakkan lagi. Dia menolak permohonanku. Dia berusaha untuk melenyapkan jabang bayi itu. Untunglah Allah memberikan kekuatan kepada jabang bayi itu. Dia lahir dengan sempurna,” lirihnya.

Suara lelaki tampan itu bergetar menahan kesedihan. Sejenak dia menarik nafas. Berkali-kali tangannya menyeka lelehan air mata yang tidak bisa diabendung.

“Kebahagian yang kurasakan ketika anakku lahir hanya sesaat. Tatkala aku berniat membawa bayiku, ternyata Nety sudah menyuruh sopir kepercayaannya membuang bayiku. Saat itulah aku sangat murka kepada Nety. Jika saja tidak ada seseorang yang menenangkan aku, tidak mustahil kini aku masih mendekam di penjara karena telah menghabisi nyawa Nety.” Terlihat jemari Winata mengepal pertanda menahan amarah yang sangat besar.

“Apakah Pak Winata mampu menyelamatkan anak Bapak?” tanya Hanifah penasaran.

“Saat aku tahu anakku dibawa oleh sopir pribadi Nety, secepat kilat kucari jejaknya. Dengan hati gundah gulana, kukemudikan mobilku. Kupasang mata untuk mencari jejak sang sopir. Untunglah Tuhan memberikan petunjuk padaku. Dalam dinginnya angin dini hari, samar kulihat sopir itu menaruh keranjang besar di teras salah satu rumah. Kuperhatikan semuanya dari jarak yang tidak begitu jauh.” Papar Winata penuh nelangsa. Air matanya bak aliran sungai musi yang tak pernah berhenti mengalir.

“Apakah bayi yang Bapak maksud adalah Alina?” tanya Hanifah gemetar. Samar, mata Hanifah dan Umi Sepuh melihat dengan jelas anggukkan kepala Winata. Kedua wanita berhati emas itu spontan mengucap takbir.

Meskipun Hanifah sudah mempunyai filing sejak dulu, kalau Winata adalah ayah Alina, namun tak ayal dia terkejut bercampur haru mengetahui kebenaran ini.

“Mengapa Bapak tidak meminta Alina sejak dulu?” tanya Hanifah lagi.

“Jujur, sempat ada niat untuk mengambil Alina dari Ibu Hanifah. Namun hal itu urung setelah aku perhatikan, Ibu Hani begitu mencintai Alina. Apalagi setelah kuperhatikan anakku dibesarkan dnegan Al-Qur’an. Terima kasih, Bu Hani!” lirih Winata. Lelaki tampan itu merengkuh jemari Hanifah. Namun secepat kilat perempuan yang telah membesarkan Alina itu mengibaskannya.

“Tidak perlu bersikap seperti itu, Pak. Saya sangat menyayangi Alina. Jadi jangan karena hal ini anda mengambil Alina dari saya.” Hanifah mulai cemas. Dia tak ingin berpisah dengan Alina. Tak terbayang apa jadinya jika Alina diambil Winata.

Hanifah mulai merasa tidak nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Hanifah sangat yakin kalau Winata akan membawa Alina dari dirinya. Seketika dia berlari mencari Alina. Hanifah ingin menjauh dari Winata. Umi Sepuh sangat kaget dengan perubahan sikap Hanifah. Pemimpin pondok pesantren itu gelagapan. Beliau kebingungan. Apa yang harus diaperbuat. Haruskan dia bersimpati kepada Hanifah, ataukah kasihan kepada Winata?

Bersambung…

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bu

13 Nov
Balas

Makasih kunjungannya.

13 Nov

mulai terkuak...

13 Nov
Balas

Makasih kunjungannya.

13 Nov

Mulai ada titik terang, lanjut Bun

12 Nov
Balas

Makasih kunjungannya.

13 Nov



search

New Post