Eni Siti Nurhayati

Assalamualaikum Wr.Wb. Tak kenal maka tak sayang, Perkenalkan, sekuntum bunga senja dari ujung timur Jawa Timur menyapa. Sudah sangatlah terlambat tuk ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Cerpen ke-1 SEPATU IBU (Tantangan Menulis 60 Hari Gurusiana)-33

“Bu, tau nggak, sepatu Diana tadi baru lagi, lho.” Awal ceritaku pada ibu sore ini sehabis belajar di ruang tamu.

“Oh ya?” sahut ibu sambil meletakkan majalah yang dipegangnya.

Kalian tahu kan, siapa Diana? Ya, Diana adalah teman terpopuler di SD-ku. Anaknya cantik, baju seragamnya selalu rapi, juga sepatunya itu lho…bagus-bagus. Kalau masalah cantik, aku nggak ngiri. Aku juga cantik, kata ayah ibuku hehehe.

Baju seragamku pun juga selalu rapi. Kan sejak naik kelas lima aku sudah diajari menyeterika baju sendiri. Rapi pake banget deh seragamku!

Nah, ini dia topik ceritaku pada ibu, sepatu Diana. Sepatu Diana baru lagi!

“Bu, sewaktu latihan pramuka siang tadi, Diana bercerita bahwa mulai sekarang, sepatu untuk latihan pramuka tidak sama dengan sepatu yang dipakai sekolah. Sepatu pramuka kan harus kuat? Begitu katanya. Sepatu barunya berwarna hitam legam, kuat, juga tahan banting!”

“Lalu?” jawab ibu sambil menatapku lekat. “Mbak Kandi Ingin lagi?” Ibu pasti memanggilku dengan kata Mbak Kandi, Mbak Srikandi gitu, soalnya aku kan anak pertama..hehehe.

“Ehm, kalo boleh sih. Kan sepatuku hanya satu, Bu. Sepatu untuk sekolah juga kupakai ikut ekstra pramuka. Harusnya sih…” ceritaku menggantung. Kutatap ibu dengan kerjap berulang-ulang. Gaya klasikku jika menginginkan sesuatu!

Ibu tersenyum kepadaku.

“Coba deh duduk di samping ibu,” ujar ibu sambil menepuk-nepuk sebelah kursi panjang yang didudukinya. Pasti ada sesuatu, nih…pikirku.

“Ibu bercerita boleh tidak?” Dan mataku mengerjap sekali lagi mengiyakan.

***

Saat kecil dulu, ibu dibelikan sepatu baru tiap kenaikan kelas. itupun dengan janji bahwa nilai ibu harus bagus. Kalau ada angka merahnya, pasti tidak akan dibelikan sepatu maupun seragam. Harus menggunakan sepatu lama.

Nah, sewaktu ibu kelas lima SD, ya…sekamu ini, sepatu ibu berlubang sedikit bagian depan. Berlubang karena apa, ya saat itu? Ah, ibu ingat. Sepatu itu ukurannya terlalu pas buat kaki ibu, persis ukuran sepatu kelas empat, namun ibu bersikeras membelinya karena modelnya sedang trend, padahal kaki ibu sudah bertambah besar. Ya, sepatu fantovel dengan bunga di atasnya, nomor di atasnya sudah terjual.

Nenek tidak bisa mencegah lagi. Dan malapetaka itu pun terjadi. Sepatu ibu berlubang tepat di posisi jempol kaki.

Wah, bisa kamu bayangkan rasa malu ibu saat ibu dikata-katai teman-teman laki-laki begini, “Sepatune ngowoh, onok cendhelane, sepatunya lubang, sepatunya berjendela.”

Singkat kata, sepulang sekolah ibu merayu nenek supaya dibelikan sepatu baru. Apa jawab nenek? Nenek tak menjawab. Tanpa bicara sepatu ibu malah dijahit bagian depannya menggunakan benang baju, ditambah kain warna hitam sedikit untuk menambal lubang yang ada.

Duuhh, ibu tambah malu. Bekas jahitannya lho kelihatan. Esoknya, setelah ibu pakai sehari ke sekolah, jahitan itu ibu buka, bahkan ibu lebarkan lubangnya menggunakan gunting. Sekarang bukan hanya ujung satu jari yang kelihatan, tiga malah! eh, setelah ibu tunjukkan, nenekmu hanya menjawab,”Kita beli sepatu baru lagi saat panen nanti, ya? Terserah kamu sudah, kalau mau dijahit lagi, ya jahit sendiri saja lubang sepatumu itu.”

Dengan rasa jengkel esoknya lagi ibu berangkat ke sekolah memakai sandal. Biar malu semua sekalian, pikir ibu.

Saat di kelas, ibu hanya menjawab bahwa kaki ibu sakit tiap ada yang bertanya mengapa ibu memakai sandal.

Eh, ketika waktu istirahat, kakek muncul ke sekolah membawa sepatu baru buat ibu. Pas dan cocok, senang sekali rasanya!

Sepulang sekolah, ketika ibu sampai di rumah. Keadaan sangat sepi. Ibu ucap salam tak ada yang menyahut. Pelan-pelan ibu masuk rumah. Ketika melewati kamar nenekmu, ibu mendengar suara kakak ibu sedang berbicara pelan.

“Bu, tidak apa-apa kok uang sekolahku tadi dibuat membeli sepatu adik. Bulan ini aku tidak usah membayar uang SPP dulu, ya?”

Ibu terhenyak. Batin ibu serasa tercabik. Kakek hanyalah pegawai negeri dengan gaji yang hanya cukup dibuat hidup sekeluarga, bapak ibu dan empat anak. Bayangkan…

***

Ibu menghela nafas setelah ceritanya usai. Ada raut sesal di wajahnya.

Aku tahu yang ibu maksudkan, aku harus pandai bersyukur. Mensyukuri nikmat yang ada. Hidupku sekarang mungkin jauh lebih baik dari masa kecil ibu.

Kupeluk ibuku.

“Sepatuku sudah dua, Bu. Belikan lagi nanti saat masuk ke SMP, ya?” bisikku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post