Enik Sudarwati

Guru Fisika di MA AL MANAR Kab. Nganjuk. Penulis buku "FISIKA dalam Tafsir Kehidupan" dan "Ferris Wheel". Untuk korespondensi, sila mengunjungi Facebook Enik S...

Selengkapnya
Navigasi Web
Naik-naik ke Puncak Gunung

Naik-naik ke Puncak Gunung

Selepas ashar, di gazebo, di taman belakang, dekat kolam ikan.

“Gimana naik gunungnya, Kak?”, tanya ayah mengawali obrolan santai mereka.

“Seru, Ayah.”, jawab Arya bersemangat.

“Cerita, dong. Ayah ingin tahu.”

“Ayah lagi ngobrolin apa sih? Adek ikut ya?”, Ara tiba – tiba muncul dari dalam rumah.

“Kakak lagi mau cerita pengalamanannya naik gunung nih, Dek. Sini, duduk di samping Ayah.” Ayah menjulurkan tangannya menyambut Ara yang mendekat dengan manja.

“Jadi, apa saja yang Kakak bawa saat naik gunung?”, tanya ayah.

“Adek tahu. Kakak waktu itu bawa tas besar, Yah. Besar banget. Segini, nih.” Ara menyambar penuh semangat. Tangannya sibuk merentang ke kiri – kanan, ke atas – bawah, berusaha memberi gambaran tentang besarnya tas Arya. Ayah dan Arya tersenyum melihat tingkah Ara.

“Tas besar itu namanya carrier, Dek. Semua perlengkapan Kakak dimasukkan ke dalam carrier itu. Pakaian ganti, korek api, obat – obatan, lampu senter, perbekalan makanan, sleeping bag, alas tidur, tenda, kompor dan alat masak. Pokoknya semuanya deh.”, Arya menerangkan.

“Hah, Kakak bawa kompor juga?”, tanya Ara tak percaya. Mulutnya menganga membentuk O sempurna.

“Iya. Jadi Kakak bisa masak air kalau mau buat teh hangat. Tapi kompornya tidak seperti kompor Bunda di dapur. Kompornya kecil. Kakak buat sendiri. Nanti Dek Ara boleh lihat di kamar Kakak.” Arya mencoba memberi penjelasan kepada adiknya. Ara mengangguk – angguk.

“Minum dulu tehnya, supaya ngobrolnya makin asyik.” Bunda datang membawa nampan berisi 4 gelas penuh teh madu yang hangat. Bunda mengambil posisi di sebelah Ara. Penuh semangat mereka segera menikmati teh madu buatan bunda.

“Kakak sampai puncak, tidak?”,  tanya bunda. “Sampai dong, Bunda. Tapi tidak mudah. Medannya sulit. Carrier-nya berat. Untuk sampai puncak tidak cukup hanya mengandalkan bekal dalam carrier saja. Perlu bekal yang lain juga.” Arya semangat bercerita sebelum Ara memotong pembicaraannya. “Bekal apa lagi, Kak?”, tanya Ara tak sabar.

“Kita butuh fisik yang kuat. Makanya Kakak rajin olahraga, supaya badan tetap fit. Bunda juga selalu masak makanan sehat buat kita semua. Ya kan, Bun?”, terang Arya. Bunda mengacungkan jempol kanannya sambil tersenyum. Tetapi Ara secepat kilat menyambar kalimat Arya.

“Adek tahu. Ada tuh di buku. Katanya supaya badan sehat, kita harus mengkonsumsi 6 zat pokok.”

“Enam zat pokok? Apa saja tuh, Dek?”, tanya ayah.

“Karbohidrat, protein, vitamin, mineral, lemak dan air.”, jawab Ara. Semua bertepuk tangan. “Wuih, Dek Ara hebat!”, puji Arya. Bukannya senang dipuji, Ara malah menyembunyikan wajah meronanya ke pelukan bunda.

“Terus, Kak. Lanjutkan ceritanya.”, pinta bunda.

“Saat baru memulai perjalanan naik, semuanya semangat sekali. Sudah terbayang gembiranya saat mencapai puncak gunung. Kami berjalan dengan tetap mentaati peraturan. Tapi semakin lama, perbekalan semakin berkurang, kaki sudah mulai lelah, carrier terasa semakin berat. Terus muncul masalah deh. Ada yang mau berhenti saja dan turun, ada yang sedikit – sedikit minta istirahat, ada yang ngotot harus sampai puncak walaupun harus melanjutkan perjalanan sendirian. Saat itulah kekompakan tim di uji. Perlu komunikasi dan kerja sama yang bagus untuk bisa saling menyemangati. Dan akhirnya, kami sepakat untuk tetap melanjutkan perjalanan. Niat yang kuat, semangat, keteguhan hati, fokus hanya tertuju ke puncak gunung. Pelan – pelan, tapi tetap melangkah. Sekali waktu kami beristirahat seperlunya. Lalu melanjutkan perjalanan dengan kewaspadaan yang semakin meningkat, karena semakin tinggi medannya semakin sulit dan berbahaya. Saling menolong saat muncul kesulitan. Dan akhirnya, kami sampai di puncak. Segala kesulitan yang telah terjadi sekarang terbayar lunas oleh rasa bahagia. Kami ada di puncak gunung. Dekat sekali dengan langit. Tapi kaki tetap menjejak bumi. Luar biasa. Menakjubkan. Hanya keindahan yang terlihat kemanapun mata menatap.” Arya menarik napas panjang. Sambil terpejam ia membayangkan kembali apa yang dirasakannya saat berada di puncak.

“Waaah…. Enak ya Kak di puncak gunung”, seru Ara.

“Iya, tapi perlu perjuangan dulu untuk sampai di puncak.”, jawab Arya.

“Nah, itu pelajaran sore ini buat Adek dari Kakak. Bila mau mencapai apa saja yang diinginkan, harus berjuang untuk bisa meraihnya. Apa saja ada harganya. Misalnya Adek mau jadi dokter, maka Adek harus kuliah dulu, belajar yang giat, trus praktek di Rumah Sakit, merawat orang sakit dan terluka. Baru deh jadi dokter.”, terang ayah.

“Adek mau jadi penari, Bunda. Yang bisa menari banyak tarian, terus menari di luar negeri. Bisa keliling dunia.”, Ara menyatakan impiannya.

“Bisa. Tapi ada perjuangannya dulu. Dek Ara harus rajin berlatih, tidak boleh menyerah, tidak boleh bosan, mau belajar tarian baru, juga menjaga kesehatan. Dek Ara sanggup?”, tantang bunda.

“Sanggup.” Ara menjawab tantangan bunda dengan anggukan mantap.

“Aamiin….”, seru ayah, bunda dan Arya bersamaan.

Kemudian bedug maghrib bertalu.

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren... Lanjut nulis lagi bu..

11 Mar
Balas

Pasti, Pak. Terima kasih atas dukungannya.

12 Mar

Dek ara pinginnya jadi penulis bunda...he he...

11 Mar
Balas

Super keren.

11 Mar
Balas

Thanks, Brother.

12 Mar



search

New Post