Enik Sudarwati

Guru Fisika di MA AL MANAR Kab. Nganjuk. Penulis buku "FISIKA dalam Tafsir Kehidupan" dan "Ferris Wheel". Untuk korespondensi, sila mengunjungi Facebook Enik S...

Selengkapnya
Navigasi Web
BERDUA KAKAK

BERDUA KAKAK

Usai menikmati santap malam, ayah dan Arya asik membaca buku masing-masing di ruang keluarga. Pesawat televisi dibiarkan menyala tanpa dilirik sedikitpun. Sementara Ara sibuk membantu bunda membersihkan meja makan. Tak lama berselang, bunda bergabung dengan membawa sepiring pisang goreng hangat dan Ara sudah siap dengan sebuah buku tebal di tangannya. Buku yang berisi latihan soal-soal olimpiade IPA tingkat SD.

“Acara kantor Ayah jadi hari Jum’at sore ini, kan?”, tanya bunda kepada ayah sambil meraih remote TV di atas meja dan kemudian sibuk memilih saluran televisi yang menarik.

“Jadi, Bun. Nanti acaranya sampai Sabtu siang. Di dalam tas ayah ada jadwal kegiatannya. Coba nanti Bunda lihat, biar kita tidak salah kostum.”, terang ayah.

“Ara bagaimana?”, tanya Ara gusar.

“Maaf, Sayang. Tapi acaranya ini tidak boleh mengajak anak. Ya kecuali yang masih balita. Ara kan sudah bukan balita lagi. Jadi tidak bisa ikut.” Pelan-pelan ayah menjelaskan peraturan kegiatan kantor kali ini kepada gadis kecilnya. Beberapa kali memang Ara turut pada kegiatan kantor ayah bersama bunda. Ara bahkan berteman dengan anak-anak dari karyawan kantor ayah. Tapi kali ini Ara dipaksa absen. Tidak diperkenankan ikut. Ara sedih. Bibirnya manyun.

“Trus Ara sama siapa dong?” Ara merengek manja masih dengan wajah sedihnya.

“Kan ada kakak Arya. Iya kan, Kak? Jum’at-Sabtu ini kakak tidak sibuk, kan? Ara juga katanya mau ikut olimpiade IPA. Nanti bisa belajar sama kakak Arya. Bisa kan, Kak?” Bunda dengan lembut mencoba memberi pengertian kepada Ara sekaligus memastikan bahwa Arya bisa menjaga adiknya.

Arya melepaskan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya seraya menyahut pertanyaan bunda, “Sepertinya Arya belum ada rencana apa-apa hari Jum’at-Sabtu ini, Bunda.” Arya mengalihkan pandangannya kepada adik kesayangannya lantas berujar, “Gak papa, Dek. Ada kakak ini. Dek Ara tak perlu takut.” Arya tersenyum manis menggoda adiknya. Sementara Ara masih dengan wajah muramnya membiarkan posisi duduknya melorot sekenanya.



Dan kemudian datanglah hari ini. Hari Jum’at. Suasana ceria yang biasanya ada saat sarapan di meja makan, kali ini tidak terasa. Wajah lesu Ara menarik semua perhatian semua orang untuk bertanya-tanya. Ayah mengambil inisiatif untuk memecah kebisuan Ara dengan menyampaikan ajakan, “Ara pagi ini berangkat bareng mobil Ayah, ya.” Ara diam tak menyahut. Wajahnya tertunduk menekuni piring makannya.

“Atau bareng kakak aja? Tapi naik motor. Mau?”, tanya Arya yang ternyata berhasil membuat Ara mengangkat wajahnya dan kemudian mengangguk.

“Maafkan Ayah sama Bunda, Nak. Bukannya kami tidak mau mengajak Ara, tetapi memang sudah begitu peraturannya. Lain kali kita pergi bersama-sama berempat. Bagaimana?”, bunda mencoba sekali lagi menjelaskan keadaan ini kepada Ara.

“Iya, Bunda. Ara mengerti.” Ara akhirnya luluh juga. Mencoba menarik ujung bibirnya untuk tersenyum, meski kesan terpaksa tak mampu disembunyikannya.

“Bunda sudah masak rendang. Kakak tinggal angetin aja. Di kulkas juga sudah Bunda siapin daging ayam dan ikan. Sudah Bunda bumbuin. Kalau mau makan nanti tinggal goreng aja. Sayur-sayuran juga ada kalau kakak mau masak.” Bunda sibuk menjelaskan segala sesuatu kepada Arya.

“Tenang aja, Bunda. Serahkan semua pada Arya. Pasti beres.” Arya menyahut penjelasan bunda dengan sikap tangan hormat di samping dahinya.

“Kunci pintu dan jendela. Jangan membuka pintu pada orang asing yang mencurigakan. Kalau ada keadaan darurat, kakak bisa telpon Pak RT. Ayah sudah lapor Pak RT kalau kalian akan sendirian di rumah. Nomornya ada di pintu kulkas. Dek Ara nurut apa kata kakak Arya, ya.” Ayah mewanti-wanti anak-anak kesayangannya untuk menjaga diri dengan baik. Ada raut kekhawatiran di wajah ayah.

“Siap, Ayah. Arya pasti jagain Dek Ara. Jangan khawatir.” Arya tersenyum sambil memegang pundak Ara. Mencoba mengurangi kekhawatiran orang tuanya. Perbedaan usia 8 tahun antara Arya dan Ara memang membuat Arya harus menjadi sosok pelindung bagi adik kecilnya itu.

Maka begitulah. Ara berangkat sekolah bersama dengan Arya. Ayah pergi ke kantor untuk memeriksa semua persiapan yang sudah dilakukan oleh karyawannya. Sedangkan bunda sibuk mempersiapkan pakaian dan segala keperluan lainnya yang harus dibawa nantinya. Memastikan semua hal di rumah sudah dalam kondisi aman untuk ditinggalkan.



Jam 2 siang Ara sudah menyelesaiakan semua kegiatannya di sekolah. Semua teman-temannya sudah pulang. Ada yang dijemput orang tua atau pembantunya, ada pula yang diantar oleh mobil antar-jemput sekolah. Tapi itu hanya murid-murid yang sudah berlangganan. Ara berdiri di pintu gerbang, di samping pos satpam menunggu kakaknya. Arya belum datang juga. Akhirnya Ara memutuskan untuk berjalan menuju toko alat tulis di sebelah sekolah untuk membeli pensil lucu yang kemarin dia lihat.

Motor Arya berhenti di depan pintu gerbang sekolah Ara. Tapi suasana sudah sepi. Matanya tak bisa mendeteksi keberadaan Ara. Seorang satpam menghampiri.

“Cari siapa, Mas?

“Maaf, Pak. Saya kakaknya Ara. Saya mau menjemput Ara.”

“Oh, tadi Ara nya berdiri di sini. Dia bilang menunggu kakaknya. Tapi sekarang sudah pergi. Mungkin dia pulang jalan kaki.”

“Terima kasih, Pak.” Arya berbalik menghampiri motor dan segera memacunya ke arah rumah. Jalan kaki? Tidak mungkin. Jarak rumah terlalu jauh dari sekolah kalau harus jalan kaki. Ara juga tidak mungkin naik kendaraan umum. Dia belum pernah naik kendaraan umum sendiri. Arya begitu khawatir. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Ara? Arya marah. Marah kepada Ara yang tidak mau bersabar menunggunya sebentar lagi. Marah kepada diri sendiri yang masih sempat-sempatnya ngobrol dengan teman-temannya hingga lupa waktu harus menjemput Ara.

Sampai di depan rumah, kekhawatiran Arya semakin bertambah. Pagar masih terkunci. Pintu rumah masih terkunci. Arya segera memeriksa ke dalam rumah. Dia memanggil-manggil nama adiknya. Tak ada sahutan. Di periksa setiap ruangan. Tak ada Ara. Dia menjadi kalut. Di mana Ara?

Mendadak telpon genggamnya berbunyi. Muncul nomor yang belum dikenalnya di layar ponselnya. Ragu-ragu dia menganggat telpon tersebut. “Hallo??”



Sementara itu.

Selesai membeli pensil incarannya, Ara kembali berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Di sinilah dia berjanji menunggu kakaknya. Satpam sekolah menghampiri. “Ara dari mana saja? Tadi kakaknya jemput tapi Ara tidak ada. Kakaknya langsung pergi lagi tuh.”

Seketika Ara merasa ketakutan. Kakaknya sudah menjemput dan dia tidak ada di tempat yang seharusnya. Ara takut kakaknya marah. Dia harus segera pulang. Tapi bagaimana caranya? Dia tidak berani naik taksi atau angkot. Lagi pula dia tidak punya cukup uang untuk naik kendaraan umum. Jalan kaki? Aduh, jauh. Ara tak sanggup membayangkan capeknya.

Saat sedang kalut, tiba-tiba Ara teringat sesuatu. POLISI!!! Ya, belum lama ini ada rombongan polisi datang ke sekolah Ara untuk mengadakan penyuluhan. Ibu Polisi waktu itu mengatakan bahwa saat kita merasa tidak aman kita bisa meminta tolong kepada polisi. Secepat kilat Ara balik badan dan segera berlari ke kantor polisi yang kebetulan tidak terlalu jauh dari sekolahnya. Ara tidak takut polisi. Mereka baik. Ara disambut bapak polisi dengan senyum ramah. Ara menceritakan masalahnya dan meminta tolong pak polisi untuk menelpon kakaknya. Ara juga menyatakan ketakutannya apabila kakaknya marah nantinya.

“Selamat siang. Benarkah saya berbicara dengan kakak Arya? Saya dari kantor polisi.” Polisi bercakap-cakap dengan Arya melalui telpon. Sedangkan Ara duduk ditemani seorang polisi wanita yang sudah dia kenal wajahnya. Ibu polisi inilah yang waktu itu ada dalam rombongan polisi yang datang ke sekolah Ara.

Tak lama berselang, terlihat Arya dengan mengendarai motornya memasuki halaman kantor polisi. Mengetahui kakaknya datang, Ara bersembunyi di belakang ibu polisi. Ara takut kakaknya marah.

“Ayo, Dek Ara. Pulang sama kakak.” Arya menghampiri adiknya. Ara masih ragu-ragu menyambut tangan kakaknya. Arya tahu adiknya takut. Bapak polisi yang menelponnya telah menceritakan secara rinci kejadian yang sebenarnya.

“Maafin kak Arya ya. Tadi telat jemput Dek Ara.” Ara yakin kakaknya tidak marah. Dia pun segera memeluk kakaknya. Mereka meninggalkan kantor polisi setelah mengucapkan terima kasih. Arya mengendarai motornya dengan kecepatan rendah dan Ara berpegangan di pinggang kakaknya dengan erat.



Setelah kejadian itu, Arya tak melepaskan perhatiannya pada Ara barang sekejab. Tak kan dibiarkannya Ara hilang dari pantauannya. Arya melayani semua keperluan dan keinginan Ara. Mulai dari menyiapkan makanan Ara sampai membantunya belajar. Bahkan Arya meminta teman-temannya agar memindahkan tempat diskusi tugas kelompok yang harusnya dilakukan di kampus untuk dilakukan di rumahnya saja. Itu karena Arya sayang Ara. Ara pun demikian. Pengalaman berdua dengan kakaknya ini meyakinkan Ara bahwa kakak Arya sangat menyayanginya. Dia tak akan membuat kakaknya khawatir lagi. Itu karena Ara sayang kak Arya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post