Enge Rika Lilyana

Menuangkan ide dalam bentuk tulisan adalah mimpi awal bagi saya. Menghasilkan karya dalam bentuk buku adalah salah satu mimpi yang harus diwujudkan. Salah satu ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Arofah Berbisik Bagian 24

Arofah Berbisik

Oleh

Enge Rika Lilyana, S.Pd

Tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana kehidupan yang harus dijalani kemudian hari. Ada yang menganggap hidup ini serupa perjalanan yang akhirnya nanti akan berhenti pada satu titik tertentu. Demikian juga segala cerita hidupku. Banyak perubahan terjadi setelah lama tidak bertemu papanya. Status single perent mamanya membuat takdir mesti berwarna abu-abu.

Tak ada lagi kebersamaan dalam banyak hal. Termasuk acara nikahan, lahiran bahkan kematian sekalipun tak ada lagi yang bernama keluarga. Semua terpisah dengan dunia sendiri dan sepi. Menyimpan ego dalam hati tanpa bisa kompromi. Apakah ini sebenarnya sisis tergelap dalam hidup? Bahkan mengingat indahnya awal berjumpa juga tak ada.

Ijon kerap memberi angin segar ketika batin kanak-kanak tidak sampai untuk menjangkau ke sudut-sudut terdalam dunia orang dewasa. Tak paham bagaimana bisa segala hati dipertaruhkan dengan banyak cara. Begitu mudah mengubah dunia. Memberi warna sesuka hatinya. Dari warna cerah hingga warna yang tak bisa dikata dengan diksi-siksi biasa. Larut dalam pekatnya nurani dan ribuan tanda tanya begitu mengganggu.

Aku hanya butuh tempat yang setiap saat kukeluhkan. Mendengar dengan setia. Menatap teduh segala gelayut letih. Ijon salah satu dahan yang memberiku kekuatan. Apakah ada air mata yang tak bah saat terdengar berita engkongkku meninggal. Bahkan semua saudara telah berkumpul untuk memberi penghormatan terakhir. Aku? Kakiku kelu untuk melangkah saat mama katakana tidak untuk itu.

Seperti berada di pinggir samudera luas tak berbatas. Aku menangis sejadinya. Ini adalah salah satu gambaran keegoisan hati. Membiarkan jurang-jurang ternganga karena duka tak lagi beraroma kasih. Aku membayangkan emakku mencari cucu semata wayangnya. Menganga sudah duka ini dengan keangkuhan mamaku.

Di sela-sela tangis dan isakku,”Tacik, saya begitu paham bahwa Tacik belum siap menerima kenyataan bahwa tidak semua orang paham dengan perpisahan!”

Aku lihat mama masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Mungkin dengan sendiri mama merasa tenang. Dinding bisu dan kernyik tempat tidur seperti sapaan kemakluman terhadap keputusan mama yang berani melarangku untuk datang ke pemakaman engkongku. Semua orang kudengar memperbincangkan sikap mama yang tak tolerir.

#Bersambung#

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

ada apa dg mama? Lanjut bunda

24 Aug
Balas

Hmhmhm kasian racik ya, dikungkung oleh egois mamanya

24 Aug
Balas

Lanjut bu.... Semangat... Salam sukses salam literasi

23 Aug
Balas

cerita yang sangat menarik Bunda, salam sukses selalu

24 Aug
Balas



search

New Post