endas dasiah

Guru di SDN. Cijulangadeg Kecamatan Cikalong Kab. Tasikmalaya. Aktif dalam Gerakan Pramuka. Hobi menulis ditekuni sejak tahun 2016. Beberapa judul cerpen dan ca...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tanda Cinta 24
Tantangan hari ke-211

Tanda Cinta 24

Winata tak kalah terkejutnya dari Umi Sepuh menyaksikan sikap Hanifah yang mengekspresikan ketakutannya. Lelaki baik hati itu melarang Umi Sepuh membuntuti Hanifah.

“Biarkan Ibu Hani menemui anaknya. Saya sangat mafhum atas sikapnya. Sikap Bu Hani menambah keyakinan saya akan kasih sayang Hanifah kepada anak saya, Alina,” ujar Winata. Lelaki itu pun terduduk lesu tak jauh dari Umi Sepuh.

“Apakah ketakutan Hanifah akan terjadi, Pak?” Umi Sepuh melontarkan tanya kepada Winata. Lelaki itu tidak serta merta menjawab pertanyaan Umi Sepuh. Dia menundukkan kepalanya. Tangan kekarnya tidak berhenti memainkan ujung kemeja yang dipakainya. Hal itu tentu pertanda kegundahan dirinya.

“Aku sangat menyayangi Alina. Bagaimana pun, dia adalah darah dagingku. Alina berhak hidup bahagia. Sebagaimana bahagianya anakku yang lain. Tapi apakah dengan diambilnya dari Hanifah akan menjamin kebahagiaan Alina? Itu yang masih aku sangsikan.” Winata menyampaikan kegundahannya. Lelaki itu tak canggung lagi mengutarakan isi hatinya kepada Umi Sepuh.

“Istikhorohlah sebelum mengambil keputusan. Meskipun aku tidak tega menyakiti hati Hanifah yang sudah susah payah setengah mati membesarkan Alina, namun Alina adalah anakmu. Tidak ada yang bisa mencegah jika kau mau mengambilnya. Apalagi jika kau tak memiliki hati nurani,” ucap Umi Sepuh penuh wibawa. Ada sedikit sindiran pada diksi yang ke luar dari bibirnya.

Mendengar saran Umi Sepuh, Winata sunggingkan senyum kecut di bibirnya. Lelaki itu menganggukkan kepala, meskipun anggukannya nyaris tidak terlihat.

“Umi, sebenarnya kedatanganku ke mari serta uraian kisah kelamku bukan untuk memisahkan Alina dan Hanifah. Ada maksud lain dalam hatiku. Namun, rupanya tidak bisa aku sampaikan sekarang. Sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan maksudku itu. Insya Allah jika Hanifah sudah kelihatan tenang, aku akan kembali ke sini. Biarkan Hanifah tinggal di sini bersama Alina. Masalah biaya hidup untuk keduanya, aku yang nanggung.” Winata sangat tegas mengatakan maksudnya. Tangannya merogoh sebuah amplop besar dari balik jaketnya. Diserahkannya amplop tersebut kepada Umi Sepuh.

“Hanifah dan Alina tidak perlu tahu hal ini. Biarkan mereka hidup tenang tanpa beban. Aku titipkan mereka berdua kepada Umi, ya!” Winata mengakhiri kisahnya. Dia pun menyalami Umi Sepuh sebelum beranjak pulang.

Umi Sepuh melangkahkan kaki mendekati Hanifah dan Alina. Dia meminta Hanifah untuk mengikutinya ke ruangan pribadinya.

“Kamu tidak perlu cemas, apalagi merasa ketakutan akan kehilangan Alina. Fokuslah pada pendidikannya. Biarkan dia belajar dengan tenang. Dampingi dia belajar di sini. Kau kubebaskan dari biaya apa pun. Kau boleh tinggal di sini semaumu. Kau tidak perlu bekerja lagi di kotamu.” Umi Sepuh dengan tegas menyampaikan berita membahagiakan bagi Hanifah. Dua wanita tangguh itu berpelukan erat. Ada senyum penuh harap tersungging di bibir Hanifah. Kebahagiaan itu pula lah yang menghadirkan buliran air mata di kelopak netra keduanya.

Bersambung…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bu

14 Nov
Balas

Makasih kunjungannya.

14 Nov

Konflik semakin tercipta. Keren Bun

13 Nov
Balas

Terima kasih kunjungannya.

14 Nov



search

New Post