Eni Siti Nurhayati

Assalamualaikum Wr.Wb. Tak kenal maka tak sayang, Perkenalkan, sekuntum bunga senja dari ujung timur Jawa Timur menyapa. Sudah sangatlah terlambat tuk ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Cerpen ke-5 JANGAN DIBUAT MAINAN NAMA BAPAKKU! (Tantangan Menulis 60 Hari Gurusiana) 37

Jangan Dibuat Mainan Nama Bapakku!

“Kandi anak Profesor Kuprit. Anak Profesor...Ku..prit!” suara Wasito lantang terdengar di telingaku. Satu kali dua kali kubiarkan. Lama-lama risih juga mendengarnya!

Awalnya begini, kemarin aku dan kawan-kawan disuruh mengumpulkan akta kelahiran ke wali kelas. Kebetulan jam pertama mata pelajaran agama, oleh pak guru agama akta disuruh dikumpulkan di ketua kelas dan disetorkan ke kantor. Lancar.

Saat menjelang istirahat, ada kertas berjalan dan berhenti di mejaku. Rupa-rupanya kertas itu sudah beredar di banyak meja. Tertulis besar di situ KANDI KUPRIT dan di kiri kanannya muncul beragam gambar emoticon karya pembacanya.

“Apa maksudnya?” Wardah berbisik di telingaku. Instingku bereaksi cepat.

“Hei, siapa yang menulis ini?” tanyaku keras-keras sambil menunjukkan kertas. Kawan-kawan hanya saling pandang sambil berjalan ke luar kelas.

Ketika Wasito mengucap keras itulah aku baru sadar bahwa yang menulis di kertas tadi pastilah Wasito dan geng-nya. Wasito and The genk julukan untuk Wasito dan ketiga teman akrabnya Yusril, Fathoni, dan Ridlo.

Mereka berempat duduk berdekatan di pojok kanan belakang. Empat anak yang meski ada rotasi tempat duduk mereka tidak pernah mau. Hanya waktu jam pelajaran wali kelas saja mereka duduk pada posisi sebenarnya.

Kuhampiri Wasito.

“Apa maksudmu?” tanyaku sambil menunjukkan kertas tadi. Wasito hanya nyengir kuda sambil mengangkat bahu. Tiga temannya tertawa kecil.

Langkahku beranjak ke Lukman selaku ketua kelas, kutunjukkan kertas tadi lalu aku mengucap keras,”Silahkan mengolok-olok aku seperti yang kalian mau. Tapi aku tidak mau kalian menjadikan mainan nama bapakku!”

Kutuju bangkuku, kuambil tasku dan aku keluar kelas. Pulang!

***

Esoknya aku tidak mau masuk sekolah. Aku belajar sendiri saja di rumah, pikirku menguatkan pilihan sikapku.

Bapak dan ibu hanya tersenyum saat kukatakan alasan aku tidak mau masuk sekolah.

“Aku sering diejek dengan panggilan profesor, karena aku paling pandai di kelas juga karena dahiku yang lebar. Bagiku tidak masalah. Kuanggap itu pujian dari Wasito dan teman lainnya.

“Tapi ketika mereka mengolok-olok bapak, aku tidak terima. Orang tua bagiku segalanya. Sekali aku tak berbuat ketika diolok, mereka akan mengolok-olok terus. Bagiku orang tua bukanlah bahan olok-olokan, sebenci apa pun mereka padaku. Aku pindah sekolah saja!” pungkasku.

Ibu mengelus pundakku sebelum berangkat kerja.

“Sabar, itu ujian sebelum lulus sekolah, ya? Boleh, kamu boleh belajar di rumah selama yang kamu mau,” ucap ibu. Bapak lagi-lagi hanya menyumbang senyuman tanpa kata seperti biasa kalau sedang menasehati atau pun memarahiku!

Kutengok jarum jam berjalan lama sekali. Perasaanku aku sudah belajar lama sekali di kamar, eh masih jam delapan. Aku keluar kamar. Sepi. Kuhidupkan televisi, ...ah tidak enak rasanya menonton tivi sendiri.

Kuingat-ingat hari ini jadwalnya matematika, IPA, IPS, dan SBK. Wah, ada penilaian SBK, menyanyi solo lagu nasional. Matematika dan IPA pembahasan hasil try out. Aduh, terasa kangen dengan bapak ibu guru pengajarnya. Kangen dengan Tiwi teman sebangku. Kangen dengan canda...ah, masak aku juga kangen dengan Wasito and the genk? Ya, aku terkenal serius di kelas. Hanya wasitolah yang mampu membuatku tergelak dengan canda lucunya.

“Ada berapa torso di ruang lab IPA, Kandi?” tanya Wasito suatu kali.

“Ada tiga,” jawabku secepat angin. Karena memang torso di sana ada tiga.

“Salah. Ada empat,” jawabnya serius.

“Kok bisa? Memangnya ada yang baru?” tanyaku heran.

“Yang keempatnya itu kamu, torso hidup, tidak bisa tertawa,” jawabnya sambil memutar-mutar bola matanya, lucu. Hahaha...tawaku pun berderai tanpa merasa dihina.

Kali lain...

“Kandi, enak ya kamu punya orang tua lengkap. Sedangkan aku, orang tuaku sudah meninggal saat aku masih kecil,” keluhnya suatu hari melihatku diantar bapak dan ibu saat ada acara di sekolah.

Kutahu Wasito tinggal dengan kakek dan neneknya di gang sebelah rumahku.

“Doakan saja, To..semoga beliau berdua diterima amal baiknya,” jawabku prihatin. Ikut sedih juga mendengar perkataan Wasito meski dia senakal itu.

***

Assalamualaikum...riuh suara di depan pintu. Lamunanku terhenti. Cepat-cepat aku menuju pintu depan.

Kubuka pintu, dan...di sana berjajar semua kawan kelas enam. Ada Bu Arini wali kelasku, ada juga Bapak Siswanto kepala sekolahku. Aduh, aduh..

Kangenku kutumpahkan dengan memeluk kawan-kawanku. Kangen banget, padahal baru setengah hari tidak bertemu...

Beberapa saat kemudian bapakku juga datang. Mungkin dibel Bu Arini yang juga teman guru.

Singkat cerita, Wasito mengakui kesalahannya, bahkan tadi pagi dia juga sudah mengisi pernyataan tertulis di hadapan bu guru.

“Bapak tidak ingin kalian bergurau yang berlebihan, apalagi disangkutpautkan dengan nama orang tua. Cukup sekali ini, dan besok pagi Bapak harap Kandi sudah masuk sekolah lagi, ya?” ucap bapak kepala sekolah.

Tanpa disuruh pun aku akan kembali masuk sekolah besok, Pak. Seruku dalam hati dengan gembira.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post