Ternyata Suamiku ODHA (47)
47. Curahan Hati Soni
"Hann, terima kasih untuk selama lima belas tahun kebersamaan kita."
Setelah satu bulan resmi bercerai, kali ini aku akan menyampaikan sesuatu kepada Hanni yang selama ini kupendam sendiri.
Keputusan yang kuambil mungkin dianggap gila oleh sebagian orang. Tetapi biarlah aku tidak peduli apa kata orang karena aku memiliki alasan tersendiri.
"Hann, berpisah denganmu adalah nazar yang terbayar."
Itulah alasanku yang sesungguhnya. Begini ceritanya,
"Saat aku dinyatakan positif HIV/AIDS, hidupku sungguh terasa hancur. Akupun selalu dihantui oleh rasa bersalah dan rasa takut yang amat sangat.
Takut jika penyakit mematikan ini menular padamu dan kedua anak kita. Sehingga akhirnya aku bernazar, jika hasil tes kalian bertiga negatif maka sebagai wujud rasa syukurku pada Allah, aku akan undur diri dari kehidupan kalian."
Ini bukanlah keputusan yang mudah tersinggung etapi aku harus mengambilnya karena aku meyakini jika mencintai tidak harus memiliki. Bahagia melihat orang yang kita cintai hidup bahagia, sesungguhnya itulah sejatinya cinta.
Kini aku merasa sangat lega karena telah lunas menunaikan nazarku. Maka aku sungguh sangat ikhlas jika masa itu tiba, saat malaikat Izrail menjemputku pulang, pulang ke alam keabadian.
Tak ada gading yang tak retak. Pun begitu juga manusia, tiada yang sempurna, apalagi aku. Aku adalah manusia pendosa yang sedang menuai balasan. Akibat pergaulan bebasku di masa lalu.
"Ikhlaskanlah dan maafkan akan segala hilafku ya, Hann. Sekali lagi terima kasih untuk semua kebahagiaan selama lima belas tahun kebersamaan kita. Izinkan aku menepi dari hiruk pikuk kehidupan dunia yang melenakan ini. Mengisi sisa hari dengan berbekal."
Aku sudah menyampaikan apa yang ingin kusampaikan pada Hanni. Lega sekali rasanya. Beban berat yang selama ini kupikul hilang lenyap tiada berjejak, pergi bersama perputaran sang waktu.
Akhirnya sebuah puisi kuhadiahkan untuk ibu dari kedua anakku.
Kelu dalam Beku
Duduk termangu merayu kalbu
Dicumbu bayu mendesah sendu
Dipayungi mega berhias kelabu
Dalam bisu yang kian beku
*
Kala buana semakin renta
Banyak netra yang kian buta
Hanyut terbujuk tahta
Luruh gelimang harta
**
Wahai jiwa yang tengah lapar
Wahai diri yang telah terpapar
Letih raga dalam gelepar
Sajadah panjang kini terhampar
***
Sungguh sang masa tiada henti
Antarkan pada tujuan pasti
Putuskan kelana menjemput mati
Siapkan bekal tak sesal nanti
****
Lukisan senja semakin pekat
Kala kembali kian dekat
Lepaskan tali kuat mengikat
Tampik rayu semu memikat
*****
Nahkoda kapal menggulung sauh
Bermandi peluh tak kenal keluh
Tinggalkan dermaga yang kian riuh
Berlayar menuju ke negeri jauh
Bersambung... .
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Masya Allah, keren Jeng.
Alhamdulillah. Terima kasih apresiasinya neng geulis. Barokallah.
Tulisan yg menginspirasi bunda. Luar biass
Subhanallah puisinya sungguh indah sekali bund sekaligus sedih membaca nya
Terima kasih apresiasinya neng geulis. Sehat n sukses selalu ya. Barokallah.
Keren kisah dan puisi yang keluar dari hati sanubari. Semoga bunda Yarnita dan anak2 selalu dalam lindungan Allah SWT, aamiin
Alhamdulillah. Aamiin Ya Robbal'alamiin. Doa yang sama untuk ibu sekeluarga. Barokallahu fiikuum.
Wauw...terlewat yg kemarin Dinda. Lanjuuutt segera, ya? He he...keren bgt ni
Keren ceritanya dan puisinya juga. Semoga sehat dan bahagia selalu Bunda.
Alhamdulillah. Aamiin. Doa yang sama untuk panjenengan sekeluarga. Barokallahu fiikuum.