Eneng rahmayanti

Guru IPA di SMPN 1 Jatinangor, memiliki hobi menulis. Buku karya perdana bejudul "Seribu Tanya, Sejuta Jalan", menjadi salah satu penulis pada antologi fabel ka...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENATAP ATAP DI RIAU (Tantangan hari ke-30#TantanganGurusiana)

MENATAP ATAP DI RIAU (Tantangan hari ke-30#TantanganGurusiana)

Mengenang penghujung tahun 2019. Meski tak terlalu ujung. Tepatnya pada tanggal 8 November, untuk kali pertama menginjakan kaki di Pulau Sumatera. Mengantar ponakan yang mau mengadakan acara munduh mantu di Pekanbaru.

Suhu udara yang panasnya pool mulai terasa saat kaki melangkah turun dari pesawat. Pekanbaru memang daerah panas. Dan menurut orang-orang, panasnya itu menghitamkan kulit.

Dari bandara langsung meluncur ke rumah besan. Dijamu makan malam dengan sajian khas. Meski jam sudah menunjukkan pukul 20.30 malam, tapi suhu udara seperti jam 11 siang di wilayah Bandung. Berebut posisi makan, supaya dekat dengan kipas angin. Selesai makan, tubuh serasa sudah mandi sauna. Basah keringat yang keluar tak tertahan.

Acara inti dimulai keesokan harinya. Kami menginap di salah satu hotel yang dekat dengan rumah empunya hajat. Beda, di hotel suhunya tak sepanas saat makan malam. Tentu saja, karena disini ruangannya lebih kecil full ac pula.

Semua persiapan untuk acara inti dilakukan malam ini. Keesokan harinya, acara inti dimulai bada dzuhur di rumah mempelai pria. Berbagai hidangan tersaji, saudara dan tetangga berkumpul untuk mengucapkan selamat menempuh hidup baru pada kedua mempelai.

Cuaca semakin panas. Saya putuskan untuk duduk di kursi yang tersedia di halaman, sambil mencari angin. Sejauh mata memandang terlihat rumah berjejer dengan bentuk atap yang sama. Bukan hanya bentuk yang sama, bahannya pun sama yaitu seng. Pantas saja di rumah terasa sangat panas. Atapnya dari seng, salah satu logam yang memiliki sifat sebagai penyerap dan penghantar panas yang baik.

“Mengapa tak ada genting dari tanah liat?” Tanyaku pada seorang kerabat dari keluarga besan.

Semua atap dari seng atau asbes, ada pula bahan plastik kanopi. Yang jelas bukan dari genting tanah liat seperti lumrahnya genting di tanah Jawa. Ternyata di daerah ini memang tak ada produksi genting tanah liat.

Dari sekian banyak rumah yang atapnya dari seng, ada satu yang memiliki atap genting tanah liat. Rupanya pemilik rumah itu adalah orang Cianjur. Sengaja membawa genting dari Jawa untuk dipasang di Pekanbaru. Mahal di ongkos.

Sekilas ada juga atap rumah lain yang dibuat dari tanah liat. Ternyata bahannya bukan tanah liat, tapi bentuknya dibuat mirip dengan genting tanah liat.

Seperti hal sepele, tapi sebenarnya ini adalah bahan pembelajaran yang berharga tentang kearifan budaya lokal. Selain bahan dan bentuk atap yang khas, kota Pekanbaru nampak sangat bersih. Hampir tak terlihat ada sampah di sepanjang jalan, termasuk di pasar sayur. Pantas kalo kota ini termasuk pada kota yang tak pernah lepas dari penghargaan adipura.

Kenangan 3 hari di Pekanbaru. Kota bersih nan asri, dengan atap khas. Takan terlupa. Sangat menyenangkan. Meski pulang dari sana pigmen melanin diproduksi lebih banyak, sehingga kulit tampak lebih kinclong dan gelap. Bebas dempul.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post