Esti Munafifah

Esti Munafifah. Mengajar IPA di MTsN 1Kota Blitar sejak tahun 1999 hingga sekarang....

Selengkapnya
Navigasi Web
Dijemput Kursi Roda dari 1,5 Km

Dijemput Kursi Roda dari 1,5 Km

Dijemput Kursi Roda dari 1,5 Km

Umrah pertama atau umrah wajib ibu, saya mintakan tolong jasa dorong kursi roda. Ingin tahu berapa ongkosnya? 350 real. Kami mulai berumrah sekitar pukul 14.00 dini hari. Sebenarnya ibu maunya umrah dengan jalan kaki. Tapi atas saran teman-teman yang sudah berpengalaman beberapa kali umrah, akhirnya ibu pun menyetujuinya. Jadi ibu berangkat umrah lebih dulu dari pada saya. Bukan ibu saja, tapi ada juga beberapa anggota jamaah pengguna kursi roda lainnya.

Alhamdulillah umrah wajib saya dan ibu berjalan dengan lancar, meskipun tidak bisa bareng. Namun, keinginan ibu untuk berumrah dengan jalan kaki belum juga patah. Sebenarnya saya tidak tega. Du usianya yang sudah tua, ibu sering sesak napas karena asma. Sering menggeh-menggeh karena sedikit gangguan jantung. Tapi ibu tetap bersikeras.

Ya sudahlah. Untuk umrah ke dua, saya meminta ibu agar thawafnya saja yang jalan kaki. Sedangkan sa'i tetap menggunakan jasa kursi roda agar ibu tidak terlalu capek. Ibu pun menyetujuinya. Ku siapkan 400 real untuk sa'i. Karena jasa dorong kursi roda di siang hari di bulan puasa, lebih mahal.

Setelah mengambil miqat di Ji'ranah kami berniat dan bersiap umrah ke dua kalinya. Berjalan menuju tempat tawaf, ibu masih ku dorong naik kursi roda bareng-bareng jamaah yang jalan kaki lainnya. Karena jarak menuju Masjidil Haram lumayan jauh untuk ukuran ibu.

Setelah sampai di pintu masuk Masjidil Haram, ibu kuminta turun dari kursi roda. Jika tidak, maka petugas akan menggiring kami ke tempat tawaf khusus pengguna kursi roda.

Kursi roda saya lipat dan saya ikat tangkai rodanya dengan tali rafia. Lalu ku tinggalkan begitu saja di tepi tiang dekat pintu masuk. Maklum di Masjidil Haram tak ada tempat penitipan kursi roda.

"Bu, jika misalnya kursi roda hilang, kita harus mengikhlaskannya ya?" Aku mengatakan pada ibu sembari menggandeng tangannya menuju ke pelataran Ka'bah. Ibu pun mengiyakannya.

Siang itu pethawaf tidak begitu ramai. Posisi kami bisa berada di sebelah kiri Hijr Ismail. Jarak yang cukup dekat dengan Ka'bah, sehingga thawaf pun segera selesai. Ku lihat kondisi ibu baik-baik saja. Setelah salat sunah dan berdo'a, kami bersiap untuk sa'i. Ku ajak ibu ke tempat jasa sewa dan dorong kursi roda. Tapi ibu tidak mau. Katanya ibu tidak capek, insyaallah kuat untuk melakukan sa'i. Saya menawarkan sekali lagi. Hasilnya tetap. Ibu menghendaki sai dengan jalan kaki.

Akhirnya kami serombongan sa'i bersama-sama. Awalnya kulihat ibu baik-baik saja. Tapi lama kelamaan langkah kakinya makin kecil-kecil. Kami pun tertinggal satu setengah hitungan dari rombongan. Kami tetap tenang. Tidak perlu takut tertinggal teman. Masing-masing kita punya kemampuan berbeda.

Di terakhir hitungan, langkah kaki ibu sangat lambat. Pada saat itulah do'a saya tertuju satu arah. Untuk ibu. Agar Allah memberikan kekuatan dan kemudahan pada ibu. Aku tak henti-hentinya melafalkan do'a yang ku buat dengan bahasa ku sendiri, sambil terus mengamati langkah kaki ibu. Karena melihat kondisi ibu yang tampak sangat lelah, pikiran saya kalut. Pikiran kini melayang menuju kursi roda. Kekhawatiran hilangnya kursi roda pun muncul. Rasa kecintaan akan duniawi sesederhana itu sangat mengganggu pikiranku. Rasa pasrah pada Allah pun melemah. "Ya Allah ampunilah ketidaksempurnaan ibadahku." Berkali-kali saya beristighfar sembari menggandeng tangan ibu.

Alhamdulillah akhirnya sa'i pun terselesaikan. Setelah berdo'a kami segera tahalul. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah.

Sekarang pikiran saya kembali pada kursi roda yang kini berjarak kurang lebih 1,5 km dari posisi kami. Haruskah ibu ku ajak mengambil kursi roda dengan jalan kaki sejauh itu? Sedangkan ibu kulihat tampak sangat lelah. Ibu duduk dengan kaki selonjor sambil menata pernapasannya. Ku bantu memijit kakinya dengan harapan rasa sakit pada kaki yang sering diderita ibu berkurang.

Karena saya dan ibu jamaah terakhir yang menyelesaikan sa'i, maka ada satu muthawif yang menunggui kami. Ku ceritakan padanya, bahwa saya mau mengambil kursi roda yang berada di pintu masuk. Saya minta tolong padanya agar dia menunggui ibu. Muthawif tidak menyetujui, karena jaraknya cukup jauh. Mau tak mau ibu diajak mengambil kursi roda dengan berjalan pelan-pelan. Duh, rasanya saya tidak tega banget. Saya terus bershalawat dan beristighfar memohon ampun dan memohon agar Allah memberi kemudahan.

Muthawif mencari jalan dari satu pintu agar jarak ke lantai dasar lebih dekat dengan menggandeng tangan ibu. Tapi begitu melihat lift, saya minta turun melalui lift, karena kami bersa'i di lantai tiga. Kata Muthawif jika menggunakan lift sampai di lantai dasar lebih jauh lagi dari pintu masuk. Jadi sama saja. Namun ibu memilih turun menggunakan lift.

Di dalam lift muthawif bertanya, bagaimana jika kursi roda yang diletakkan sembarangan tadi hilang. Saya bilang, jika memang hilang kami mengikhlaskan. Ibu menambahkan, semoga dipakai orang yang lebih membutuhkannya.

Belum selesai kami berbincang-bincang, lift telah sampai di lantai dasar. Begitu kami berjalan kira-kira 4-5 langkah, kursi roda ibu sudah berada di depan kami. Subhanallah. Hatiku tersentak. Saya bilang ke muthawif bahwa itu kursi roda ibu. Tapi kursi roda itu dipakai orang India. Bagaimana saya tahu kalau itu orang India? Karena pada hidungnya ada antingnya. Seorang perempuan India itu duduk dengan santai, sendirian, dengan posisi membelakangi kami. Muthawif lalu menyapa dengan bahasa Arab dan mengatakan bahwa kursi roda itu milik ibu. Kami memperlihatkan tulisan identitas pada rumbai kain yang saya talikan pada tangan kursi roda.

Napsiyah Moh Sangit

Blitar-Jawa Timur

Indonesia

NH Tour

Nenek India yang sudah tampak renta itu pun segera beranjak dari kursi roda sembari menyatukan kedua telapak tangannya meminta maaf.

Alhamdulillah ya Rabb, atas segala kemudahan yang Engkau berikan dengan cara yang tak pernah kami duga. Engkau Maha Pengasih, Maha Penyayang pada semua hambaMu, termasuk pada saya yang penuh dengan dosa.

Tak henti-hentinya saya bersyukur dengan mengAgungkan namaNya dan beristighfar atas ketidakpantasan mendapatkan kasih sayangNya. Namun Allah tetap memberikan Rahman RahimNya.

Seandainya sampai di pintu masuk, kursi roda tidak ada, dimana dan bagaimana cara mencarinya di Masjidil Haram seluas itu? Bagaimana juga ibuku harus berjalan kaki sejauh itu dengan kondisi sangat lelah. Sungguh Rabb-ku Maha Mengetahui atas Segala Sesuatu.

Ya Rabb, jadikan kami hambaMu yang hanya meminta perlindunganMu saja. Jangan biarkan kami tersesat. Jadikan hati hamba, hati yang dipenuhi rasa syukur. Aamiin.

(Catatan umrah ini bukan bermaksud apa-apa. Semoga bisa menginspirasi pada siapa pun, terutama yang mengajak orang tuanya yang sudah tua berumrah atau berhaji. Yakinkan hati, Allah pasti menolong kita)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post