Meranting Mawar Kuning (6)

Setelah pulang, di rumah aku langsung membuka ayat Al-qur’an yang ditunjuk dukun itu. Surat Ibrahim ayat 40, berisi doa agar kita dan keturunan kita menjadi orang yang shalih salihah dengan cara menegakkan salat. Sedangkan surat Al-Baqarah ayat 128 berisi doa agar kita menjadi orang yang selalu pasrah kepadaNya. Kupikir ini benar. Tapi untuk memberikan air kencing pada minuman anakku? Adakah Islam mengajarkan hal ini? Aku berpikir dulu. Apakah aku akan memberikan minuman najis pada anakku? Namun, dalam kondisi yang sesat aku melakukannya juga. Pikirku, toh ini hanya tujuh hari saja, setelah itu selesai. Sebuah penyangkalan penghalalan terjadi lagi.

Tujuh hari aku melakukannya. Hasilnya, nol. Wira anakku tak juga berubah. Lalu aku pindah dari satu dukun ke dukun yang lainnya, hingga lelah. Aku nyaris putus asa. Usaha-usaha yang kulakukan selama ini tak ada gunanya. Tapi apakah aku harus taklif untuk mengembalikan kesalihan anakku?

Seorang ibu mampu melakukan apa saja untuk anaknya. Mampu meminta penyakit anaknya ketika sakit, mampu memohon duka atas lara anak-anaknya, dan tentu seorang ibu tak akan rela membiarkan anaknya tersesat. Aku pun demikian. Tapi kini aku tak berdaya lagi. Semua usaha dan do’a yang kulakukan hasilnya nihil. Aku merasa sangat terpuruk, lahir dan batin. Aku lelah, ragaku lemah, dan jiwaku menggelebah. (bersambung)